Kapan", satu kata dengan jalanan tak berujung. Klise sebenarnya tapi bagi sebagian orang pertanyaan ini sedikit sensitif. Di sisi lain, ini menarik, menarik untuk dinikmati karena tiap orang mempunyai cerita dan jawaban tersendiri. Seperti halnya pengalamanku ini. Entahlah, aku rasa ceritaku ini tidak begitu wow dibanding dengan pengalaman orang lain yang pernah aku baca. Tapi mungkin ini bisa dijadikan sedikit inspirasi bagi kalian. Ya sedikit, tapi kuharap bisa lebih.
Pertanyaan kapan sebatas pekerjaan, pernikahan, wisuda, dan anak mungkin menjadi hal yang paling sering diajukan. Tapi aku berbeda. Kata kapan lebih dari sekadar itu. Bukan soal perasaan malu saat menjawab tapi perasaan sedih mengingat masa lalu.
Saat ini aku berstatus mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Yogyakarta. Universitas ini memang jadi impianku saat aku masih SMA karena persaingan yang sangat ketat untuk lolos. Perjalanan menuju tempat ini tak mudah.
Butuh 4 kali percobaan sebelum akhirnya dinyatakan lolos tes. Aku sempat ragu dengan kemampuanku. Ditambah lagi ini sebuah rekor, rekor yang yang memalukan karena belum pernah ada yang gagal tes 4 kali. Semua saudaraku bahkan sepupuku hanya butuh 1 atau 2 kali percobaan. Miris tapi itulah kenyataannya. Ya mau bagaimana lagi tapi yang paling menyakitkan adalah saat orangtuaku mengatakan, “Kapan sih kowe iso koyo mbakmu?” (Kapan kamu bisa seperti kakakmu?)
Yap. Momen yang sangat sedih untuk diingat. Itulah yang dikatakan orangtuaku saat aku gagal ujian yang kedua kalinya. Aku hanya diam dan menunduk. Menahan diri supaya tidak menangis. Sedih rasanya merasa tidak berguna. Apa mereka sebegitu kecewanya dengan kemampuanku? Pertanyaan itu selalu berulang. Aku memang tidak sepandai kedua saudaraku, tapi aku juga sudah berusaha maksimal. Aku juga ingin menunjukkan bahwa aku bisa, aku juga tidak kalah pintar dengan mereka. Tapi di mata mereka, usahaku selalu kurang. Aku butuh motivasi, bukan pekataan menyayat hati.
Kekecewaan orangtuaku terus berlanjut bahkan saat pemilihan jurusan. Jurusan yang aku anggap sesuai dengan minatku berbeda dari harapan mereka. Jurusan yang aku pilih memang tidak populer seperti kedokteran dan bidang ilmu sains lainnya yang dipilih oleh kedua kakakku. Aku memilih Sejarah. Memangnya salah kalau aku menyukai sesuatu yang berkaitan dengan sejarah? Apa aku juga akan dicap bodoh kalau masuk dan kuliah di jurusan itu? Tebak apa yang terjadi selanjutnya. Semua seperti dejavu. Kata-kata yang membuatku sakit kembali mereka ucapkan
“Ngopo sih ora manut karo Bapak-Ibu? Kapan sih kowe ora ndableg? Arep kerjo opo sesuk?"
Tapi kali ini aku tidak masalah dengan perkataan mereka. Aku berkeyakinan bahwa tidak semua keputusan orangtua adalah yang terbaik. Aku juga berhak melakukan keinginanku. Memang aku bukan anak yang superior, aku kalah dibanding dengan kedua saudaraku. Tapi aku juga ingin berprestasi dengan caraku sendiri, tanpa perlu dibanding-bandingkan dengan yang lain. Karena aku yakin setiap anak dibekali satu talenta. Talenta yang akan mereka gunakan untuk masa depan mereka sendiri. Setiap anak memilki keistimewaan tersendiri. Jadi tugas orangtua hanya mendukung dengan cara yang positif.
- Menggelar Acara Pernikahan Juga Perlu Memikirkan Perasaan Keluarga
- Ibu Mertua Mendadak Minta Pernikahanku Diundur Padahal Persiapan Sudah 90%
- Kalau Sudah Jodoh, Status dan Perbedaan Usia yang Jauh Bukan Halangan
- 7 Hal Penting untuk Dipersiapkan Sebelum Menikah Agar Tidak Over Budget
- Kebenaran Terungkap Saat Pernikahan Barumu Juga Tak Kunjung Punya Anak