Ketika Sahabat Menikah, Luaskan Hati untuk Tetap Mendoakan Kebahagiaannya

Fimela diperbarui 01 Okt 2018, 19:30 WIB

Ibarat sebuah pohon, aku dan dia adalah daun serta batangnya. Pohon tersebut adalah ikatan kami, yakni ikatan persahabatan. Daun tanpa batang bagaikan kulit tak bertulang, lemah begitulah adanya. Sedang batang tanpa daun tak berdaya, hidup namun kerontang.

Inilah kisah kami Sarikur (aku) dan Saridon (Sari sahabatku), yang awal mula dipertemukan di sebuah rawa. Lucu sekali ya! Di mana ketika itu aku melihatnya hampir saja terpeleset ke dalam rawa tersebut, dan untungnya segera kutangkap tangannya. Dari sanalah kami pun saling mengenal, dan kian akrab tatkala aku dipertemukan kembali dengannya pada satu kelas yang sama.

Banyak kesamaan di antara kami, salah satunya kesamaan nama kami. Selain itu kami pun juga sama-sama menyukai Bollywood dan hobi memasak. Suatu ketika, kami pernah dihadapkan dalam sebuah konflik. Konflik yang sebenarnya sangat sederhana, yakni perbedaan pemahaman mengenai satu mata pelajaran di sekolah. Hingga akhirnya dia pun memutuskan untuk meninggalkanku dan memilih berpindah bangku.



Ya maklumlah saat itu umur kami masih dua belas (12) tahun, dan kami yang masih duduk di bangku kelas dua dua SMP. Masa-masa remaja memang rentan akan konflik, entah itu konflik bersama teman ataupun konflik batin sendiri. Katanya sih, itu adalah masa pencarian jati diri sehingga ego lebih besar dibanding hati nurani.

Aku yang memiliki karakter lemah katanya, lebih memilih diam dan cenderung menerima “daripada nanti ditonjok mending diam saja” pikirku. Konflik itu hanya berlangsung beberapa hari saja, selepas itu kami pun mulai bercengkrama kembali. Dia yang memulai kembali obrolan kami pagi itu. Ternyata ada untungnya juga kami berjauhan, karena hal itu mampu menyadarkan kami akan indahnya kebersamaan setelah memendam kerinduan. Nih ya kalau dikaji  berdasarkan teori konflik Karl Marx, adanya hal tersebut dinilai mampu mewujudkan perubahan sosial ya salah satunya perubahan hubungan menjadi lebih baik lagi dalam berkawan.

Semenjak saat itulah hubungan kami kian membaik dan kian dekat, lebih dekat lagi daripada biasanya. Termasuk mulai dikenalkannya dia pada keluargaku, bahkan kedua orangtuaku pun telah menganggapnya sebagai anak. Maklum sedari kecil dia telah ditinggal wafat ibunya. Sehingga mamaku merasa iba, melihat dia kehilangan kasih sayang seorang ibu.



Hampir setiap momen kami lewati bersama, hingga sampai jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) yang ternyata lagi-lagi kami kembali dipersatukan di sekolah yang sama. Saat itu aku harus dihadapkan dengan situasi di mana aku harus kehilangan mamaku selama-lamanya. Sedih putus asa dan serasa tak berdaya karena kehilangan penopang hidup, itulah perasaanku saat itu. Perasaan yang mungkin sudah terlebih dahulu dialami dia, Saridon.

Ketahuilah bahwa selain keluargaku, dia juga salah satu orang yang selalu mendukungku memotivasi untuk bangkit dan tidak larut dalam kesedihan. Wajah tegar dan semangatnya selama ini yang membuat aku berkaca padanya bahwa akupun harus bangkit dan harus bisa sepertinya. Berselang tahun, kesedihan mendalam kembali menimpaku.

Aku kembali harus kehilangan orangtuaku, kali ini adalah bapakku. Satu-satunya orangtua yang menjadi alasan hidupku semenjak kepergian mama. Lagi-lagi dia selalu ada di sampingku dan tetap mendukungku. Justru dia pun juga merasa kehilangan kembali sosok orangtua yang telah dianggap seperti orangtuanya sendiri. Sejak saat itu kami pun menjalani hari-hari penuh dengan drama. Sedih senang campur aduk menjadi satu dan ya, kami menjalaninya bersama-sama. Sekarang skornya sama, aku dan dia sudah sama-sama tak memiliki orangtua.



