Bulan depan aku akan menikah, setelah menjalani hubungan jarak jauh antara Jakarta dan Banyuwangi. Jauh sebelum menikah, hubungan aku dan dia baik-baik saja, dalam artian masih wajar ketika sedang terjadi perselisihan. Hubungan kami sempat berakhir setelah 6 bulan berpacaran.
Kami sama sekali tidak berkomunikasi setelah putus, dan waktu putus itu kami gunakan untuk saling mengintrospeksi diri. Mempelajari tentang kesalahan-kesalahan yang telah kami diperbuat kemarin dan apa yang harus dilakukan agar tidak mengulang kesalahan itu lagi. Sampai takdir menyatukan aku dan Rafi kembali 3 bulan kemudian.
Hubungan kedua kami dimulai kembali pada bulan November 2017, saat aku baru saja mendapat pekerjaan baru di kota Surabaya. Bulan Maret 2018, Rafi menepati janjinya dulu yang katanya akan melamarku. Dia datang membawa keluarganya ke rumah orangtuaku di Banyuwangi, dan kami pun membuat keputusan tanggal untuk menikah, yaitu 20 Oktober 2018. Masih ada waktu 7 bulan lagi untuk mempersiapkan pernikahan kami.
Jarak Rafi yang jauh di sana, membuat dia menyerahkan semua agar aku yang mengurusnya. Namun kesibukanku bekerja juga menjadi kendala, karena aku harus bolak-balik pulang ke Banyuwangi untuk bertemu langsung dengan vendor-vendor yang kubutuhkan. Akhirnya aku memutuskan berhenti dari pekerjaanku agar bisa fokus mengurus pernikahanku di Banyuwangi per bulan Juli 2018 yang lalu. Berat? Iya. Karena pekerjaan itu kudapat dengan perjuangan yang berat pula jadi tidak adil rasanya aku hanya bisa menikmatinya sebentar saja.Tetapi juga tidak ada yang salah dengan keputusanku, Rafi juga mendorongku untuk berhenti bekerja karena setelah menikah pun aku juga tidak diperbolehkan bekerja. Seorang istri itu harus kerja di rumah mengurus keluarganya, itu prinsipnya.
Benar jika banyak orang yang mengatakan bahwa akan semakin banyak cobaan bagi orang yang akan menikah. Kukira hanya mitos, namun faktanya itu benar-benar terjadi padaku dan Rafi. Pacaran jarak jauh saja sudah berat, sering sekali terjadi kesalahpahaman karena kami hanya bisa berkomunikasi lewat media handphone. Apalagi saat mengurusi sesuatu yang sangat besar seperti pernikahan ini. Dari mulai menentukan konsep acara pernikahan, venue, catering, souvenir, biaya juga telah menjadi bahan kami untuk bertengkar.
Saat persiapan pernikahan kami sudah mencapai 75%, Rafi sempat ingin membatalkan pernikahan ini dengan alasan sudah tidak kuat menghadapi aku yang menurutnya egois ini. Stres bukan main ketika aku mendengar dia dengan nada serius ingin membatalkan. Aku mencoba mencari tahu di mana letak keegoisanku dan berusaha untuk lebih menghargai Rafi lagi. Kemudian kami berdua membicarakan ini, aku memohon maaf atas keegoisanku dan berjanji untuk menjadi lebih baik lagi.
Aku juga mencoba berpikir positif, menganggap Rafi saat itu hanya sedang emosi sesaat. Karena aku sangat percaya sebenarnya dia sangat mencintaiku dengan melihat bagaimana dia memperlakukanku selama ini. Saat itu dia hanya mengatakan hal yang sebenarnya tidak ingin dia katakan. Aku tahu Rafi, bagaimana ketika emosional, dan bagaimana ketika dia baik-baik saja. Rafi yang sangat perhatian, selalu ingin aku bahagia dan mendapatkan yang terbaik.
Meski aku sudah biasa menghadapinya saat sedang emosi, suasana hatiku tetap saja ikut naik turun. Setiap ada masalah sedikit dengan Rafi, aku berhenti sejenak mengurusi pernikahan dan akan mulai lagi saat suasana hatiku membaik. Dengan suasana hati yang naik turun, dengan masih seringnya berdebat pendapat, akhirnya persiapanku mencapai 90%. Semakin dekat dan semakin banyak yang sudah diurusi, kupikir intensitas pertengkaranku dengan Rafi akan berkurang juga. Namun kenyataannya, kami memang sudah jarang berdebat tentang acara pernikahan. Tapi selalu ada saja hal-hal kecil di sekitar kami yang bisa jadi bahan untuk bertengkar meski tidak lama.
Sampai saat ini kami masih berusaha untuk selalu berpikir positif, mungkin inilah yang disebut ujian sebelum menikah. Menguji seberapa kuat kami bertahan untuk melanjutkan hubungan meski diberi banyak cobaan. Saling mendoakan, saling menguatkan, dan saling percaya, adalah kunci bagi kami untuk bertahan. Doakan agar acara pernikahan kami bulan depan lancar dan bahagia selamanya.
- Balada Susah Sinyal di Tengah Repotnya Persiapan Nikah
- Disuruh Cepat-Cepat Menikah, Persiapan Jadi Serba Mendadak
- Yang Terpenting dari Pernikahan adalah Berkahnya, Bukan Pestanya
- Ujian Terbesar Mempersiapkan Pernikahan Justru dari Orangtua Sendiri
- Calon Suami Selingkuh Saat Rencana Menikah di Depan Mata
(vem/nda)