Lagi sibuk menyiapkan pernikahan? Atau mungkin punya pengalaman tak terlupakan ketika menyiapkan pernikahan? Serba-serbi mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi kesan dan pengalaman yang tak terlupakan, seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.
***
Hai, aku perempuan berusia 28 tahun yang tinggal di Jakarta. Aku mau sharing cerita soal suka duka mempersiapkan pernikahanku 3 tahun yang lalu. Hubunganku dengan pasanganku waktu itu Long Distance Relationship, berbeda negara juga benua.
Januari tahun 2013 aku mulai bekerja di sebuah instansi pemerintah. Pada saat itu usiaku 23 tahun dan orangtuaku sudah mulai menanyakan kapan aku mulai mengenalkan seorang lelaki sebagai pacarku. Singkat cerita, Agustus 2013 ada seorang lelaki yang bisa dibilang mulai mendekatiku. Dia orang kantorku juga, tetapi kami beda gedung jadi kami hanya kenal nama dan sekadar "say hi" kalau ada urusan pekerjaan saja.
Saat itu kami hanya komunikasi lewat whatsapp saja tanpa dia pernah mengajakku dating. Akhirnya aku tahu kalau dia sedang mengurus beasiswa studi S2nya ke luar negeri, dan dia akan berangkat pada tanggal 28 September 2013. Aku pun tidak terlalu mengharapkannya lagi.
Bulan Oktober saat itu, 2 minggu setelah dia berada di Inggris dia mulai lagi untuk chat lewat whatsapp. Aku inget banget pada sore harinya sebelum dia mulai chat aku habis berdoa soal jodoh. Jadi saat dia WA, aku yakin ini kayak semacam dapat petunjuk langsung dari Allah. Sejak saat itu komunikasi kami lancar sampai akhirnya bulan November dia memintaku menjadi kekasihnya, menjalani hubungan serius walaupun LDR. Iya, dia mengutarakan perasaannya lewat whatsapp, saat di Inggris dan aku di Jakarta, dan aku menerimanya.
Setelah kami menjalani hubungan 3 bulan dia mengabariku kalau dia akan pulang liburan ke Indonesia bulan Oktober 2014 untuk menemuiku dan membuktikan keseriusannya kepadaku ke orang tuaku. Aku sangat senang sekali karena tidak menyangka dia bisa secepat itu membuktikan keseriusannya dan walau masih 8 bulan lagi baru akan pulang tetapi dia sudah membeli tiket pesawat ke Indonesia. Oya, tiket untuk pulang liburan itu tidak ditanggung oleh beasiswa, beasiswa hanya menanggung tiket pergi dan pulang saat sudah selesai belajar. Itulah yang membuatku terharu dan semakin yakin dengannya.
Oktober 2014 setahun setelah kami pacaran LDR, dia pun pulang dan memenuhi janjinya untuk menemuiku dan kedua orangtuaku. Dia hanya punya waktu di Indonesia 2 minggu. Saat itu walau kami sudah sangat yakin dengan perasaan kami masing-masing tapi tidak ada kepikiran kami untuk melangsungkan lamaran pada saat kepulangannya.
Hal itu bermula saat dia menghadap ke kedua orangtuaku dan mengutarakan keseriusannya, lalu sebagai tanda bukti ibuku bilang, "Kalau kamu memang serius sama anak saya, bawa orangtuamu dan keluargamu kemari, 'ikat' anak saya terlebih dahulu sebelum kamu kembali ke Inggris, bisa?” dan dia pun langsung menyanggupinya. Sungguh saya sangat terharu akan sikap gentleman-nya.
Saat itu baru kami sadar berarti secara tidak langsung orangtuaku meminta kami melakukan lamaran pada akhir pekan besok, dan kami hanya punya waktu sekitar 3 hari untuk mempersiapkan semuanya. Alhamdulillah semua berjalan lancar dan disepakati November tahun depan kami akan menikah. Kenapa jaraknya lama sekali lebih dari 1 tahun? Karena dia hanya bisa pulang setahun sekali saat libur panjang, yaitu sekitar bulan Oktober – November.
Lalu dimulailah segala macam persiapan pernikahan kami. Diputuskan semua acara aku dan keluargaku yang akan mengurusnya. Karena dia sedang di luar negeri, kedua juga keluarga pasanganku berasal dari kota Surabaya. Tidak ada satu pun yang di Jakarta.
Alhamdulillah walau aku bisa dibilang mengurus pernikahan tanpa pasanganku di dekatku, tetapi keluargaku sangat banyak membantu. Dan bersyukur calon suamiku dan keluarganya tidak banyak kemauan, sehingga meminimalisir perbedaan-perbedaan pendapat.
