Sebelum Bertemu Jodoh, Biasanya Ada Cobaan yang Harus Ditaklukkan Dulu

Fimela diperbarui 08 Okt 2018, 13:00 WIB

Aku adalah seorang perempuan yang memilih untuk sendiri sampai akhir hayat sebagai pilihan hidupku. Dan, inilah kisahku.

Menjadi seorang perempuan yang memilih untuk single ketimbang harus nyari cowok sebagai pendamping hidup merupakan prinsip yang benar-benar berbeda dengan kebanyakan orang. Orang 'normal' lainnya mungkin sudah punya pasangan, kemudian nikah terus punya anak, keliatan bahagia banget. Seakan-akan mereka tuh gampang buat meraih kebahagiaan yang semestinya. Tapi, di hidupku hal seperti itu adalah sebuah kemewahan yang nggak akan pernah aku dapatkan alias harapan kosong.

Semua ini berawal dari tahun 2014. Tahun di mana saat-saat terendah dalam hidupku terjadi tanpa adanya pertanda sama sekali, jadi siap nggak siap aku kudu jalanin apa yang udah Allah gariskan. Mulai dari masalah keluarga yang segitu banyaknya, kemudian tugas akhir kuliah yang nggak selesai-selesai sampai dosen selalu marah kalo ketemu aku, nggak ada temen buat diajakin curhat dan ngebantuin ngerjain tugas kuliahku, sampai aku yang diputusin sama pacar dengan alasan yang nggak jelas yang kutau ternyata dia ada main sama cewek di belakangku padahal dia yang harusnya paling tahu gimana keadaanku saat itu dan segala macem printilan kesialan yang menghiasi hari-hariku justru malah jadi orang yang paling menyakitiku.

Mungkin bagi sebagian orang, apa yang aku alami ini merupakan hal biasa yang bisa dijalani dengan mudah tanpa adanya embel-embel trauma. Beda denganku yang punya mental nggak sekuat itu hingga mungkin selamanya akan selalu membekas.

Aku inget banget waktu itu kejadiannya pada bulan puasa. Kegiatan magang yang ternyata aku nggak dianggep sama temen bahkan pacarku sendiri. Bahkan dosen pembimbing kita yang sama pun lebih membangga-banggakan dia di depanku yang pada saat itu kita udah putus. Udah gitu pun kalo ada apa-apa sama dia dalam artian kinerjanya menurun, aku yang dimarahi sama pak dosen.

Dalam perjalanan pulang tangisan selalu menjadi teman setia. Sampai rumah pun keadaan rumah nggak semenyenangkan itu. Untuk masalah keluarga maaf aku nggak bisa sharing di sini. Dalam sujudku selalu diiringi oleh tangisan piluku yang tertahan semata-mata supaya aku bisa lebih ikhlas menerima semua ini.



Tiap malem sebelum tidur aku juga selalu menyempatkan diri untuk menangis, nggak jarang hingga terbawa mimpi. Mauku sih, kalau bisa ini semua cuma mimpi aja biar pas bangun aku sungguh sangat bersyukur kalau semua ini bukanlah kenyataan.

Akhir tahun 2014 aku diwisuda. Harusnya aku move on dan berusaha memperbaiki diri. Tapi nyatanya, hidupku kayak bener-bener berhenti. Nyari kerja nggak dapet-dapet. Trauma yang belum sembuh tentang masa itupun selalu menghantuiku. Ngeliat temen-temen yang udah pada sukses dalam karirnya, bahkan ada yang menikah dan punya anak, dapet suami atau istri yang hebat disamping mereka. Jujur aku iri. Tapi, aku merasa aku nggak berhak untuk dapet itu semua.

Cuek dengan semua lelaki yang mencoba mendekati, menghindar bila ada lelaki yang ingin berkenalan, bahkan menolak dengan tegas ketika ibu menawarkan sebuah perjodohan. Menurutku lebih baik aku hidup sendiri saja seumur hidup daripada mencoba lagi tapi nyatanya mereka para lelaki hanya akan menyakitiku lagi dan lagi. Karena aku sendiri pun nggak sanggup untuk menjalani sakitnya untuk kesekian kalinya.

Bahkan aku juga sengaja menarik diri dari lingkar pertemananku, nggak main social media sampai beberapa waktu. Menolak ajakan teman hangout bareng. Seakan-akan aku lebih nyaman sembunyi dalam kegelapanku.

Hingga dua tahun kemudian tepatnya tahun 2016, aku bermimpi yang rasanya begitu nyata. Aku bermimpi seorang lelaki yang begitu jelas penampilannya seperti apa, baju kesukaannya apa, hobinya apa, bahkan keluarganya seperti apa, tapi aku nggak tahu bagaimana rupa wajahnya. Waktu itu kupikir itu hanyalah mimpi yang nggak ada artinya.

Sampai setahun kemudian tahun 2017 akhirnya aku mendapatkan pekerjaan. Namanya juga anak baru, pada saat hari pertama selalu di cie-ciein dan dijodoh-jodohin. Di saat itu juga aku berkenalan dengan seorang cowok sebut saja namanya Danish. Kata senior-seniorku dia orangnya baik, soleh, nggak macem-macem pokoknya tipikal suamiable namun aku cuek-cuek saja toh aku niatnya kerja bukan nyari jodoh lagian aku juga sebodo amat sama cowok siapapun itu.

