Jangan Mau Ikut 'Gila' Gara-Gara Pria Posesif yang Tingkahnya Seenaknya Aja

Fimela diperbarui 03 Okt 2018, 11:15 WIB

Bukan kisah yang patut dibanggakan adanya, namun sebuah pengalaman yang katanya akan menjadi guru terbaik ke depannya. Aku mengenalnya sejak duduk di bangku sekolah dasar, bukan karena kami bertetangga ataupun satu sekolah, namun karena kami satu kelas di bimbingan belajar yang ada di kotaku. Tidak seperti teman-teman perempuanku yang notabenenya mudah akrab dengan siswa lelaki, aku lebih cenderung pendiam.

Dapat dihitung dengan jari berapa banyak kami berkomunikasi dalam 3 tahun di kelas bimbingan belajar yang sama. Mungkin karena itu, tidak ada kesan khusus bagiku tentangnya, apalagi memiliki perasaan tertarik sebagai remaja putri yang baru puber. Semuanya biasa saja, bahkan sampai hari terakhir di kelas bimbel yang diisi dengan doa agar hasil ujian nasional semua siswa bagus dan dapat diterima di SMP yang diinginkan.

Nampaknya perpisahan di bimbingan belajar tersebut bukan akhir, karena saat melanjutkan ke jenjang sekolah menengah pertama, aku sekelas dengan 4 temanku di bimbingan belajar: 3 perempuan, dan satu lagi adalah dia yang selanjutnya akan kusebut dengan Adit. Jangan bayangkan kami akan akrab hanya karena belum terbiasa dengan teman baru, aku memang membutuhkan beberapa hari untuk terbiasa dengan lingkungan baru, tapi Adit adalah orang yang mudah bergaul, dia terlihat sudah akrab sekali dengan teman sebangkunya dan teman-temanku lainnya.



Aku tergolong remaja putri biasa yang bisa dikatakan kurang peduli dengan masalah cinta monyet. Banyak yang bilang aku ini kurang peka pada kode-kode yang diberikan oleh anak-anak lelaki yang chat denganku, namun ku anggap murni untuk menanyakan masalah pelajaran, salah satunya Adit. Kami jadi sering berada di kelompok mata pelajaran yang sama, dan juga lebih akrab setelah dia sering bertanya padaku tentang rumus yang kurang dipahami.

Keakraban dalam kedok pertemanan mungkin membuatku yang saat itu belum paham tentang konteks cinta salah menerjemahkan yang terjadi antara kami. Setelah pengumuman kelulusan SMP kami resmi pacaran. Bukan tanpa alasan aku menerimanya, aku beranggapan bahwa dia orang yang baik. Tidak pemarah, menghabiskan waktu untuk hobinya yang positif, dan pandanganku dia bukan tipe pria yang mengekang seperti yang dialami beberapa sahabatku.

Setahun pertama kami pacaran, semuanya terjadi biasa saja, meskipun tidak seperti drama Korea ataupun film-film bergenre teen fiction yang menyuguhkan adegan romantis ala anak SMA. Dia pun bukan tipe remaja nakal yang tidak bisa hidup tanpa rokok, dan yang utama adalah dia tidak keberatan kami berpacaran sehat. Yang kusyukuri adalah aku tetap bebas beraktivitas dan mengembangkan hobiku di beberapa ekskul meskipun kami berbeda sekolah, tanpa ada batasan darinya.



Semuanya mulai terasa aneh bagiku saat kami duduk di kelas XI, awalnya aku menganggap mungkin sikap mengaturnya yang perlahan mulai berubah menjadi mengekang didasari karena dia tidak ingin berpisah meskipun berbeda sekolah, namun lama kelamaan aku mulai merasa dia berlebihan. Menyuruhku berhenti mengikuti ekstrakurikuler yang katanya takut kecapekan malah berubah menjadi perintah untuk berhenti ekstrakulikuler karena cemburu buta jika aku bekerja sama dengan anggota eksul pria.

Dia pun lebih sering marah-marah dan bertingkah kasar. Beberapa kali bertemu dia menggeledah isi HP-ku, namun bukannya ekspresi lega yang terpatri di wajahnya karena keterbukaan soal isi HP dia malah marah-marah dan kekerasan fisik pun mulai berani ia lakukan hanya karena aku belum keluar grup ekskul sesuai permintaannya. Saat itu aku sudah berpikir untuk kabur saja, karena jujur saja aku mulai takut dengannya, belum lagi semua yang kulakukan tampak salah dan selalu dicaci dengan kata-kata kotornya.

Namun sehari setelah kejadian itu dia meminta maaf, aku masih memaafkannya karena merasa masih nyaman dengannya, dengan menganggap kejadian tersebut hanya kekhilafannya. Namun deretan kejadian serupa kembali terjadi, bahkan setelah aku sudah keluar dari grup ekskul. Dia menjadi marah hanya karena aku mengerjakan PR tanpa memberitahunya. Kami jadi jarang bertemu, namun aku malah lega, sebab setiap kami bertemu minimal dia pasti membentakku.



