Sudah 10 Tahun Kita Tak Bertemu, Bagaimana Kabarmu Sekarang?

Fimela diperbarui 29 Sep 2018, 19:30 WIB

Bagiku Natal selalu menjadi momen yang membuat kerinduan akan kampung halaman dan keluargaku memuncak. Sudah sepuluh tahun aku merantau ke tanah Sunda ini. Aku memang selalu rutin pulang setiap dua tahun sekali. Tahun ini giliran aku tidak pulang. Aku hanya bisa menahan kerinduan ini. Namun, kerinduan terdalam adalah bertemu dengan bapak. Sudah sepuluh tahun ke belakang aku tidak bertemu dan berbicara dengannya. Pertengkarannya dengan mama menjadi alasan kepergiannya.

Bapak dan mamak memang sudah sering bertengkar namun aku tahu alasan pertengkaran mereka adalah karena sikap bapak. Bapakku memang bukan seorang bapak yang dapat dipuji. Pekerjaan tetap dia tak punya, harta warisan dia habiskan sendiri, mempunyai wanita simpanan dan yang paling tidak bisa diterima adalah dia tidak memperdulikan anak-anaknya sama sekali.

Kutahu mama sudah lama menahan rasa yang ada dalam hatinya. Mama bekerja berjualan pakaian bekas dari pagi sampai malam, dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Menjadi ibu sekaligus mengambil tanggung jawab suaminya adalah kegiatan mama sehari-hari.

Pertengkaran tidak pernah dimulai oleh mama. Bapaklah yang biasanya memancing pertengkaran. Menuduh mama selingkuh, menuduh mama menghabiskan harta orang tuanya dan banyak lagi bahkan sampai mengumpulkan keluarga besar untuk menghakimi mama. Semua tuduhan itu tidak benar dan seluruh keluarga besar malah mendukung mama dan menyalahkan bapak.

Sebagai saksi hidup, melihat air mata mama yang selalu mengalir keluar membuatku pernah menganjurkan agar mama bercerai saja. Tapi mama malah menolak dengan alasan kalau bercerai maka anak-anaknya akan terbagi dan belum tentu bapak bisa merawat anak yang ada padanya nanti dengan baik. Masa-masa itu adalah masa-masa yang paling mengerikan bagi seorang remaja sepertiku. Semua itu terjadi di depan mataku. Aku berhenti menjadi saksi hidup pertengkaran mereka saat aku diterima kuliah di sebuah PTN di Bandung dan merantau ke tanah Sunda ini sampai hari ini.

Bertambahnya umur membuatku menyadari bahwa kesalahan yang bapak buat tidak membuat aku bisa melupakannya sebagai bapakku. Mama yang baru menginjak umur setengah abad namun sudah memiliki penyakit yang cukup parah dan terlihat jauh lebih tua dari umur aslinya selalu meningkat emosinya saat aku singgung tentang bapak. Sakit itu terlihat dalam pancaran matanya, dalam nada bicaranya, dan dalam tarikan napas mama. Aku pun berhenti bertanya karena tidak mau menambah sakit hati mama. Sampai saat terakhir bapak keluar dari rumah dia tidak merasa bersalah bahkan telah menolak kami sebagai keluarganya dan membawa seluruh harta warisan kakek bersamanya.

Sedih dan sakit namun pikiran masa kecilku bahwa bapakku adalah lelaki terhebat di dunia sampai saat ini masih tersisa. Apalagi sebagai seorang anak perempuan, aku melihat bapak sebagai sosok cinta pertamaku, lelaki yang sungguh mencintaiku dan menyayangiku, dulu. Dari kabar yang aku dapat saat ini bapak sudah hidup sendiri, ditinggalkan oleh wanita selingkuhannya, mulai sakit-sakitan, kurus dan miskin.

Aku rindu ingin ketemu bapak, aku janji tidak akan menyalahkan bapak atas segala kesalahannya. Aku hanya ingin bertanya kabarnya, bercerita suka-dukaku selama di tanah rantau, makan dan duduk di sampingnya. Banyak yang ingin kusampaikan. Aku merindukannya. Aku bahkan rindu dimarahi oleh bapak, aku selalu cemburu melihat teman-temanku yang dimarahi oleh ayahnya saat berbuat salah, aku cemburu saat mereka diantar ayahnya, menyalam dan memeluk bapaknya dengan bebas, aku juga cemburu saat teman-temanku lulus didampingi kedua orang tuanya saat wisuda.

Bapak... doaku semoga dimanapun bapak berada saat ini bapak juga merindukanku dan semoga kerinduan itu semakin memuncak sampai tidak tertahankan dan bapak datang menemuiku. Ah, semoga kerinduan ini tersampaikan.

 

 

 

(vem/nda)