Please, Jangan Memaksa Minta Diundang Kalau Ternyata Tidak Datang!

Fimela diperbarui 17 Sep 2018, 10:00 WIB

Lagi sibuk menyiapkan pernikahan? Atau mungkin punya pengalaman tak terlupakan ketika menyiapkan pernikahan? Serba-serbi mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi kesan dan pengalaman yang tak terlupakan, seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.

***

Sejak kecil, saya sudah terpesona dengan keindahan gaun pengantin. Megar, cantik, berkelas dan yakin suatu saat saya akan memakainya. Lalu pestanya dihadiri oleh keluarga, sahabat, dan orang-orang kurang mampu juga anak-anak yatim piatu. Namun ternyata mimpi hanya akan tetap menjadi mimpi. Kandas tak tercapai. Bagaimanapun kita berharap dan berekspektasi, kebanyakan akan berbeda dengan realita.

Saya ditinggal menikah oleh teman kelas kuliah saya (kami  tidak pacaran), tidak hanya karena saat itu keluarga kami tidak memiliki biaya untuk pernikahan, juga trauma terhadap lelaki yang membuat perasaan saya terhadapnya masih abu-abu. Ayah saya seorang pensiunan yang dulunya saat masih bekerja sudah terbiasa mandiri, memiliki dana untuk banyak kebutuhan termasuk menyekolahkan anak kurang mampu, tentunya hal ini membuat ayah saya memiliki perasaan tidak ingin memberatkan calon besan dan mungkin merasa malu jika orang lain sampai tahu jika beliau kini sedang mengalami masalah finansial.

Belum lagi saya yang sudah 2 tahun belum bekerja semenjak lulus kuliah, selalu gagal saat berbisnis, gulung tikar beberapa kali. Bagaimana mungkin saya punya tabungan untuk menikah? Karena biasanya pihak wanita yang membiayai pesta, maka kondisi saya saat itu sangat tidak memungkinkan.



Tak lama, saudara dari garis ibu, mengenalkan saya dengan seorang pria lugu, sopan, bertubuh bongsor, dan agamanya baik. Cocok dengan selera ibu saya. Saya pikir mungkin ini adalah cara terbaik untuk meringankan beban ayah saya, maka saya melanjutkan perkenalan kami hingga ke jenjang yang serius. Tentunya ibu saya berusaha agar saya jadi dengannya, jangan sampai batal. Segala cara ibu saya lakukan, mulai dari meminta saya untuk menyembunyikan bahwa saya sedang sakit, harus segera menyelesaikan pengobatan, dsb.

Sampai suatu saat saya mendapat rezeki diterima bekerja di sekolah di mana suami saya pernah bekerja (keluar sementara karena harus fokus lulus kuliah). Tentunya dalam waktu cepat, berita ‘pernikahan’ kami tersebar bahkan sampai ke luar kantor (keluar lingkungan sekolah). Seluruh divisi, murid-murid, penduduk luar sekolah bahkan sampai tahu. Sungguh saya bukan orang yang mudah mengumbar hal pribadi. Saya juga mencoba untuk tidak berburuk sangka pada siapapun. Namun nyatanya tembok di tempat tersebut seakan bisa berbicara. Padahal status saya saat itu pun masih belum dilamar.

Saat itu pihak suami secara tidak sengaja mengetahui bahwa kami sedang mengalami masalah keuangan dan kakak ipar saya bersedia membiayai semuanya. Mungkin itulah yang disebut ada saja rezeki saat akan menikah. Setelah lamaranpun, berita di kantor semakin memanas.

Awalnya saya baik-baik saja namun mulai gerah saat ada saja yang saat bertemu (merasa ada kesempatan) atau ada juga yang memang sengaja bertemu saya untuk memberi saran dengan nada paksaan juga tekanan. Memang sih orang-orangnya berkata, “Ini hanya saran aja, lho Mbak. Tapi kan bla bla bla.” Saya juga inginnya hanya menampung semua saran lalu ambil mana saran-saran yang bisa dijadikan alternatif. Karena memang kami dan kedua keluarga sepakat tidak ada tema. Hanya akad lalu makan-makan. Acara pun tidak ingin lama, hanya dari jam 7 atau 8 pagi sampai jam 2 siang.

