3 Bulan Persiapan Nikah, 3.000 Tamu Undangan Hingga Ikhtiar Menangkal Hujan

Fimela diperbarui 19 Sep 2018, 16:15 WIB

Lagi sibuk menyiapkan pernikahan? Atau mungkin punya pengalaman tak terlupakan ketika menyiapkan pernikahan? Serba-serbi mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi kesan dan pengalaman yang tak terlupakan, seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.

***

Sejak kecil, saya sangat senang membaca dongeng putri ala kerajaan. Bergaun panjang mewah, mahkota di kepala, mengenakan sepatu hak tinggi, lalu berdansa dengan sang pangeran pujaan hati, rasanya menjadi angan-angan semua anak gadis di seluruh belahan dunia. Meski waktu itu belum paham apa artinya cinta dan siapa jodoh kelak, tapi gambaran tentang pesta kerajaan itu menjadi mimpi: kelak jika menikah, saya ingin berpenampilan ala putri dongeng.

Ketika beranjak dewasa, dan menemukan pria tambatan hati, keinginan berpenampilan layaknya puteri kerajaan belum juga pupus. Pria itu bernama Aris, saya memanggilnya Mas Aris, ikut kebiasaan orang Madura, meski dia sendiri orang Sunda. Kami berkenalan ketika saya kuliah di Bandung. Jauh-jauh hari, saya pun mengutarakan impian tersebut padanya. Ia tak masalah, semua terserah saya dan keluarga, bagaimana konsep pesta pernikahan kami nanti.



Sebagaimana adat Indonesia pada umumnya, ketika orang tua sudah merestui, keluarga mempelai laki-laki datang untuk meminang, untuk membicarakan tanggal akad dan resepsi. Diputuskan ketika itu, akad nikah akan dilaksanakan hari Sabtu, tanggal 6 Oktober 2012, pukul 13.00, sedangkan resepsi akan diadakan keesokan harinya hari Minggu, 7 Oktober 2012, pukul 10.00. Itu artinya, waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan pesta pernikahan hanya 3 bulan saja.

Tentang proses pinangan ini sebenarnya memang agak dadakan. Saat itu, kami tidak bermaksud ingin nikah cepat-cepat, sebab kuliah saya belum selesai, masih proses menulis skripsi. Kami pun baru saling mengenal hanya tiga bulan. Tapi entah kenapa, saat saya memperkenalkan Mas Aris kepada Ayah, ia langsung memintanya untuk segera meminang saya, dan menyuruh kami cepat-cepat menikah. “Kalau sudah sama-sama cocok, ya langsung nikah saja, takut di kemudian hari ada banyak halangan," nasihat beliau ketika itu. Ya sudah, kami pasrah, meskipun secara finansial Mas Aris baru enam bulan bekerja, dan tentu belum bisa memenuhi segala biaya resepsi pernikahan.



Keinginan ayah menikahkan kami cepat-cepat itu baru terjawab ketika kakak perempuan saya mengatakan bulan September, sebulan sebelum tanggal akad nikah kami, ia akan melangsungkan akad nikah juga. Memang ada kepercayaan dalam masyarakat Madura dan Jawa yang masih diyakini orang tua dan sesepuh, jika ada kakak beradik perempuan yang jarak umurnya berdekatan, sang adik tidak boleh “melangkahi” sang kakak, istilahnya tidak boleh nikah duluan, sebab dipercaya sang kakak akan sulit mendapat jodoh. Akad nikah pun tidak boleh di hari yang sama: sang kakak harus lebih dulu, karena akan berakibat pada kesialan salah satu pasangan.

Saya sebenarnya tidak percaya sepenuhnya pada mitos tersebut, tapi toh saya mencoba menurut saja pada orang tua. Selain itu agar biaya pesta pernikahan tidak mengeluarkan budget yang besar, dan tidak mungkin menggelar dua kali resepsi di tahun yang sama, maka pesta pernikahan kami berdua akan dilangsungkan bersamaan.

