Kakak yang 'Dilangkahi' Adik Bakal Susah Jodohnya? Nggak Juga, Kok!

Fimela diperbarui 22 Sep 2018, 13:00 WIB

Lagi sibuk menyiapkan pernikahan? Atau mungkin punya pengalaman tak terlupakan ketika menyiapkan pernikahan? Serba-serbi mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi kesan dan pengalaman yang tak terlupakan, seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.

***

Mempersiapkan pernikahan seharusnya menjadi momen yang dinanti setiap pasangan. Fitting baju pengantin, berbelanja hantaran, memesan gedung, dan lain sebagainya memang adalah hal yang melelahkan namun menyenangkan. Namun, persiapan pernikahan saya ternyata tidak semudah persiapan pernikahan kebanyakan.

Saya harus ‘melangkahi’ kakak saya dan menikah dahulu karena sudah berpacaran lebih lama dan kakak saya belum ada calon. Menurut kepercayaan orang Jawa, adik menikah terlebih dahulu dari sang kakak adalah hal yang tabu karena bisa menyebabkan kakak seret jodoh. Ya, saya tahu tentang itu dan keluarga saya juga tahu.



Ada beberapa saudara yang menentang pernikahan ini dan menyuruh saya untuk tidak melangkahi kakak. Tapi, kami lebih memikirkan tentang nasib saya yang sudah pacaran selama 4 tahun dengan pacar. Mau berapa lama kami menunggu kakak saya punya calon sedangkan kita tidak pernah tahu perihal jodoh. Makanya, orangtua saja mengizinkan saya untuk mendahului kakak saya dan kakak juga memberi izin. Namun, aura kesedihan meliputi keluarga kami saat keluarga pacar saya datang ke rumah untuk melamar.

Kami semua memang berbahagia, tapi di balik senyum kami pikiran tentang ‘melangkahi’ kakak selalu membayangi. Sehingga, saya merasa perlu untuk menjaga perasaan kakak dengan tidak terlalu menunjukkan excitement. Keadaan semakin terasa sedih saat kakak saya memutuskan untuk tidak ikut membalas lamaran ke rumah keluarga pacar saya. Di situ kami semua berpikir bila pernikahan ini terlalu berat untuk kakak saya.



Saya tahu memang berat bagi seorang kakak untuk melihat adiknya menikah dahulu. Bahkan sayapun merasa berat harus melalui proses ini. Saya sempat meminta ibu untuk tidak merayakan pernikahan ini dan hanya melakukan ijab qabul saja karena lagi-lagi ingin menjaga perasaan kakak saya. Namun, ibu saya menolak karena ingin dua anak perempuannya mempunyai proses pernikahan yang sama. Saya sempat terpikir untuk mundur dari pernikahan ini karena semuanya terasa terlalu berat. Siapapun yang ada di posisi saya saat itu pasti tahu betapa berat persiapan pernikahan dengan melangkahi kakak.

Kalau orang lain meminta bantuan kakak untuk mempersiapkan pernikahan, saya tidak bisa. Bahkan saya dan keluarga tidak berani membicarakan perihal pernikahan saya di depan kakak demi menjaga perasaannya. Semua terasa semakin berat karena mempersiapkan pernikahan hanya dengan ibu dan saya tidak punya tempat untuk mengadu.

Hampir semua persiapan pernikahan saya lakukan sendiri dengan ibu. Mulai dari pesan katering, tenda, pesan baju pengantin, hingga membungkus lebih dari 500 buah souvenir. Kakak saya enggan membantu persiapan karena merasa ‘dilangkahi’ dan merasa tidak ada kewajiban baginya untuk membantu adiknya.



Sedangkan pacar saya berada di luar kota dan tidak mungkin untuk bolak-balik mempersiapkan pernikahan. Tak terhitung berapa kali saya menangis dan merasa lelah sendiri. Saya memang maklum bila kakak saya merasa sedih, tapi sayapun merasa sendirian karena dia tidak membantu. Bahkan saat H-3, saya masih repot di dapur membuat kue dan memasak. Percaya atau tidak, undangan pernikahan saya selesai dicetak dua minggu sebelum hari H. Kemudian separuh undangan tersebut tidak terkirim ke alamat para tamu karena tidak ada tenaga yang membantu mengantar dan waktu sudah semakin mepet.

Meskipun kami punya 6 bulan untuk persiapan pernikahan, tapi persiapan tidak maksimal karena harus meminimalisir kebahagiaan. Kami menyewa tenda dan dekorasi paling sederhana, baju pengantin paling sederhana, dan bahkan separuh undangan tidak tersebar. Tidak ada luluran, maskeran, atau perawatan apapun sebelum menikah. Hari-hari saya dipenuhi dengan was-was.



Meskipun sempat terseok-seok dalam mempersiapkan pernikahan, namun saya bersyukur karena saat hari H masih diberi kekuatan meski badan sudah super capek. Acara bisa berjalan dengan lancar meski persiapan secara mandiri dan banyak kerabat yang datang meski tidak menerima undangan secara langsung. Tidak lupa, saya pun memberikan seperangkat hadiah untuk kakak sebagai syarat agar tidak seret jodoh sebagaimana disarankan orang-orang.

Saya selalu sedih kalau mengingat perjuangan mempersiapkan pernikahan waktu itu. Seharusnya saya menjadi yang paling berbahagia tapi malah harus berjuang sendiri mengurus segalanya. Tidak ada tempat untuk mengadu atau meminta saran. Inilah perjuangan saya dan pacar untuk mewujudkan cinta kami.

Kini sudah 3 tahun usia pernikahan kami dan kakak saya juga sudah menikah. Saya telah membuktikan bahwa kepercayaan seret jodoh karena adik menikah duluan itu tidak benar. Bukan karena hadiah yang saya berikan kepada kakak, namun semuanya karena jodoh dan rezeki sudah diatur oleh Tuhan.





(vem/nda)