Belum ada setahun tapi saya sudah cukup tahu bagaimana tabiat orang kantor, suka kepo, mencampuri urusan orang lain padahal urusan diri sendiri banyak yang perlu diperbaiki, dan jika ada yang mengganjal menurut mereka maka bersiaplah orang tersebut akan jadi bahan obrolan 7 hari 7 malam bahkan bisa sebulanan. Tentunya membicarakan di belakang orang yang bersangkutan. Padahal saya yakin orang-orang tersebut sudah mengetahui ilmu membicarakan orang lain juga bagaimana rasanya dibicarakan di belakang. Saya termasuk orang yang suka ketenangan, kepala mudah pusing jika ada ‘suara bising’. Jadi saya punya prinsip sebaiknya hindari hal-hal yang membuat bising.



Persiapan jelang pernikahan itu sungguh penuh keringat, emosi jiwa, dan derai air mata. Karena selain kami kerjakan semuanya sendiri juga masukan dari banyak orang (bahkan bukan saudara) yang sebenarnya tidak perlu mereka ucapkan. Kemudian karena ayah saya tidak ingin memberatkan keluarga suami, karena selain sudah membiayai semuanya juga suami saya orang Bogor dan kami orang Bekasi, terkait lokasi yang jauh membuat kami menolak secara halus bantuan dari mereka. Sedang sahabat saya membantu pendanaan kami yang kurang. Keluarga kami yang lain pun kebanyakan sedang kerja dan rata-rata sudah sepuh. Over budget pun menjadi sebuah keniscayaan.

Saya benar-benar mulai gerah saat didikte bahwa baiknya masak sendiri jangan pakai catering karena biayanya besar, mahal. Kalau nanti nikahan di gedung ya, jangan kaya kondangan tadi di Depok mana di rumah bejubel tamu, desek-desekan, panas. Jangan lupa pake AC (mungkin maksudnya AC standing atau misty fan). Nanti dipisah ya tamu laki sama perempuannya, pakai hijab (pembatas) yang baguslah ya biar kalau makan nyaman tidak ketahuan lelaki.

Yang paling parah menurut saya adalah ketika pernikahan dari anak temannya teman-teman saya itu tidak mengundang mereka. Seisi kantor pun ramai. Mereka merasa tidak dihargai. Kekecewaan mereka pun dilimpahkan ke saya. Menyarankan saya untuk mengundang semua divisi (tentunya dengan nada ancaman). Secara tidak langsung menyarankan saya kalau perlu sampai pinjam ke bank.



Lalu bahkan ketika undangan sudah disebar (saya usahakan satu undangan/orang) ada lagi yang vokal, si ini tidak diundang? Kasihan kalau sana dan situ diundang, sedang sini tidak. Belum berhenti di situ, wali murid juga merasa keberatan karena hari libur sekolah harus dipindahkan karena adanya acara kami. Memaksa saya untuk mengundang teman lama ibu saya yang harus dikirim melalui kurir yang tentunya membuat biaya membengkak. Meminta saya mengurus transportasi dari Bogor ke Bekasi (tentunya membayari transport mereka).

Dan terakhir yang saya ingat (dari semua tekanan dan paksaan) adalah yang diundang (saat akad di Bekasi) hanya ibu-ibu, sedang bapak-bapak akan menyusul di acara pesta (di Bogor), tentunya ada orang yang emosi datang ke saya dengan meminta bantuan saudara saya agar saya mengundang sesepuh lain. Padahal sebenarnya orang tersebut merasa tidak enak pada yang lain karena hanya suaminya yang bisa ikut datang ke Bekasi, sedang bapak-bapak yang lain tidak. Kami memang punya prinsip jika perjalanan jauh maka para istri harus pergi bersama suami.

Kepada pemberi saran yang terhormat, apabila Anda sekalian menyumbang dana pernikahan kepada kami, dengan tangan terbuka akan kami terima tapi nyatanya tidak dan kami adalah si empunya acara lalu mengapalah kalian senang sekali mendikte kami? Saya harus memakai catering karena kami tidak ada bantuan tenaga, orangtua saya juga sepuh.

