Beda Status Pendidikan dengan Pasangan Jadi Penghalang Restu Orangtua

Fimela diperbarui 02 Okt 2018, 12:00 WIB

Sudah lima tahun lebih aku menjalin hubungan asmara dengan dia, tepatnya sejak aku masuk SMA aku sudah berpacaran dengan dia. Sebenarnya orangtuaku tak mengizinkan aku berpacaran dahulu selama aku masih sekolah. Tapi gejolak asmara di masa-masa remaja menjadikan aku menutup mata dan telinga terhadap nasihat orangtua, pada tanggal 8 September 2012 aku resmi berpacaran dengan dia, hingga saat ini hingga aku sekarang kuliah sudah semester 6.

Dia hanyalah seorang laki-laki sederhana yang hanya mengenyam pendidikan SD, karena faktor ekonomi lah yang membuatnya tak bisa melanjutkan pendidikannya dan dia adalah tetanggaku sendiri yang masih satu RT dengan aku. Tapi dia adalah sosok yang sangat pendiam dan cuek terhadap cewek, maka dari itulah aku tertarik padanya.

Selama aku SMA dia sering mengantar aku ke sekolah, dia juga sering memberiku barang-barang kebutuhan aku. Namun itu hanya dilakukan pada saat dia di rumah karena dia sering merantau ke kota untuk bekerja, sedangkan aku tetap di desa karena masih sekolah.



Aku hanya di rumah berdua dengan adikku yang kala itu masih SMP, kedua orangtuaku merantau ke Jakarta untuk mencari rezeki guna membiayai sekolah aku dan adikku. Pada tahun 2015 aku lulus SMA saat itu aku masih bingung haruskah aku melanjutkan pendidikanku atau bekerja. Aku bimbang karena salah satu faktornya adalah si dia hanya lulusan SD, ia juga keberatan jika aku harus kuliah.

Setelah melalui gejolak dan tekanan batin yang berat dari orang tuaku maka akhirnya aku memutuskan untuk kuliah. Aku pun sebetulnya juga berkeinginan mencapai cita-citaku dengan cara melanjutkan kuliah. Dia pun akhirnya setuju malah semakin lama ia semakin mendukung aku kuliah, dia selalu menemaniku mengerjakan tugas, dia selalu perhatian sama kuliahku.

Pada suatu ketika Ibuku menasihati aku bahwa aku harus sukses. Aku juga harus memiliki seorang pendamping yang berpendidikan tinggi dan juga mapan karena Ibuku menginginkan aku bahagia kelak serta bisa hidup berkecukupan. Kata-kata yang merupakan nasihat Ibuku tersebut selalu terucap dan hingga terdengar ke Ibunya pacarku. Dia justru dinasihati bahwa harus mencari perempuan yang biasa-biasa saja tak usah yang berpendidikan tinggi karena agar sejajar dengan dia. Namun kami tak bergeming, kami masih mempertahankan rasa cinta yang sangat membara karena tak ada yang salah dengan cinta walau ada perbedaan kasta.

Kami tidak patah rasa dan patah semangat. Kami masih berjuang untuk membuktikan bahwa kami pantas memiliki rasa untuk saling memiliki. Meskipun begitu dia selalu menjaga aku, menjaga kehormatanku sebagai wanita. Namun ada masalah yang sangat membuat kami hampir putus asa. Waktu itu dia datang ke rumah aku, karena aku lagi tak enak badan.

Para tetangga sekamar mengetahui hal tersebut, dan kami hampir digrebek. Semua orang menganggap kami melakukan hubungan terlarang dan berita tersebut diketahui oleh orangtuaku yang akhirnya orangtuaku pulang dari Jakarta hanya untuk memastikan berita tersebut. Orangtuaku pulang dan menemui pacarku, Ibuku memaki dia.

Meneteskan air mata karena kekecewaannya yang teramat mendalam. Aku jadi pemurung sejak peristiwa itu, aku semakin tak yakin menjalin hubungan dengan dia. Hingga akhirnya kami ketemuan di suatu tempat dengan sembunyi-sembunyi agar tak diketahui pihak keluarga. Pada waktu itu aku izin pada Ibuku untuk mengerjakan tugas di rumah teman.



Aku terpaksa berbohong karena aku harus bicara dengan dia untuk memastikan akan dibawa kemana hubungan yang telah kami bina. Kami bertemu, aku pun memeluknya erat, tangispun tak mampu aku tahan. Dia menguatkan aku, dia memegang tanganku erat bahwa dia akan tetap berjuang mempertahankan aku dan tak akan menyerah untuk mendapat restu dari orang tuaku.

Ketika hari lebaran tiba, tradisi di desa adalah berkumpul untuk saling memaafkan antar sesama tetangga. Tetapi hal yang tak terduga pun terjadi, pacarku dipermalukan di depan umum oleh Ibuku sendiri. Ibuku menolak ketika diajak bersalaman dengan pacarku. Aku begitu dapat melihat dan merasakan betapa sakit hatinya pacarku. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa karena memang orangtuaku tak merestui hubungan aku dan dia. Tapi kami tetap berusaha mempertahankan hubungan kami, karena cinta kami bukan cinta biasa dan kami ingin membuktikan bahwa cinta kami layak untuk diperjuangkan.

Hari demi hari telah kami lalui bersama, masalah demi masalah kami hadapi berdua dan masih dengan perasaan yang sama serta mimpi untuk mendapat restu orangtua masih membara. Dia tetap berusaha menyakinkan orangtua ku bahwa dia tulus menyayangiku, dia berjanji akan bekerja yang rajin agar bisa membahagiakan aku. Dia selalu bertanya dan menebar senyum setiap bertemu dengan Ibuku walau hatinya sakit, karena sapaan darinya tak pernah direspon oleh Ibuku.



Aku dan dia sudah hampir 6 tahun menjalin asmara namun masih menghadapi situasi yang sama yaitu tak mendapat restu orangtua dan hubungan kami tak pernah putus nyambung karena prinsip kami membentuk lingkaran asmara yang tak ada pangkal dan ujungnya seperti angka jadian kami, yaitu 8.

Pada suatu ketika Ibuku sedang bingung mau ke acara kondangan dan tak ada kendaraan karena sepeda dipakai adikku sekolah. Satu-satunya orang yang bisa mengantar adalah pacarku, tak ada pilihan lain dan akhirnya aku SMS pacarku untuk berusaha bisa mengatar Ibuku. Dan akhirnya Ibuku mau diantarnya. Alhamdulillah aku sungguh luar biasa bahagia.

Ibuku mengucapkan, “Matur nuwun ya, Le,” yang artinya terima kasih, ya Nak. Pacarku sangat girang dengan hal itu. Dia kemudian mengatakan, "Aku yakin aku bisa meluluhkan hati orang tuamu kelak, akan aku buktikan bahwa cinta tak memandang status sosial ataupun harta yang melimpah. Melainkan berdasarkan cinta yang suci tak ternodai, karena lingkaran asmara kami akan tetap membara untuk membuktikan cinta kami bukanlah cinta biasa." Dan aku menjawab, “Aku akan selalu menemanimu di setiap perjuanganmu,” karena ini bukan rasa cinta biasa dan bukan rasa sayang main-main. Ini adalah tulusnya cinta di antara kami walau masih berjuang mendapatkan restu orangtua.

(vem/nda)