“Yang fana adalah waktu. Kita abadi,” begitu kata Sapardi. Kurasa itu ada benarnya, waktu telah terbang jauh dari ingatanku, sudah tak tahu lagi kapan waktu yang menyenangkan dan menyedihkan itu muncul. Aku sudah tidak bisa membedakan dan mengingatnya satu persatu karena memang sudah terlalu banyak kejadiannya. Tapi satu yang kuingat, “Kita abadi." Sampai sekarang dan hampir setiap hari aku selalu bertemu, bertegur sapa atau sekadar ngobrol di depan pintu kamar. Tak ada kata bosan untuk itu, aku harap kalian juga. Tapi aku tahu kalian juga tidak bosan, karena sampai saat ini kami masih bertegur sapa itu menandakan kalau kalian tidak bosan denganku.
Kira-kira delapan tahun lalu awal perkenalan kami. Tepatnya waktu kami menjadi siswa baru di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP). Masing masing dari kami memiliki karakter yang berbeda. Aku orangnya yang heboh dan urakan, Vivi yang pendiam dan Dani yang misterius. kami dari SMP dan SMA satu sekolah bahkan satu kelas sampai ke Universitas pun kami juga sama. Tidak ada rencana untuk selalu satu tempat belajar tapi memang takdir yang menentukan.
Waktu yang cukup panjang ini banyak hal menyenangkan hadir di pertemanan kami tapi tidak dipungkiri ada batu sandungan juga kerap muncul. Memang seperti itulah kehidupan ada pasang dan surutnya begitu juga pertemanan. Tapi, ada hal yang menarik dari pertemanan kami, yaitu toleransi.
Suplemen paling ampuh dari sebuah pertemanan adalah toleransi yang terjalin dari tiap individunya. Banyak pola pikirku yang berubah setelah aku mengenal mereka, aku yang cenderung egois dan kekanak-kanakan lambat laun bisa menerima perbedaan itu entah dalam berpendapat ataupun berperilaku. Mereka yang pendiam dan misterius kini jadi lebih terbuka terhadap perihal yang terjadi lingkungannya.
Dari semester pertama sampai menginjak lima ini kami satu tempat kos, tapi tetap dengan kamar yang berbeda. Kos itu benama Latifah. Mau tidak mau kami setiap hari bertemu dan menghabiskan waktu bersama jika tidak ada keperluan kuliah. Hal yang sering kami lakukan adalah ngobrol sampai larut malam di kamar Vivi, ada saja yang diobrolkan dan tidak dipungkiri banyak juga obrolan yang tidak penting. Tapi itu adalah treatment agar pertemanan kami tidak membosankan.
Kami sering ketawa bersama saat ngobrol dan sampai-sampai ada salah satu teman kos menjuluki kami, “Tiga monster Latifah”. Karena memang kami seperti monster yang selalu membuat gaduh, tapi tidak sepenuhnya mengganggu justru itu malah menghidupkan suasana kos yang acap kali sepi. Dan kupikir tidak semua monster itu buruk, ia kuat sehingga bisa membentengi temanya dari hal-hal buruk yang menimpa.
Asyik sekali ketika kami punya teman yang berbeda karakter tapi dapat menerima perbedaan itu dengan ikhlas. Seperti dua temanku ini yang sampai sekarang selalu bersama. Dan tempat yang paling nyaman untuk mengadu kesepian kepada teman adalah tempat tinggal kami sendiri yang setiap hari kami selalu berada di tempat itu. Dan satu pesanku, yaitu tetaplah jadi monster.
- CBC, Grup Perantau Kangen Rumah yang Tergabung karena Hal Mistis di Kos
- Sahabat Itu Mereka yang Ketawanya Paling Keras Saat Tingkah Kita Memalukan
- Berawal dari Perkenalan di Dunia Maya, Tercipta Komunitas Membantu Sesama
- Di Dalam Persahabatan Antar Perempuan, Selalu Ada Persaingan?
(vem/nda)