Hingga suatu hari shift kerja kami berdua nggak sengaja bersamaan. Sebenarnya aku malas banget kalau harus kerja bareng dia, tapi apalah daya ketika semua orang di situ sedang mencoba untuk mencomblangkan kami berdua. Mau nggak mau aku mencoba untuk menjawab setiap obrolannya dengan sedikit terpaksa yang menurutku agak ngebosenin.

Lama kelamaan kami jadi sering ngobrol karena shift kerja yang banyak barengnya ditambah lagi kepribadian Danish yang nggak semengerikan seperti mantan-mantan aku sebelumnya. Dia ngeliatin banget kalau aku tuh kayak penting buat dia. Sampai suatu hari omongannya yang absurd ngebuat aku jadi ilfeel setengah mati.

“Kamu mendingan jujur aja deh sekarang daripada aku tahu dari orang lain,” katanya sambil menampakkan muka datar waktu sebelum shift kerjanya dia dimulai.

“Hah?! Jujur apaan?! Selama ini aku udah jujur deh buat jawab setiap pertanyaan-pertanyaan kamu,” aku mulai tersinggung dengan apa yang dia bicarakan disangkanya selama ini aku bohongin dia.

“Ya jujur pokoknya. Aku tunggu jawabanmu malem nanti abis pulang kerja.” Terus aku ditinggal gitu aja dengan tanda tanya besar di kepalaku. Nih anak kesambet setan mana sih pikirku.

Sampai pulang kerja pun aku makin jengkel dan uring-uringan cuma gegara nggak ngerti maksud pertanyaan absurd yang dia maksud. Kami saling diam sampai tiba di suatu balkon sebuah café dengan pemandangan menghadap ke alun-alun kota. Kami masih saling diam sampai aku yang memulai pembicaraan.

“Jujur,aku nggak ngerti maksud pertanyaan kamu. Kalau kamu emang nggak percaya sama aku ya udah terserah,” dengan sedikit jengkel aku menatapnya. Danish hanya diam dan menatapku balik. Hingga kemudian dia menceritakan semuanya tentang masa lalunya padaku. Mulai dari masalah keluarganya, hingga mantan pacarnya yang baru kutahu ternyata masih satu perusahaan dengan kami itu ternyata menjadikan dia hanya sebagai pacar kedua padahal masih ada pacar-pacar yang lain. Bahwa orang yang dia perjuangkan lebih dari satu tahun ternyata mengkhianatinya dengan cara sekejam itu. Sama. Kami punya masa lalu buruk yang sama, bahkan masalah keluarga pun juga sama.



Malam-malam berikutnya kami berdua sering keluar bersama hingga dia menyatakan cinta, bahkan dia menawarkan sebuah hubungan yang serius. Aku masih saja sedikit ragu dan aku menjawab kita jalanin aja apa adanya. Sampai sekarang aku mengenalkannya kepada keluargaku, tanggapan mereka semua langsung positif terutama ibuku. Bahkan sifatnya dia, perlakuan dia padaku tak berubah justru semakin baik. Di suatu saat aku tersadar bahwa ternyata mimpiku waktu itu benar-benar menjadi kenyataan dan aku menceritakan semuanya padanya.

“Kenapa kita dipertemukan baru sekarang? Coba aja kamu ada di waktu aku dalam titik terendahku dan aku ada disaat kamu terjatuh waktu itu, pasti kita berdua nggak akan semenderita ini,” aku mengatakan itu sambil menangis.

“Maaf, mungkin waktu itu kita terlalu fokus dengan hidup kita masing-masing dulu. Yang penting sekarang, kita udah ditemuin dan aku nggak akan ngelepasin kamu. Aku sayang sama kamu,” ucap Danish sambil tersenyum lembut dan menghapus air mata yang sedari tadi meleleh di pipi.

Jodoh memang rahasia Allah. Jodoh juga memang di tangan Allah. Tapi, Allah hanya mencoba untuk mendekatkan seorang jodoh itu kepada kita namun untuk sebuah akhir tetap kita sendiri yang memilihnya mau menerima atau justru menolak. Aku yang awalnya mati-matian untuk nggak mau punya pasangan lagi dan memilih untuk hidup sendirian justru dipertemukan dengan seorang cowok yang sesempurna ini, bahkan lebih dari khalayanku tentang bagaimana sosok seorang cowok yang sempurna.

Dari situ hidupku mulai lebih berarti lagi, nggak melulu hidup bagaikan pecundang yang terus-terusan kalah. Dari yang awalnya aku selalu ditimpa musibah terus menerus sendirian, menangis sendirian, meratapi nasib sendirian. Sekarang kalaupun aku dapat musibah apapun, aku nggak nangis sendirian lagi tapi sudah ada dia yang siap menyodorkan bahu dan lengannya ketika aku butuh sandaran.

Jadi masihkah aku harus menolaknya meski aku sudah tahu bagaimana dia, bahkan sangat nyaman berada di dekatnya, dan seistimewa dia?


   (vem/nda)
What's On Fimela