Di dunia ini tidak ada cinta yang sempurna. Namun setiap orang memiliki ‘timbangan’ mereka masing-masing dalam mengukur sebuah kesempurnaan, khususnya dalam hal ini kesempurnaan sebuah cinta.
Ada yang merasa cinta yang sempurna adalah ‘ketika perasaan berbalas dengan pasangan’, padahal mungkin berbalas saja belum cukup. Iya kalau hubungan mereka lancar. Bagaimana jika ternyata tidak? Apakah cinta tersebut masih bisa dibilang sempurna?
Ada yang merasa menghabiskan hari tua dengan pasangan sampai maut memisahkan adalah cinta yang sempurna karena keberhasilan untuk mempertahankan perkawinan adalah bukti cinta yang sempurna. Bagaimana jika ternyata sepanjang hidup perkawinan mereka diwarnai pertengkaran? Bagaimana jika selama ini mereka bertahan dalam bahtera perkawinan hanya demi anak-anak, finansial, atau berbagai alasan lainnya?
Ada juga yang bilang memiliki anak-anak yang mengurus sampai hari tua merupakan cinta yang sempurna karena ada ikatan timbal balik antara anak dan orangtua. Namun apakah ini bisa dikatakan sebagai sebuah cinta? Bukankah adalah kewajiban setiap anak untuk membalas bakti orang tuanya? Masih banyak lagi definisi ‘cinta yang sempurna’ menurut anda masing-masing dan tidak ada yang salah dengan hal ini. Semua contoh di atas juga merupakan sekian contoh yang sering kita temui dan semuanya memiliki argumennya masing-masing.
Saya pribadi merasa tidak ada cinta manusia yang sempurna, namun sebuah cinta dari manusia, meski sedikit saja dapat ‘menyempurnakan’ orang lain, mereka yang menerima “cinta” tersebut. Ayah saya telah membuktikan hal tersebut. Ayah sama seperti sosok ayah-ayah pada umumnya. Ia bukan seorang genius, apalagi seorang miliarder. Semua yang ada dalam dirinya biasa saja dan Ia bukan pribadi yang sempurna. Namun di atas segala ketidaksempurnaannya, ayah saya mampu menyempurnakan saya dan keluarganya dengan caranya sendiri.
Saya ingat betul bagaimana ketika saya masih taman kanak-kanak, Ayah saya lah yang datang setiap siang untuk menemani saya makan siang di sekolah. Ketika anak-anak yang lain ditemani oleh ibu mereka, Ayah saya justru dengan percaya diri datang dengan sebuah plastik berisi bihun atau mi goreng dalam plastik mika di tangannya, menu makan siang saya. Saya dulu sering bertanya, “Kenapa bukan mama saja yang menemani saya?” Namun seiring saya bertumbuh dewasa, saya memahami inilah salah satu cara Ayah “menyempurnakan” saya, yakni dengan mengurus saya dengan tangannya sendiri. Bisa saja ia mempekerjakan pembantu atau menitipkan saya pada nenek. Namun Ayah memilih untuk melakukannya sendiri.
Saya merasa ini tidak saja karena merupakan kewajibannya sebagai orangtua karena hal ini biasanya dilakukan oleh para ibu. Bukan berarti ini Ibu saya tidak mau melakukan hal tersebut atau Ayah saya tidak bekerja. Ia seorang kontraktor yang sibuk, namun merelakan waktu makan siangnya yang berharga dengan melakukan hal tersebut. Ia membuat kenangan ini membekas dalam diri saya. Perasaan bahwa saya disayangi membuat saya utuh, dengan kata lain sempurna.
Saya beberapa kali gagal dalam ujian masuk ke sekolah-sekolah yang saya inginkan sejak SMP sampai perguruan tinggi dan proses itu nyaris membuat saya putus asa. Namun ayah kembali menyempurnakan saya. Ia membantu saya memilih sekolah dengan berbagai riset dan pertimbangan, mengantar saya langsung ke tempat tes, membelikan makanan, bahkan menunggu di tempat tes sampai saya selesai (yang belakangan saya tahu dari ibu karena Ayah tidak pernah memberi tahu kalau Ia menunggu). Hal ini tentu kelihatan sepele dan membuat saya terkesan manja, namun hal tersebut memberikan saya semangat lebih ketika harus menghadapi soal-soal yang diberikan. Saya merasa kuat dengan dukungan Ayah, saya merasa disempurnakan.
Sampai saya hidup merantau sekalipun, Ayah tidak pernah berhenti menyempurnakan saya. Ia telah menyiapkan segala sesuatunya sebelum saya berangkat. Tempat, kendaraan, biaya, dan segalanya sudah dipersiapkan sedemikian rupa sehingga saya siap untuk berangkat dan mengejar mimpi-mimpi saya. Anda tentu akan berpikir saya begitu dimanja dengan segala kemudahan yang ada. Saya tentu mensyukuri karunia itu dan jangan salah, ini adalah cara Ayah saya menyempurnakan saya. Ia membantu saya untuk bisa lebih fokus kepada tujuan saya sehingga tidak terpecah pada hal-hal lain. Ia menyempurnakan saya untuk meraih cita-cita saya.
Masih banyak “penyempurnaan” yang dilakukan oleh Ayah terhadap hidup saya yang tentunya tidak bisa saya ceritakan satu per satu. Namun satu hal yang pasti, saya percaya cinta Ayah memang bukan cinta yang sempurna, namun cintanya membuat hidup saya menjadi sempurna.
- Menikah Bukanlah Akhir Cerita, Tapi Awal Kisah Cinta yang Sesungguhnya
- Guyonan Berujung Lamaran, Menikah di Usia 22 Tahun dengan Budget Rp20 Juta
- 3 Bulan Persiapan, 1 Hari Pernikahan dengan 2 Pasang Pengantin
- Begini Jadinya Kalau Pernikahan Dibiayai Ayah yang Pelit
- Problematika Perbedaan Agama dalam Menuju Pernikahan
(vem/nda)