Masa SMA terlewati, tibalah pada situasi di mana penentuan masa depan kian semakin jelas. Aku yang berambisi ingin melanjutkan ke bangku perkuliahan sedang dia yang memilih untuk bekerja. Kami pun akhirnya terpisahkan, aku harus berangkat merantau ke kota orang dan jauh dari tempat tinggal. Itu semua tak terlepas dari impianku, impian menjadi orang berilmu, sukses dan sama seperti mimpi masa remaja kami bahwa kelak aku akan membawa Saridon pergi jalan-jalan ke India tempat impian kami.

Tak sampai di situ karena keterbatasan ekonomi, untuk mengganti handphone-nya yang rusak saja Saridon tak mampu sampai akhirnya kami kehilangan kontak dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Tiba-tiba saja, suatu ketika aku mendapati sebuah pesan di layar HP-ku. Sebuah pesan yang berisi pertanyaan akan kabarku, itulah pesan istimewa yang kudapat darinya.

Dia juga bercerita bahwa dalam waktu dekat ini, dia akan pergi ke Bandung untuk pelatihan kerja. Saat itu aku bahagia sekali, dia begitu antusias bercerita seakan sangat jelas terlihat bahwa ia bahagia menjalaninya. Di saat aku ada kesempatan untuk pulang kampung, kusempatkan untuk menemuinya. Sekarang yang akan kutemui adalah dia yang lebih bertanggungjawab atas pekerjaannya, hingga untuk bertemu saja akupun harus membuat janji sebelumnya.

Sungguh sangat bahagianya aku mendapati sahabatku sukses atas pekerjaannya. Kini kabar tentangnya kembali kudengar dari balik layar handphoneku. Termasuk kabar yang cukup mengagetkanku bahwa dalam kurun waktu dekat ini, ia akan segera melangsungkan pernikahan dengan seorang pria impiannya yang tak sengaja dipertemukan dalam pelatihan kerja sewaktu di Bandung kala itu.



Tanggal 21 September 2017, tepat beberapa jam setelah pelaksanaan salat Iduladha rencananya dia akan melangsungkan akad nikah. Sehari sebelumnya aku yang masih berada di tempat rantau berharap bisa hadir di hari istimewanya, yakni hari pernikahannya. Sungguh keputusannya untuk menikah terkadang membuat hatiku berkecamuk antara senang dan sedih.

Senang sebab mulai nanti akan ada seseorang yang akan menjaganya, melindungi dengan segenap jiwanya. Namun sedih karena aku merasa akan kehilangan rasa sayangnya kepadaku. Aku sedih sebentar lagi curhatan-curhatan itu hanya akan dia luapkan pada suaminya bukan aku yang sekadar orang lain. Aku pun berniat mengatakan semua padanya, mengatakan tentang perasaanku sebagai seorang sahabat yang menyayanginya.



Saat itu aku bertanya apakah keputusannya ini sudah ia pikirkan matang-matang. Ya, aku hanya khawatir ia hanya akan disakiti oleh orang yang baru dikenalnya. Dengan penjelasan yang cukup panjang lebar, dia pun meyakinkanku bahwa ini adalah pilihan terbaik. Kalimat darinya yang masih terngiang sampai saat ini adalah, “Sarikur memang bukan saudara sedarahku, tapi kasih sayangnya melebih kasih sayang saudara kandungku kepadaku. Sarikur, penghargaanku padamu adalah bahwa tidak ada seorang sahabat seperti dirimu dan janjiku tak akan pernah sedikitpun meninggalkanmu." Itulah pesan yang sangat-sangat membuat air mataku mengalir tanpa kusadari.

30 menit sebelum akadnya, aku telah mendarat di rumahnya. Senyum lebar terpancar di wajahnya, bahwa sebentar lagi kebahagiaan akan menjemputnya lengkap dengan kedatanganku sebagai pengantarnya. Ya aku lah, aku yang mengantar sahabatku ini sampai pada pernikahannya. Pernikahan yang menunjukkan bahwa sebentar lagi tugasku akan selesai, tugas sebagai seorang sahabat yang selalu ingin menjaganya. Kini tugas itu akan diemban oleh suaminya, dan aku pun bahagia. Inilah kisahku bersama sahabat terbaikku, bahkan kami adalah saudara berbeda darah.

(vem/nda)