Kerepotanku saat itu karena selain mempersiapkan pernikahan, juga harus merenovasi rumah yang akan kami tempati nanti setelah menikah. Selama proses itu pasti ada gesekan-gesekan kecil antara aku dengan kedua orangtuaku dan aku dengan calon suamiku. Tetapi semua bisa dilewati dengan baik Alhamdulillah.
Rintangan pertama muncul justru karena perbedaan pendapat aku dengan kedua orangtuaku. Aku dan pasanganku menginginkan akad dan resepsi di hari yang sama di gedung, tetapi orangtuaku menginginkan pisah hari, biar akadnya lebih khidmad dan tidak terburu-buru katanya. Lebih dari itu, ibuku menginginkan pada saat akad aku memakai adat Sumatera (sesuai asal ibuku), sedangkan sudah disepakati kalau aku ingin pakai adat Jogja di resepsi pernikahanku. Maka tidak mungkin memakai dua riasan dan adat yang begitu berbeda bisa dijadikan satu hari acara. Mengingat aku anak tunggal, dan ibuku yang terus mendesak akhirnya aku dan pasanganku mengalah. Hari Sabtu akad, dan Minggu resepsi. Itu berarti kami harus mencari tambahan vendor lagi untuk memenuhi semuanya. Tapi tidak apa.
Rintangan kedua muncul saat kurang dari 4 bulan sebelum hari H, pasanganku mengabarkan kalau jadwal liburnya awal Oktober sampau tanggal 8 Desember 2015. Di situ aku berpikir sedikit sekali waktu yang akan kami punya setelah menikah karena rencana kami menikah tanggal 21 November 2015. Dan kami harus membuang waktu 1 bulan lebih setelah kepulangannya dengan status belum resmi. Akhirnya aku mengusulkan padanya untuk memajukan pernikahan kami menjadi akhir pekan di awal Oktober.
Tidak apa kalau kami tidak sempat melakukan foto prewed, karena bagiku yang terpenting kami bisa halal secepatnya. Akhirnya setelah susah payah nego sana sini dengan semua vendor terkait, terutama gedung, disepakati bisa dimajukan di tanggal 17 Oktober 2015. Alhamdulillah.
Ternyata masalah belum selesai sampai di situ. Setelah mengobrol dengan pasanganku, dia menyampaikan bagaimana adat dan hitungan tanggal di adat jawa. Diketahuilah kalau di bulan Oktober 2015 itu ternyata bulan Suro dalam kalender Jawa, yang mana menurut mitosnya tidak baik ada pernikahan di bulan tersebut.
Sebenarnya aku dan pasanganku tidak lagi mempercayai hal seperti itu, kami menganggap semua hari, tanggal, bulan, dan tahun itu baik, apalagi niat kami juga baik, ingin beribadah. Akhirnya calon suamiku memutuskan untuk bicara dan memberi pengertian kepada orangtua dan keluarganya. Bagaimanapun kami harus tetap menghormati orang tua dan sesepuh kami dan adat yang mereka pegang.
Saat itu sebenarnya aku merasa tidak enak dengan keluarga calon suamiku. Sama sekali tidak ada niatanku untuk mendobrak atau membangkang terhadap adat istiadat mereka. Tetapi calon suamiku meyakinkanku kalau semua akan baik-baik saja karena keluarganya juga bukan tipe yang fanatik. Alhamdulillah ucapan suamiku terbukti seiring dengan dia mengabariku kalau orangtua dan keluarganya setuju, dan bahkan menyambut baik keinginan kami memajukan pernikahan. Mereka percaya sejatinya takdir itu di tangan Allah Swt. Alhamdulillah aku bukan saja mendapatkan calon suami yang insyaAllah baik, tetapi begitu juga dengan keluarganya yang sangat baik dan pengertian.
Akhirnya setelah segala drama mempersiapkan pernikahan yang menguras tenaga dan pikiran, pernikahan kami bisa berlangsung dengan lancar. Semua terlaksana sesuai dengan keinginan kami, keinginan keluargaku, dan juga keluarga suamiku. Sampai sekarang hampir 3 tahun pernikahan kami, kami sangat bahagia. Semoga kami bisa berjodoh di dunia dan akhirat.
- Problematika Perbedaan Agama dalam Menuju Pernikahan
- H-14 Ayah Meninggal, Momen Persiapan Menikahku yang Penuh Tangis dan Haru
- Dua Minggu Usai Lamaran Aku Langsung Nikah, Tapi Ada Saja yang Memfitnah
- Rencana Pernikahanku Batal karena Hadirnya Mantan yang Kurang Ajar
- Sulit Mendapatkan Restu Orang Tua untuk Menikah karena Perilaku Ayah Mertua
(vem/nda)