Setahun aku bertahan dengannya, dengan bentakan, cacian, dan juga kekerasan fisik, kewaranku akhirnya menyeruakkan untuk aku berhenti saja dan terdoktrin secara otomatis bahwa cinta yang digemborkan sebagai dasar ia melakukannya dan juga saat meminta maaf pasca kejadian hanyalah obsesinya semata. Aku pun akhirnya menegaskan padanya jika aku ingin kami berhenti berhubungan dengan alasan sikapnya sudah keterlaluan.

Jujur saja saat itu aku merasa lega dan kukira semuanya telah usai. Tapi ternyata hidup memang tidak selalu simpel. Dia mengirimiku pesan singkat via SMS, BBM, dan WA. Bukan berisi kata maaf ataupun mengajak balikan, namun semuanya berisi hinaannya tentangku. Aku sempat merasa terpukul karena direndahkan oleh orang yang sempat kupercaya. Aku pun memutuskan untuk memblokir semua kontaknya setelah membalas pesannya dengan runtutan penjelasan kenapa aku meminta berhenti berhubungan. Hal itu bukan malah membuatnya introspeksi diri namun malah semakin menjadi-jadi dengan tuduhan aku tengah pacaran dengan pria lain.

Aku tidak mengambil pusing, karena bagiku saat aku sudah menjelaskan namun dia malah semakin mejadi-jadi, kupikir dia butuh waktu sendiri. Aku membiarkan dia berkata semaunya, namun akhirnya aku yang saat itu masih anak umur 16 tahun pun memilih ganti nomor untuk sementara demi menghindarinya. Aku tidak tahu bagaimana mulanya, namun sebulan setelah aku ganti nomor aku mendengar kabar bahwa dia menjadi akrab dengan teman sekelasku SMA.



Dia mengumbar cerita bahwa aku lah titik buruk dalam masa pacaran kami. Tidak cukup sampai di situ, sahabat-sahabat dekatku mulai dari SMP pun mulai ia dekati dengan cerita yang sama. Mereka tidak sepenuhnya menilai aku yang paling salah setelah mendengar penjelasanku, namun simpati yang terlanjur mereka punya membuat Adit kembali tahu nomor ponselku yang baru.

Aku tidak marah pada sahabatku ataupun teman sekelasku, aku lebih pada cemas apabila dia kembali bersama terornya. Dugaanku tidak sepenuhnya benar. Dia memang kembali meneror di hari-hari awal setelah tahu nomor baruku namun setelah puas dengan luapan emosinya dia mau diajak berdamai. Kami membahas tentang alasanku meminta berhenti.

Dengan kata manisnya dia menjelaskan bahwa semuanya murni karena dia tidak mau kami berpisah. Dia mulai bersikap manis seperti saat awal pacaran. Hal itu sempat membuatku berpikir bahwa dia sudah kembali menjadi dirinya yang dulu. Dan membuatku kembali berpikir bahwa kembali bersama adalah sebuah tawaran yang baik seperti saran dari teman-temanku.

Akhirnya aku memilih untuk tetap menjadi sebatas teman dengan risiko di awalnya kembali mendapat cacian. Aku mungkin nyaman dengannya namun setelah ditinjau ulang, aku hanya mampu menerimanya saat dia bersikap baik, tanpa bisa memberikan jaminan mampu menghadapinya saat sifat kasarnya muncul kembali. Saat itu mungkin aku hanyalah anak umur belasan tahun yang baru puber, tapi aku menyadari sepenuhnya, bahwa yang dimilikinya adalah obsesi untuk menahanku.

Aku tidak iri pada temanku yang berganti-ganti pasangan yang ku anggap sebagai proses pencarian jati diri sedangkan aku menjadi single, mulai saat itu aku lebih memilih mencintai diriku dengan memberikanku kenyamanan dan melakukan kegiatan-kegiatan baru yang tidak sempat kulakukan saat masih berpacaran.



Jujur saja aku sempat takut bahwa keputusanku yang menyeleweng dari saran temanku adalah hal salah tapi dengan niat yang sudah kumantapkan fokus pada pendidikanku membuatku membulatkan tekad dan alhamdulillah sekarang aku tidak pernah menyesalkan tentang keputusanku. Aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa takut pada siapapun, hal ini terjadi hanya karena saat itu aku menggunakan kewarasanku untuk berpikir dan mendengarkan seruan hati untuk memutuskan.

Cinta luar biasa memiliki banyak arti dalam hidupku, jika ditanya mengapa cerita ini yang kubagi dalam tema cinta luar biasa dan bukan cerita lain. Maka jawabannya adalah karena pengalamanku ini tidak dialami semua orang, cinta luar biasa yang kubagi adalah bagaimana memilih antara mengutamakan pada cinta terhadap diri sendiri atau cinta pada sesama makhluk Tuhan yang pernah dianggap menjadi jodoh di masa depan.

Terutama untukmu ladies yang masih menyandang status remaja, jangan pernah takut dengan ancaman, kekangan, kekuranganmu atau apapun yang digunakan pria posesif untuk mengancammu, kamu tidak perlu takut salah ambil keputusan di usiamu yang masih belia. Kamu perlu mendengarkan kenyamanan yang hatimu suarakan dan jangan pernah berpikir kamu lemah untuk mendapatkan kebebasanmu. Cinta yang baik adalah cinta yang selalu mendukungmu dan menerima apa adanya kamu. Remember it ladies!

(vem/nda)
What's On Fimela