Ibu Mertua Mendadak Minta Pernikahanku Diundur Padahal Persiapan Sudah 90%

Fimela diperbarui 17 Sep 2018, 18:45 WIB

Siapa yang tak ingin menjadi wanita terbahagia dengan menjadi kekasih halal pria pujaan?
Abaikan. Itu hanya pertanyaan retoris. Semua wanita tentu begitu mengharapkan sebuah hubungan sah yang orang sebut sebagai pernikahan. Kebahagiaan akan terbias sempurna ketika seorang laki-laki berani “meminta” kehidupan seorang perempuan melalui sakralnya ijab qabul. Tanggung jawab atas dirinya akan berpindah tangan kepada suami setelah dari kecil hingga remaja kehidupan perempuan sepenuhnya ada pada sang Ayah.

Namun, menikah bukan semata hanya menjadikan satu antara dua insan berbeda karakter. Menikah adalah perihal menyatukan dua karakter dan dua keluarga yang sebelumnya tidak saling mengenal. Terdengar sedikit lebih kompleks tapi memang begitu seharusnya. Di dalamnya akan ada sebuah ikatan baru bernama besan, menantu, dan mertua. Mengingat hal itu, pernikahan tak luput dari kendala atau sesuatu yang tidak mengenakkan meski harapan kita pernikahan akan selalu membawa kebahagiaan.

Aku sudah mencicip sedikit banyak pahit manis kehidupan berumah tangga selama 4 tahun. Dan alhamdulillah menurutku, pernikahanku mencapai level sangat bahagia. Aku juga bersyukur mempunyai suami ideal dan dikaruniai seorang anak perempuan cantik. Selama ini mungkin yang orang lain nilai hanyalah ada kebahagiaan yang terlihat dari keluarga kami, rumah tangga yang mulus dan kehidupan yang nyaris sempurna. Tetapi mereka tak pernah tahu apa yang pernah Aku dan Suamiku alami sebelum mencapai pada titik seperti sekarang.



Bulan Agustus, 4 tahun lalu di hari pernikahan kami.
Ketika rombongan keluarga suami datang, hatiku ini menjadi begitu tenang. Namun ada yang hilang disana, formasi keluarga tidak lengkap. Tak ada ibu di sana, ya ibu mertuaku tidak menghadiri hari spesial salah satu putranya itu. Bukan tanpa sebab, karena memang saat aku memutuskan menikah dengan suami ada sedikit pertentangan dari beliau. Walau sebelumnya antara kedua belah pihak keluarga sudah saling menyetujui mengenai hari dan tanggal pernikahan kami.

Konflik dimulai saat persiapan pernikahan sudah 90%. Ketika itu, ibu mertuaku menginginkan pernikahan kami diundur karena suatu alasan. Undangan yang sudah disebar, tempat, dan segala ubo rampe yang sudah dipesan tak memungkinkan untuk dibatalkan. Tapi suamiku tegas mengambil keputusan untuk tetap pada prinsipnya. Dia akan menikahiku sesuai dengan tanggal yang disepakati dulu. Aku tahu, dia akan terluka jika menentang Ibu. Tapi dia selalu menyakinkan padaku bahwa semua akan baik-baik saja. “Ayo kita berjuang bersama,” katanya waktu itu.

Benar saja, selama 2 bulan sebelum hari pernikahan. Ujian berat kami berdua datang dari ibu mertuaku. Segala macam hujatan tertuju padaku, seakan semua aku yang salah. Pun tak luput dengan suamiku yang setiap hari mendapat makian, dianggap anak durhaka karena tak menuruti kemauan Ibu, bahkan sempat diusir dari rumah. Semua sumpah serapah tertuang, seolah membentuk belati tajam yang menorehkan lara di hati. Setiap hari seolah menjadi hari buruk yang mau tidak mau harus aku lalui, terutama untuk suamiku.



Kami berdua mencoba bersabar. Semua itu kami lalui dengan ikhtiar, doa, dan tawakal. Dan kurasa Ibu mertuaku sedikit bisa melunak, meski beliau tetap tidak mau mendampingi putranya di hari pernikahan.

Bulan Agustus, 4 tahun lalu di hari pernikahan kami.
Saat Suami diminta untuk mengucapkan ijab qabul, kudengar suaranya sedikit bergetar. Aku paham betul tanpa Ibunya, dia kehilangan separuh kekuatan. Karena hanya ibu lah satu-satunya orangtua yang dia miliki setelah ayahnya lebih dulu berpulang. Sepanjang acara aku memperhatikannya. Terlihat dia berupaya bersikap tegar, namun aku tetap bisa melihat guratan kecewa di rona wajahnya.

Tangis kami berdua pun pecah saat sesi sungkeman. Meminta kembali restu kepada kedua orangtuaku dan kepada Budhe – Pakdhe (kakak ibu mertua) wakil orangtua di pihak laki-laki. Hati ini terasa sesak, tapi aku sadar bahwa harus melewati ini dengan kuat.

Aku meyakinkan hal yang sama kepada suamiku. Maka kala itu aku berbisik padanya, “Kita akan berjuang bersama. Aku yakin semua akan baik saja.”

Sekarang, kami sudah bersama sebagai pasangan sah suami istri. Aku tak henti mengingatkan kepada suami bahwa status kita tetap seorang anak yang wajib berbakti kepada Ibu tanpa mempermasalahkan hal yang sudah lalu. Kami tulus menyayanginya tanpa harus terus merasa sakit hati. Melakukan hal-hal baik yang memang sudah sepantasnya dilakukan. Tetap memuliakan Ibu sembari berpasrah kepada Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia.



Dan terbukti, doa kami selama ini terkabul dengan luluhnya hati Ibu hingga akhirnya beliau bisa menerima dan memberi restu atas pernikahan kami. Allah yang Maha Baik telah memberi bukti jika tawakal kami dijawab oleh-Nya. Memberi sebuah pengajaran untuk ikhlas dan sabar serta menunjukkan sebuah pengajaran bahwa kekecewaan adalah cara Tuhan mengatakan bahwa Dia mempunyai hal yang lebih baik untuk kita.

Alhamdulillah, kini semua memang benar baik adanya. Cinta sepasang suami istri itu kuat, tapi jangan sampai mengalahkan cinta kepada-Nya, kepada Pemilik Segala Cinta.



(vem/nda)