Dari kecil aku selalu berharap, di hari pernikahanku nanti sangat berkesan bagiku. Ada foto pra-wedding, souvenir pernikahan yang unik, konsep dekorasi yang dipenuhi bunga-bunga cantik, baju pengantin yang menawan, make up pengantin yang membuat 'pangling' semua undangan, serta tak lupa undangan yang kece.
Tapi apa? Pada kenyataannya, semua imajinasi tidak seindah drama Korea. Dan pernikahanku yang terjadi sekali seumur hidup itu justru penuh drama yang memilukan. Kalau diingat-ingat kadang aku masih suka sebel sendiri.
Jadi ceritanya, lima tahun lalu saat aku memutuskan akan menikah dengan lelaki yang aku cintai semuanya serba dadakan. Suami meminta hari pernikahan, lima hari setelah lebaran Idulfitri karena di hari itu semua keluarga besarnya berkumpul sehingga bisa hadir semua di acara nikahan nantinya.
Pihak keluargaku menyanggupinya, walaupun aku tahu dari pihak kami bakalan repot ampun-ampunan nantinya. Biar aku cerita tentang kerepotan kedua orangtuaku dulu, sebelum aku menumpahkan unek-unekku yang tiada habisnya ini. Aku anak keempat dari empat bersaudara. Ketiga kakakku laki-laki semua, mereka sudah menikah dan merantau semua, termasuk aku. Jadi otomatis di rumah hanya tinggal ayah dan ibuku saja.
Dalam adat budaya Jawa, menikahkan anak perempuan itu sangat sakral dan harus 'wah', nggak boleh sederhana doang. Jadi pertama-tama ibu kerepotan mencari tukang masak, secara itu masih bau-bau lebaran, siapa sih yang mau repot di rumah orang? Acara nikahan memang tanggal 5 setelah lebaran, tapi untuk masak-masak dan undangan yang datang kadang dimulai dari tanggal 3.
Lalu ditambah lagi, mencari bahan baku untuk masak. Sudah kukatakan bahwa itu masih suasana lebaran, jadi pasar tutup dan semua pedagang masih merayakan euforia opor ayam dan biskuit kong ghuan. Dan yang lebih ekstrem lagi, semua bahan pokok mahalnya minta ampun saat itu. Masak bawang merah sekilo Rp60 ribu dari yang tadinya cuma 30 ribu doang dan daging sapi sudah sampai di angka Rp130 ribu perkilonya di tahun itu.
Lalu bapak juga tak kalah pusing, harus mengurus kartu undangan serta mencari tukang nyinom para pemuda desa, lalu mencari penghulu yang mau datang ke rumah, serta meminjam perabot kas RT untuk acara resepsi. Semua itu dikerjakan bapak dan ibu sendiri. Aku sampai kasihan melihat mereka berdua yang sudah tua itu.
Dan aku? Oke. Saat itu aku dan calon suami masih kerja di Karawang, sedangkan rumahku di Jogja. Suami juga orang Jogja. Aku mulai libur kerja seminggu sebelum lebaran, jadi bisa dibayangkan bagaimana repotnya aku kala itu. Cuma punya waktu satu minggu, aku harus mengurus semuanya.
Pertama mengurus surat-surat nikah di KUA. Kalau terlambat sedikit saja, KUA sudah tutup libur lebaran. Lalu aku harus menyebar undangan untuk teman-teman sekolahku dulu dan itu banyak sekali temanku yang pada ngeluh karena aku tak mengundangnya. Bukannya aku lupa sama teman, tapi repot dan kelupaan. Lalu aku harus datang ke tempat salon untuk mencoba baju pengantin. Lalu aku harus berbelanja barang-barang seserahan serta souvenir juga. Aku juga harus memesan orgent tunggal serta fotografer. Aku bahkan tak sempat membeli baju baru untuk lebaran tahun itu.
Dan yang lebih menyebalkan lagi, karena tengah stres berat memikirkan pernikahan, maka muncul banyak jerawat di wajahku. Oh, No! Ini hari pernikahan tapi mukaku dipenuhi jerawat sebesar-besar kacang tanah. Aku tak sempat ke salon ataupun perawatan. Malam itu aku rasanya pengin nangis saat lihat mukaku sendiri.
Oke, di hari Senin itu acara pernikahanku akhirnya digelar, dengan sepasang mata panda karena semalam tak bisa tidur. Apakah acaranya lancar? Tidak sesuai harapan. Make up-ku jelek banget. Pipiku jadi tembem seperti bakpau. Dan yang lebih menyebalkan lagi, semua foto yang diambil oleh fotograferku itu jelek semua. Bener-bener nggak niat dia ambil gambarnya. Lalu aku dengar dari teman, ternyata si fotografer ini baru saja bercerai dari istrinya jadi dia nggak mood memfoto orang nikahan. Ya ampun. Sial amat yah aku.
Makanya sampai saat ini aku nggak pernah memajang foto pernikahanku. Tiap kali aku ingat hari pernikahanku aku sering mengomel-ngomel sendiri. Lalu suamiku sering menawarkan diri untuk mengulangi foto praweding. Hah? Foto praweding setelah menikah, apa menariknya. Sebel kan yah. Oh iya, souvenir nikahanku juga ala kadarnya nggak ada ukiran namaku dan suami. Pakaian pengantin juga dua biji saja, baju ijab sama resepsi.
Kalau diingat-ingat suka senewen sendiri tapi aku selalu menenangkan diri dengan perkataan suami, "Bukan seberapa indah pesta pernikahanmu, tapi seberapa indah kehidupan pernikahan yang kamu jalani." Bener juga, mungkin pesta pernikahanku bisa dikatakan gagal total, tapi dunia pernikahanku begitu indah. Sangat jarang kami bertengkar dan semuanya begitu damai dan penuh cinta.
- Tenda Biru Saksi Bisu Pernikahan di Tengah Kebakaran
- Guyonan Berujung Lamaran, Menikah di Usia 22 Tahun dengan Budget Rp20 Juta
- Saat Hampir Putus Asa, Jodoh Datang dengan Cara Terbaik-Nya
- Mengenal Karakter Calon Mertua Sebelum Menikah Itu Penting!
- Tak Ada yang Lebih Baik dari Dua Orang yang Saling Cinta kecuali Menikah