Aku tidak dapat mengingatnya dengan jelas. Bagaimana kasih dan sayangmu yang dulu kau berikan kepadaku. Hanya potongan-potongan memori yang aku bahkan tidak ingat bagaimana awal mulanya atau bagaimana akhirnya. Tapi, hanya potongan memori itulah yang kujadikan sebagai harta karunku. Pengingat akan hangatnya sosokmu. Peredam rasa canggung yang sekarang meliputi percakapan kita.
Aku tidak tahu kapan mulanya suasana dingin ini terjadi, tapi aku ingat keadaan ini telah berlangsung lama bahkan sejak sebelum aku pergi mandiri. Jarak yang jauh semakin mendinginkan suasana yang ada. Tidak ada lagi nada khawatir yang kudengar darimu bahkan sapaan pun kian berkurang frekuensinya. Terkadang ketika frustasi dan tekanan menghimpit, pertanyaan itu mengembang di kepalaku, “Apakah aku masih kau anggap putrimu?”
Serpihan memori itu berputar seperti sebuah potongan film di kepalaku. Saat itu hari libur dan kau mengajakku pergi ke kota. Aku tidak bertanya tujuan kepergian kita, yang kurasa hanya kebahagiaan yang membuncah tak sabar melihat pemandangan kota. Tanpa kata, kau membawaku ke toko sepeda dan membelikanku sepeda roda tiga yang lucu, umurku masih terlalu muda untuk mengerti bahwa kau telah menabung untuk itu, yang kulakukan saat itu hanya memandang sepeda baru itu dengan rasa damba tanpa mengerti untuk mengatakan terima kasih kepadamu. Potongan-potongan memori itu kadang datang dan menghambur begitu saja, tanpa kelengkapan atau potongan lainnya. Membuatku terus berharap untuk mendapatkan kelengkapan ceritanya agar dapat meleburkan rasa dingin ini.
Sejenak kadang rasa rindu itu datang menghampiri. Membuat pendengaranku cemburu saat terdengar interaksi temanku dengan ayahnya. Bisakah kita berkomunikasi seperti itu? Bercerita berbagai hal yang kualami sendiri di sini tak kala ku jauh darimu. Tidakkah kau penasaran dengan cerita kehidupanku disini? Terkadang sebuah asumsi terbentuk di anganku. Mungkinkah kau sangat mempercayaiku hingga kau berani melepasku jauh disini tanpa frekuensi komunikasi yang intens darimu? Haruskah aku sedikit berulah agar komunikasi kita terjalin kembali? Membuatmu khawatir sehingga kau akan selalu menanyakan kabarku.
Pikiran-pikiran buruk kadang mengundang air mataku untuk mengalir. Tapi, aku tak akan mampu melakukannya. Karena bagiku kau tetaplah superhero. Walau hubungan ini sudah lama menjadi dingin dan kaku, aku hanya berharap kepercayaan dan harapanmu padaku akan meleburkannya. Mungkin suatu saat, ketika aku mampu memenuhi harapanmu, kecanggungan ini akan melebur bersama tangis haru. Dan saat itulah aku ingin kembali mendengar suaramu yang telah lama kurindu berkata, “Putriku.”
- Merawat Ayahnya yang Lumpuh, Kisah Anak Usia 6 Tahun Ini Menyentuh
- Menikah Bukanlah Akhir Cerita, Tapi Awal Kisah Cinta yang Sesungguhnya
- Saat Hampir Putus Asa, Jodoh Datang dengan Cara Terbaik-Nya
- Anak Meninggal Kecelakaan, Pria Ini Menambal Ratusan Lubang di Jalan
- Menikah Harus Mengikuti Kata Hati, Bukan Kata Orang Lain
(vem/nda)