Maka mulailah 3 bulan itu, saya harus ekstra mempersiapkan segalanya, termasuk acara untuk akad nikah kakak saya sendiri. Saya harus mencari tukang rias, membandingkan harga katering, mendaftar nama tamu undangan, membeli kain untuk seragam keluarga besar, membeli goodie bag, dan mencari hotel untuk menginap rombongan keluarga besar calon suami yang datang dari Bandung.                   

Sebenarnya saya pribadi menginginkan tamu undangan yang sedikit, tak lebih dari 500 orang, yang terdiri dari keluarga mempelai calon suami saya dan kakak, keluarga besar kami sendiri, serta rekan dan sahabat terdekat, agar lebih intim dan sakral. Tapi keinginan saya itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Ayah. Menurut beliau, yang namanya resepsi atau walimatul ursy tujuannya untuk mengumumkan kepada orang-orang bahwa kedua mempelai telah menikah, semakin banyak yang hadir, semakin banyak pula yang mendoakan, dan makin berkahlah pernikahan tersebut. Juga bagi masyarakat Madura, jika ada satu kenalan yang diundang, sedang yang lainnya tidak, kelak akan menjadi omongan, karena dianggap membeda-bedakan. Dilema itulah yang membuat saya akhirnya memasrahkan seutuhnya konsep pernikahan kepada ayah dan ibu, yang tentunya sesuai budget kami.



Setelah di-list, kami memutuskan ada 1.500 undangan yang akan disebar, itu artinya bakal ada 3.000 tamu yang akan datang ke acara kami. Tamu tersebut dibagi menjadi 3 acara: 200 undangan pada akad nikah kakak, 150 undangan pada akad nikah saya, dan selebihnya untuk resepsi pernikahan. Sebaran undangan inilah yang menurut saya butuh paling banyak energi dan waktu. Karena kami memutuskan tidak menggunakan jasa EO (event organizer), maka segala sesuatunya dilaksanakan sendiri. Untungnya semua anggota keluarga besar membantu, termasuk sepupu dan kerabat dekat.

Nama-nama para undangan harus dicatat dengan benar dan seminimal mungkin tidak ada kesalahan  nama dan penulisan gelar. Memang sih di setiap undangan ada permohonan maaf jika gelar atau nama yang ditulis kurang sesuai, namun alangkah baiknya kesalahan itu dihindari. Saya pun harus sering berhubungan dengan banyak pihak, untuk memastikan tidak ada kerabat yang tidak menerima undangan, karena hal ini bisa memicu retaknya silaturrahmi karena dianggap pilih kasih.



Untuk masalah menu, keluarga kami memilih jasa katering yang pernah dipakai oleh sepupu saat pernikahannya, karena sudah terbukti enak, bersih, juga sesuai budget yang ada. Sedangkan urusan dekorasi pelaminan, gaun dan rias pengantin, riasan orang tua dan besan, serta pagar betis kami serahkan pada salon yang sudah sangat terkenal di tempat kami. Untuk MC dan orang-orang yang bertugas menjaga jalannya acara, dipasrahkan semuanya pada kakak lelaki tertua saya.

Kemungkinan-kemungkinan yang dikhawatirkan dalam acara, seperti kurangnya tempat parkir, kekurangan goodie bag, kotak uang dan goodie bag dicuri orang tak dikenal, antrean tamu untuk bersalaman, dan konsumsi untuk para tamu dipikirkan secara matang. Untuk itu, kami meminta sekitar 30 an orang yang semuanya terdiri dari para sepupu untuk menghandle tugas-tugas tersebut.

Khusus untuk penjaga kotak uang, diserahkan pada adik kami, karena pernah ada kejadian kenalan Ayah, begitu acara selesai, kotak uang tamu tiba-tiba raib, dan pihak keluarga tidak tahu kemana larinya kotak uang tersebut. Saya termasuk beruntung mempunyai keluarga besar yang kompak dan dengan sukarela membantu perhelatan acara sehingga tidak perlu menyewa jasa EO yang biasanya juga menalan biaya yang cukup banyak.



