18082018. 18 Agustus 2018, tanggal cantik yang kami pilih jadi hari pernikahan kami. Kami berkenalan di bulan Oktober 2017 dan memutuskan untuk menikah di bulan Januari 2018. Kami berdua menetap di Bali. Saya berasal dari Jawa, sedangkan suami berasal dari Perancis. Dia memberikan kebebasan bagi saya untuk mengatur pernikahan ini. Pilihan jatuh di bulan Agustus karena dari sisi saya memilih bulan besar dan suami berharap jika menikah di bulan Agustus akan ada beberapa teman dekatnya yang datang berlibur di Bali sehingga dapat sekaligus menghadiri pernikahan kami.
Dalam persiapan pernikahan ini ada dua hal penting yang harus kami urus. Pertama mencari gereja untuk pemberkatan dan kedua menghadapi orang tua (dan keluarga besar) saya. Urusan gereja ternyata sangat sulit. Ditambah lagi suami berasal dari luar negeri yang memerlukan izin yang prosesnya cukup memakan waktu. Bahkan kurang dari 2 bulan sebelum hari H kami belum menemukan gereja.
Saya browsing banyak gereja di Bali, yang tentu saja juga mempertimbangkan jarak, menghubungi gereja-gereja tersebut satu per satu, mencari tahu persyaratannya. Kami beruntung akhirnya menemukan gereja yang tepat untuk kami. Perizinan suami dari negara asalnya juga akhirnya keluar sehingga kami dapat memenuhi persyaratan yang diminta gereja.
Untuk urusan orang tua, ternyata tidak kalah rumitnya. Orang tua tinggal di Jawa, jadi ketika kami memutuskan menikah di Bali, semuanya sepenuhnya urusan kami. Setiap saya telepon orang tua dan memberikan penjelasan, mereka mengatakan mendukung apapun kemauan saya. Tapi prakteknya, saya menangkap kesan apa yang sebenarnya dimaui oleh orang tua saya.
Awalnya saya ingin pernikahan yang tidak mengundang siapapun. Hanya kami mempelai, orang tua kandung dan saudara kandung. Sayangnya sebagai orang Jawa hal itu tidak mungkin. “Masa kamu nggak ngundang Pakde, Bude, Tante, dan seterusnya, dan seterusnya… .” Haduh.
Rencana awal hanya total 20 orang berkembang menjadi 30, 40, hingga akhirnya 60 orang. Belum lagi urusan komentar dari beberapa anggota keluarga besar. Ya, ini semua yang membuat saya benar-benar stres. Suami berasal dari budaya yang berbeda, sulit baginya untuk memahami semua ini. Walaupun demikian, untungnya dia sangat sabar.
Setiap saya cerita tentang berbagai komentar keluarga besar, dia hanya ketawa dan bilang, “Family all over the world are the same.” Ketika saya sangat stres bahkan menangis, dia dengan sabar bilang supaya saya jangan stres, meyakinkan saya pasti akan ada jalan keluarnya. “Korban stres” saya lainnya adalah kakak perempuan saya. Hampir tiap hari kami teleponan dan whatsapp-an untuk curhat.
Jujur saja, kami tidak ingin menghabiskan terlalu banyak dana untuk pesta pernikahan kami. Kami bukan dari kalangan kaya raya, kami tidak butuh membuat pesta mewah hanya demi gengsi. Terlebih lagi, kami berpikir lebih baik dananya buat modal masa depan kami. Kami hanya ingin mengundang ke pemberkatan pernikahan lalu makan siang sederhana. Dan di sinilah tantangan terbesarnya, di Bali yang serba mahal, kami harus mencari tempat makan siang yang nyaman dengan masakan Indonesia dan Barat yang dapat diterima lidah kedua budaya yang berbeda. Setelah tanya sana sini, survei kesana kemari, akhirnya kami mendapatkan tempat yang pas. Karena begitu banyaknya yang harus kami urus, kami bahkan baru memesan cincin pernikahan kurang dari 2 minggu sebelum hari H.
Akhirnya hari itu tiba. Kami bersyukur akhirnya semua berjalan dengan lancar. Hari itu hujan dari pagi hingga siang. Selesai pemberkatan bahkan hujan deras, hingga sayangnya ada tamu yang tidak dapat ikut hadir di makan siang. Saat makan siang untungnya hujan sudah berhenti. Kami mengadakan makan siang outdoor di taman. Kami benar-benar diberkati dengan cuaca yang mendung dan bersahabat.
Pada akhirnya yang terpenting adalah kehidupan keluarga baru yang kami bangun untuk seumur hidup. Jauh lebih penting daripada segala kehebohan untuk mengurus acara yang ‘cuma’ 1 hari.
- Pesta Pernikahanku Bisa Dibilang Gagal Total, Tapi Pernikahanku Tetap Indah
- Bagi Wanita, Pernikahan Tak Ubahnya Kelahiran Kedua
- Mempersiapkan Pernikahan Bikin Pusing Tapi Jangan Lupa Bahagia Ya!
- Menikah Bukanlah Akhir Cerita, Tapi Awal Kisah Cinta yang Sesungguhnya
- Ayah Menjadi Kesedihan Terbesar pada Hari Paling Membahagiakan
(vem/nda)