Lagi sibuk menyiapkan pernikahan? Atau mungkin punya pengalaman tak terlupakan ketika menyiapkan pernikahan? Serba-serbi mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi kesan dan pengalaman yang tak terlupakan, seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini
***
Setahun yang lalu, aku resmi menjadi seorang istri dari laki-laki yang sudah 8 tahun aku kenal. Kami baru dekat setelah 5 tahun saling mengenal. Perjalanan cinta kami sebelum menikah berjalan mulus meskipun menjalani LDR selama 3 tahun karena kami menempuh studi S1 di kampus yang berbeda kota.
Hingga tiba saatnya setelah kami sama-sama lulus, orang tuaku mulai mendesakku untuk segera menikah. Tentu aku senang jika orang tuaku menginginkanku segera menikah. Apalagi dengan lelaki pilihanku sendiri. Tapi bagaimana dengan si dia yang saat itu baru berumur 24 tahun? Sementara orang tuanya hanya akan merestuinya menikah pada umur 27 tahun. Artinya, jika aku ingin menikah dengannya, aku harus menunggu 3 tahun lagi. Tidak. Orang tuaku sama sekali tidak menyetujui itu.
Akhirnya orang tuaku menggertak dia (suami) bahwa jika memang tidak bisa menikah pada tahun itu (2017), maka aku akan dijodohkan dengan lelaki lain. Tuhan… Bagaimana mungkin cinta yang sudah kita bangun 3 tahun harus kandas begitu saja? Pasangan mana yang rela berpisah setelah sekian tahun bersama sementara mereka masih sangat saling mencintai? Lelaki mana yang hatinya tak teriris melihat wanita yang ia cintai dan mencintainya tiba-tiba menjadi pasangan hidup lelaki lain?
Aku bingung harus berbuat apa. Begitu juga dia. Keluarganya yang sejak dulu mendidiknya dengan keras benar-benar tidak mengizinkannya menikah saat itu juga. Aku dan dia hanya bisa berdoa, semoga Tuhan melunakkan hati orang tuaku dan orang tuanya. Agar orang tuanya merestui pernikahan kami, dan orang tuaku mau membantuku memperjuangkan lelaki yang saat ini menjadi suamiku.
Di pertengahan bulan Februari, Ayahku memutuskan untuk melamar dia. Seminggu sebelum lamaran, Ayahku menghubungi Paman dan Bibiku untuk ikut ke rumahnya. Bagaimana dengan dia? Dia sangat syok. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Sementara pada saat itu dia tidak bisa pulang ke rumah karena masih ada kontrak kerja dengan kampusnya. Dia hanya bisa memberi tahu keluarganya bahwa keluargaku akan berkunjung ke rumahnya untuk melamar.
Mungkin terdengar aneh jika pihak perempuan yang melamar pihak laki-laki. Tapi begitulah adanya. Dalam keluargaku, siapapun yang melamar tidak lah masalah. Yang terpenting niat suci untuk menuju pelaminan bisa terlaksana dengan baik. Proses lamaran itu berlangsung tanpa aku dan dia. Aku tidak diizinkan untuk ikut karena orang tua takut dengan jawaban keluarganya yang mungkin saja bisa mengecewakan.
Akhirnya proses lamaran berjalan lancar. Aku lega. Tapi tidak dengan suamiku. Dia masih bingung apa yang bisa dia lakukan sementara dia belum punya pekerjaan tetap. Modal menikah pun tidak cukup banyak. Sekali lagi, kami hanya bisa berdoa atas segalanya agar diberi yang terbaik. Di pertengahan bulan Mei, keluarganya mendatangi keluargaku untuk mengembalikan lamaran (istilah Jawanya) atau menjawab permintaan keluargaku sebelumnya.
Aku sangat bersyukur keluarga suami menerima lamaran itu dan mau melangsungkan pernikahan bulan Juli. Artinya, tiga bulan lagi kami akan menikah. Kata suami, dia hanya bisa pasrah. Dari pada harus kehilangan aku. Tuhan pasti memberi jalan untuk niat yang baik. Kami sangat senang akhirnya hari pernikahan itu akan segera tiba.