Saya tidak tahu bagaimana hubungan pertemanan ibu saya dengan temannya, saya pun ingin berpikir positif mungkin beliau sudah sepuh sehingga lupa pada acara kami walau saya cukup terluka serasa tidak dihargai karena sudah capek-capek mengirim undangan padahal sedang sibuk kerja (belum cuti) dan menambah biaya kurir tapi ternyata tidak datang. Dengan entengnya bilang lupa. Biaya transport itu lumayan lho karena suami dan keluarganya pun sudah mengeluarkan biaya transport untuk ke Bekasi dengan biaya yang lumayan (jutaan) ditambah orang-orang kantor yang inginnya dilayani layaknya tamu terhormat. Jika ingin dihormati bukankah sebaiknya hormati dulu si empunya acara? Belum lagi orang luar yang juga minta diundang tidak hanya di akad (Bekasi) tapi juga di pesta (Bogor).

Tambahan lagi masalah mahar yang mana saran ini saya dapatkan dari saudara ibu saya. Maharnya harus mudah (juga murah), nyatanya ketika anaknya sendiri menikah ternyata saudara saya itu meminta anaknya untuk meminta mahar anting-anting kepada calon suaminya yang berujung pada satu set perhiasan dari atas sampai bawah. Padahal saudara dari ayah saya tidak memaksa saya apapun, malah membantu pendanaan dan meriasi saya karena saya bahkan tak mampu membayar perias dan sewa busana.

Semua biaya membengkak karena semua orang ingin diundang, orang-orang kantor harus dikali 4 karena yang hadir suami istri dan 2 anak, catering selalu ditambah sampai H-7 sampai pihak catering merasa kesal dengan saya. Demi melayani tamu dengan baik sebagai tuan rumah, kami pesan lagi makanan di luar untuk jaga-jaga acara akad. Kartu undangan ditambah. Tidak ada perias dan gaun pengantin. Hanya ada alat make-up seadanya dan gamis pesta.

Tidak ada anak-anak yatim piatu. Tidak ada souvenir, ada walau pemberian sisa nikahan saudara tapi karena tidak ada pagar ayu dan pagar bagus lalu siapa yang memberi? Saya waktu itu sampai mengejar tamu agar ia mendapat souvenir. Tidak ada persiapan teknis pernikahan. Yang menjaga makanan saat itu tampaknya belum berpengalaman sehingga banyak makanan yang terbuang. Tidak ada fotografer. Tidak ada seserahan. Tidak ada kamar pengantin. Tidak ada buket bunga di tangan pengantin. Tidak ada foto pengantin bersanding, bahkan walau hanya dengan kamera HP jadul. Tidak ada. Biasa saja seperti bukan pernikahan. Bedanya pesta ini ada penghulu, itu saja. Tamu hadir? Hanya sekitar 60% yang hadir.



Bukan tidak mau bersyukur tapi ada beberapa hal yang menurut saya tidak adil terhadap saya. Terutama dari pihak ibu dan saudara-saudaranya, saya tidak boleh foto, bawa buket bunga di tangan, rias seadanya saja, ini dan itu. Sedang saudara ibu saya bebas saat anaknya menikah. Lalu impian saya ada sisa dari uang yang diberikan kakak ipar untuk kehidupan setelah pernikahan pun kandas karena realita budget sudah benar-benar nombok sampai saya utang ke sahabat saya. Akhir acara pun ibu saya kecewa mengapa keluarga ayah saya tidak ikut membantu, padahal keluarga ibu saya juga tidak membantu.

Saya mengadakan akad di rumah orangtua saya di Bekasi dan terpaksa hanya beberapa tetangga yang diundang. Mungkin saat itu perasaan saya sudah habis terkuras sampai-sampai suara bising dari berbagai arah tidak bisa sampai ke telinga saya. Entah mengapa bahkan setelah setahun pernikahan saya ini, sulit bagi saya untuk merasa bahagia. Mungkin bibir saya bisa tersenyum tapi tidak dengan hati saya.

Mungkin akan ada orang yang berpikiran bahwa saya tidak bersyukur. Tapi itu tidak membuat saya sedih. Saya jauh lebih sedih karena banyak makanan yang terbuang, souvenir yang bersisa, dan jika saat itu saya tidak lagi menjadi orang yang ‘ingin membahagiakan  semua orang’, mungkin dana tersebut tidak akan terbuang sia-sia.

Mengapalah sulit bagi mereka untuk terbesit, “Bagaimana jika kita berada di posisi si calon pengantin?”







(vem/nda)