Cinta Digantung, Haruskah Berhenti Berharap?

Fimela diperbarui 03 Okt 2018, 10:15 WIB

Sejak sore itu, aku sudah bertekad untuk tidak lagi menghubungimu. Semua tali yang menghubungkan aku dan kamu kuputus saat itu juga. Jejaring sosial, nomor ponsel, dan semua benda yang mengingatkanku padamu. Aku tahu kamu marah. Sangat marah. Tetapi, aku harap kamu akan paham dengan alasanku perlahan-lahan.

Bukankah kamu yang membawaku ke situasi seperti ini? Bukankah kamu yang mengajarkanku untuk lebih berhati-hati dan menjaga diri? Aku ingat akan perkataanmu siang itu. Aku baru saja berbaring sepulang dari kelas pagiku di kampung Inggris. Tiba-tiba saja kamu mengajukan pertanyaan. “Kamu tahu apa yang paling berharga di dunia ini?” tanyamu saat itu, yang dengan polosnya kuketik jawaban tanpa berpikir. Emas, berlian, dan sederet perhiasan lainnya. “Bukan. Wanita sholehah adalah yang paling berharga di dunia ini” jawabmu kala itu.

Sejak saat itu aku mulai berkaca dan berpikir banyak hal. Terutama tentang aku dan kamu. Lantas, layakkah hubungan ini? Hingga beberapa bulan setelahnya, aku berani mengambil keputusan berat itu. Pun aku sangat amat tidak menginginkannya. Aku mulai membuat jarak.



Tiga tahun telah berlalu. Tetapi, perasaan itu masihlah ada. Aku sungguh tak bermaksud menjaganya, karena aku sudah berpasrah. Nyatanya, Tuhan masih mengizinkan aku untuk memiliki perasaan itu. Setidaknya, mungkin Tuhan ingin aku mengingat hal-hal baik yang kau ajarkan kepadaku melalui perasaan itu. Karena toh jika kita pada akhirnya memang tak berjodoh, Tuhan telah mempertemukan aku dan kamu dengan sebuah alasan indah. Membuka hatiku untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.

Aku ingat suatu hari, selepas kegiatan kampus. Saat itu aku dan kamu secara tidak sengaja berada dalam satu kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN). Padahal sistem pemilihan kelompok ini dilakukan oleh rektor secara acak. Dan aku pastikan bahwa rektor tak mengenal aku ataupun kamu. Siang itu kegiatan kita telah usai. Tiba-tiba kamu yang tak pernah berbicara denganku semenjak hari itu, datang mendekatiku.

“Bisa bicara sebentar?” tanyamu sedikit canggung padaku. Aku tak berpikir macam-macam. Teman-teman di sekeliling kami nyatanya diam memperhatikan mungkin juga memasang telinga penasaran. Adalah hal yang aneh melihatmu berbicara kepadaku sejak hari itu. Akupun hanya mengangguk berlagak santai berusaha menutupi rasa gugupku.

Kita sudah berada di tempat favorit kita. Saat itu aku benar-benar tak memikirkan apapun. Hanya berprasangka kalau kamu ingin sedikit mengobrol denganku. Seketika kamu membuka obrolan dengan satu kalimat yang mengejutkanku.



“Selesai kuliah nanti, aku mau taaruf sama kamu,” satu kalimat utuh yang membuatku terdiam. Tak mampu berkata-kata. Bingung respon apa yang harus aku berikan. Hingga aku memutuskan untuk tak menganggapmu serius kala itu. Mengapa? Karena aku masih melihat banyak hal yang perlu aku dan kamu siapkan. Menikah bukanlah hal yang mudah. Bukan hanya berdasarkan rasa yang sama. Terlebih lagi, aku memikirkan mama yang kurang begitu menyukaimu.

Seiring berjalannya waktu, kamu dan aku masing-masing menjalani hidup kita sendiri-sendiri. Sama-sama mempersiapkan diri. Hingga waktu yang membuatku sedikit banyak berharap tiba. Hari di mana aku diwisuda. Semalaman aku tak dapat tidur dengan nyenyak memikirkanmu. Tiga tahun telah berlalu sejak kamu mengatakan hal itu. Masihkah kamu mengingatnya? Akankah kamu datang kepadaku dan kembali bertanya? Hatiku gelisah tak karuan.

Hingga pagi pun datang. Seremonial wisuda berjalan dengan lancar. Teman-teman berhamburan memberi bunga dan ucapan selamat. Mataku was-was mencarimu. Ingin menagih kata-katamu. Ah, itu kamu! Hingga teman-teman mulai pulang satu per satu kamu tak kunjung menemuiku. Mengucapkan selamat pun tidak. Aku kecewa. Lantas, harus kuapakan perasaan yang kini semakin jelas tumbuh di hatiku?



(vem/nda)