Hari menjelang akad nikah pun segera tiba. Tiga hari sebelum acara, keluarga mempelai laki-laki sudah berangkat dengan menyewa bus karena jarak Bandung-Madura yang sangat jauh. Alhamdulillah, keluarga besar Mas Aris saat itu sangat antusias ingin ikut, ingin tahu Madura katanya, terlebih jembatan Suramadu yang menjadi ikon Surabaya-Madura. Perjalanan membutuhkan waktu kurang lebih 48 jam, karena sering berhenti untuk sholat dan makan.

Meski menurut kepercayaan, calon pengantin tidak boleh saling berkomunikasi sebelum akad agar tumbuh rasa kangen saat nanti ketemu, tapi toh saya tidak bisa menaatinya, saya harus memastikan calon suami dan rombongan tiba dengan selamat. Saya sempat deg-degan, sebab calon suami saya, Mas Aris demam tinggi saat berangkat dari Bandung, dan di perjalanan panasnya belum juga turun. Saya juga khawatir sebab banyak anggota keluarganya yang ikut sudah sepuh, berumur lebih dari 60 tahun, kondisi yang secara umur susah untuk perjalanan jauh.  

Kepercayaan lain yang harus dilakukan anggota keluarga saat melangsungkan pesta pernikahan adalah menahan hujan agar tidak turun, atau istilahnya “nyarang”. Caranya dengan memanggil pawang hujan atau dengan beberapa metode yang sudah sering dipakai oleh masyarakat, salah satunya metode tusuk sate di mana bawang puting, bawang merah, dan cabai ditusuk dengan lidi dan menaburkan garam di setiap tusukannya. Karena keluarga saya sendiri tidak percaya pada hal tersebut, maka kami hanya meminta pertolongan Allah, dengan mengamalkan doa penangkal hujan yang telah diajarkan Rasulullah, yaitu:

Allahumma hawaalayna wa alayna. Allahumma alal akaami wad thiroobi, wa buthuunil audiyati wa manaabitis syajari.

Artinya:  Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, dan jangan turunkan kepada kami untuk merusak kami.Ya Allah turunkanlah hujan di dataran tinggi, beberapa bukit, lembah, dan tanah yang menumbuhkan pepohonan.



Syukur Alhamdulillah, meski akad dan resepsi berlangsung pada bulan Oktober, di mana hujan sering mengguyur, tapi dua hari berturut-turut langit sangat cerah. Acara semuanya berjalan lancar. Meski begitu, di balik rasa bahagia yang menyelimuti, kaki dan badan saya terasa pegal sekali, sebab saya harus berdiri menyalami ribuan tamu dengan sepatu berhak tinggi, yang membuat kaki terasa ngilu.

Hingga kini usia pernikahan kami sudah 6 tahun dan sudah dikaruniai satu orang anak berusia 4 tahun, kehidupan kami tetap rukun dan romantis. Kalau mengingat kejadian saat malam pertama, sungguh menggelikan. Setelah akad nikah berlangsung, malam harinya keluarga besar suami ingin jalan-jalan keliling kota, karena setelah acara selesai, mereka harus langsung pulang ke Bandung.

Akhirnya, untuk menghormati keluarga besan, saya dan suami memutuskan untuk mendampingi mereka jalan-jalan hingga larut malam. Kami berdua sampai di rumah, menjelang pukul 2 pagi, sedang keesokan harinya harus menjaga stamina untuk acara resepsi. Saking lelahnya kami berdua langsung tertidur masih menggunakan pakaian lengkap  tanpa melakukan “sesuatu apapun”, hehe.

Ah, seandainya waktu bisa diputar, saya tak ingin menjadi “princess ala negeri dongeng” dan menggelar pesta dengan ribuan tamu. Saya ingin pesta yang sederhana dihadiri orang terdekat saja, tapi di tempat yang berkesan dengan pemandangan alam yang sangat indah, bukan di gedung besar berhiaskan lampu kristal. Meski tamu yang hadir sedikit, tapi saya ingin mereka mempunyai kesan yang tak akan pernah terlupakan, dan menjadi pesta pernikahan paling mengesankan yang pernah mereka kunjungi.





(vem/nda)