Menikah pastinya keinginan setiap insan manusia begitupun denganku. Aku dan calon suami pada waktu itu hanyalah sebatas rekan kerja serta tak terbesit olehku akan berdampingan dengannya. Kami berdua juga saling menghormati privasi masing-masing dan tidak turut campur satu sama lain selain urusan pekerjaan. Maklumlah, di samping usia kami yang bisa dikatakan matang dan kebetulan saat itu aku juga masih memiliki kekasih. Namun satu dan lain hal, impian itu kandas juga.
Bagiku cukup menguras energi dalam membutuhkan waktu, keikhlasan karena Allah dan menata hati kembali untuk orang lain. Semakin dekat ke Allah dan subhanallah, ujian tak berhenti sampai di sana. Allah memberikan lebih dari 3 pilihan untukku sebagai calon pendamping. Seraya terus berikhtiar dan salat istikharah karena bingung, bimbang dan ragu dalam menentukan pilihan. Entahlah, belakangan sempat berpikir bahwa tanda dari Allah kok semakin menuju pada sosok suamiku yang saat itu masih calon. Ridho orangtua pun bersambut dan mulailah kami sekeluarga melangkah ke tahap selanjutnya, yaitu membicarakan pernikahan.
Setelah mendapatkan restu, kami berdua sempat ngobrol dan berencana tidak mau merepotkan keluarga dengan ingin mengadakan pernikahan di bulan ramadan saja (sekitar 1 bulan usai pertemuan kedua keluarga) agar bisa beribadah bareng niatnya. Kebetulan ada info nikah massal dan gratis pula segala sesuatunya sudah tersedia sehingga tidak terlalu ribet wira-wirinya.
Hanya berbekal berkas administrasi, calon pengantin, wali dan perwakilan keluarga/kerabat pikirku perlu dicoba serta mahar juga telah diberikan oleh penyelenggara. Aku dan calon suami saat itu tak berpikir yang aneh-aneh dan bisa saja membuat syukuran di lain waktu mengingat apalagi yang dicari sih. “Toh, kami sudah cukup dewasa dan alhamdulillah ada pekerjaan." Kami berdua adalah sama-sama anak pertama yang mungkin bisa dikatakan sebagai beban tulang punggung sehingga pemikir meski keras kepala dan pengatur juga tau diri sebagai bentuk tanggung jawab untuk jadi contoh dalam keluarga khususnya buat adik.
Ternyata, hal pernikahan masih juga diatur pula oleh orang tua hingga diputuskan akhir tahun dengan segala pertimbangannya. Memaklumi bentuk kasih sayang orang tua tapi jujur saja bahwa aku dan calon suami saat itu malu seakan menjadi anak kecil yang disetir oleh keinginan orang tua kami masing-masing. Berusaha bersikap hormat dan memberikan penawaran yang terbaik kepada orang tua agar tidak capek namun tetap saja tak digubris oleh mereka.
Sehingga ada ungkapan kalimat dari papaku yang bijak untukku bahwa, “Sedewasanya anak, ya tetap anak-anak di mata orang tuanya. Apapun keinginanmu baik tapi orang tua ingin memberikan yang terbaik lagi meski itu dinilai kurang, di mata anaknya.” Kalau di keluarga calon suami saat itu justru selain disetir oleh orang tua juga dari pihak lain sehingga kami berdua menjadi pribadi yang dilema serba salah dalam bersikap. Kami yang akan menikah kok pada ribet semuanya dan menguras emosi. Memberontak dan menentang kok jadi durhaka, dibiarkan begitu saja kok seakan jadi tradisi menjadikan pribadi lemah karena tak tega melihat keinginan orang tua.
Mungkin benar adanya bahwa mengenai persiapan pernikahan itu pasti banyak godaannya dan salah satu ujian terbesar kami berdua yaitu orangtua sendiri. Niatkan ingin membahagiakan orang tua dan mencari ridhonya Allah, bismillah kami berdua berusaha ikhlas menjalaninya. Nah, buat kamu yang mengalami hal serupa. Sedikit tips buanglah ego sebagai anak dan terus berdoa serta berdamai dengan hati. Sebagai seorang muslim aku tambahkan dengan beribadah, puasa sunnah, bersedekah dan berusaha melakukan kebaikan agar acara persiapan hingga perjalanan pernikahan berjalan lancar.
Alhamdulillah berkah yang aku rasakan meski ada hujan deras dan sedikit kerikil teknis di tengah acara pernikahan kami. Yakinlah bahwa Allah Maha Tahu yang terbaik untuk umatNya. Semoga pernikahan kami menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Barakallah. Amiin.
- Bagi Wanita, Pernikahan Tak Ubahnya Kelahiran Kedua
- Mempersiapkan Pernikahan Bikin Pusing Tapi Jangan Lupa Bahagia Ya!
- Menikah Bukanlah Akhir Cerita, Tapi Awal Kisah Cinta yang Sesungguhnya
- Ayah Menjadi Kesedihan Terbesar pada Hari Paling Membahagiakan
- Tenda Biru Saksi Bisu Pernikahan di Tengah Kebakaran
(vem/nda)