Apakah masalah selesai sampai di situ? Tidak. Aku masih punya kakak perempuan yang sampai saat itu belum juga menemukan tambatan hatinya. Sejak hari pernikahan itu ditentukan, kakakku jadi bersikap dingin terhadapku. Dia mudah marah, suka mencibir apapun yang aku lakukan. Bahkan dia lebih sering mengurung diri di kamar sembari menonton film-film Korea kesukaannya.
Aku paham betul bagaimana perasaan seorang kakak jika adiknya menikah duluan. Pasti akan banyak mulut yang berbicara dengan mudahnya tanpa sadar menyakiti perasaan. Kakakku pasti sangat kecewa dan sakit hati jika nanti aku benar-benar menikah sementara dia belum. Aku dan suami harus memikirkan bagaimana caranya supaya kekecewaan kakakku terobati. Kami berencana untuk membelikan dia sesuatu yang dia suka. Atau mencarikan dia lelaki yang siap untuk meminangnya.
Waktu kami untuk menyelesaikan masalah dengan kakakku hanya 3 bulan. Belum lagi mempersiapkan segala macam untuk kami sendiri saat pernikahan nanti. Mulai dari administrasi hingga dekorasi. Kami benar-benar dikejar waktu. Ada rasa gelisah yang semakin hari semakin kuat. Kegelisahan itu membuat emosi kami menjadi labil. Entah kenapa aku sendiri lebih mudah tersinggung dengan kata-kata suami saat itu. Tapi kami harus kuat. Semua harus bisa dikendalikan dengan pikiran tenang.
Dua bulan telah berlalu. Artinya, tinggal sebulan lagi pernikahan kami akan terlaksana. Sementara kakakku belum juga ada yang melamar. Bukan hanya aku dan suami saja yang mencoba mencarikan pasangan hidup. Orang tuaku juga tidak hentinya berdoa dan berusaha agar kakakku segera mendapat jodoh dan bisa melangsungkan pernikahan bersamaan denganku. Sepertinya sudah tidak mungkin lagi akan ada yang meminangnya hanya dalam waktu satu bulan. Tapi siapa sangka, Tuhan memang Maha Berkehendak.
28 delapan hari sebelum pernikahan kami dilaksanakan, ada seorang lelaki datang menanyakan kakakku. Selang 4 hari, dia langsung melamar kakakku. Laki-laki itu mengetahui kakakku dari tetangganya yang merupakan teman dari Ayahku. Selama ini dia sendiri juga sedang mencari tambatan hati untuk diajak hidup bersama. Meskipun dia dan kakakku usianya terpaut 10 tahun, mereka langsung sama-sama setuju untuk menikah. Hebatnya lagi, si laki-laki itu bersedia juga menikah bersamaan dengan aku dan suamiku. Dia dan kakakku hanya ada persiapan kurang dari satu bulan.
Semenjak hari lamaran itu, kakakku menjadi lebih ceria. Tidak sedingin sebelumnya. Komunikasiku dengannya pun juga semakin membaik. Aku, suami, dan kedua orang tuaku sangat lega. Ternyata Tuhan benar-benar menjawab doa kami. Akhirnya, hari itu pun tiba. Aku dan kakakku menikah di hari yang sama. Tidak ada lagi rasa kecewa. Tidak ada lagi sikap dingin, dan semua bahagia.
- Begini Jadinya Kalau Pernikahan Dibiayai Ayah yang Pelit
- Problematika Perbedaan Agama dalam Menuju Pernikahan
- H-14 Ayah Meninggal, Momen Persiapan Menikahku yang Penuh Tangis dan Haru
- Dua Minggu Usai Lamaran Aku Langsung Nikah, Tapi Ada Saja yang Memfitnah
- Rencana Pernikahanku Batal karena Hadirnya Mantan yang Kurang Ajar
(vem/nda)