Menjaga Ibu dari Rasa Kesepiannya dan Mengusir Rasa Takutnya

Fimela diperbarui 15 Sep 2018, 13:00 WIB

Sebagai anak bungsu, saya harus terbiasa untuk selalu dijaga walaupun saya sering merasa tidak nyaman dengan penjagaan berlebihan dari Abang. Saya merasa sangat kesal ketika Ayah dan Abang (terutama Abang) mulai bersifat over protective kepada saya karena saya justru merasa diperlakukan seperti anak kecil di usia saya yang sudah cukup dewasa. Tapi semua itu mulai berubah semenjak Ayah meninggal.

Saat Ayah meninggal, Abang saya sudah berkeluarga dan dikaruniai seorang putra. Tetapi kondisi ekonominya masih kurang mapan. Hal ini membuat saya dan Ibu hanya tinggal berdua sepeninggal Ayah. Kondisi ini tentu bukan hal yang mudah kami hadapi, terutama bagi Ibu. Saya yang masih bekerja menyebabkan Ibu harus tinggal sendirian sejak pukul 6 pagi hingga malam tiba, bahkan terkadang hingga tengah malam jika saya terpaksa lembur. Kesepian adalah salah satu lawan yang harus diperangi sedangkan ketakutan dan pikiran negatif adalah hal lain yang lebih menyulitkan.

Sepeninggal Ayah, Ibu menjadi sering mendengar suara–suara aneh. Entah karena beliau menjadi lebih sensitif atau semua itu hanya halusinasinya karena kesepian dan ketakutan yang menggerogoti. Suatu hari sepulang kerja, saya melihat Ibu sangat ketakutan. Beliau bercerita kalau siang tadi terdengar suara orang mondar–mandir di ruang makan. Saat maghrib, beliau juga mendengar suara orang mandi. Dan sebelum saya pulang, beliau mendengar suara orang turun dari ranjang saya yang kini berada di kamar kosong karena sejak Ayah meninggal saya dan Ibu tidur seranjang.



Bukan itu saja. Ibu juga semakin sering berpikiran buruk tentang apa pun. Pernah sekali saya pulang terlambat karena lalu lintas yang terlalu padat. Saya tiba di rumah dengan kondisi tidak bersemangat sama sekali karena lelah berdiri terlalu lama. Dan Ibu sudah menunggu di teras rumah dengan wajah khawatir. Begitu melihat kondisi saya, beliau langsung panik dan berkata, “Kamu abis dijambret? Atau ditodong?” Ternyata sejak tadi pikiran tentang saya dijambret, ditodong, dirampok atau mengalami kecelakaan berputar tanpa henti di kepalanya, membuat Ibu semakin panik dan takut.

Kondisi Ibu yang semakin hari semakin kurang baik ditambah dengan pekerjaan saya yang tiba–tiba melonjak padat membuat saya benar–benar kewalahan di tahun pertama kepergian Ayah. Untuk mengejar deadline, saya harus berangkat lebih pagi dan pulang lebih malam. Dan ini berarti saya memaksa Ibu berjuang melawan kesepian dan rasa takutnya lebih lama. Hal ini merupakan dilema tersendiri bagi saya. Mengundurkan diri jelas bukanlah pilihan yang bijaksana. Karena itu saya memutuskan untuk mulai membantu Ibu.

Hal pertama yang saya lakukan adalah membantu Ibu berjuang melawan kesepiannya. Saya memutuskan untuk membelikan Ibu telepon genggam. Awalnya beliau menolak dengan alasan buang–buang uang. Tapi saya tidak keberatan walau harus menghabiskan setahun gaji saya sekalipun demi Ibu. Setelah membekali Ibu dengan telepon genggam, saya mulai menghubungi beliau secara acak.



Dari situ saya tahu kalau Ibu mulai merasa takut setelah jam 12 siang karena kondisi perumahan mulai sepi. Saya pun mulai menghubungi Ibu dua kali sehari, saat jam makan siang dan sekitar jam 4 sore setelah Ibu tidur siang (atau begitulah harapan saya). Saya juga selalu mengabarinya begitu tiba di kantor dan sesaat sebelum meninggalkan kantor. Beruntung, strategi yang saya ambil tepat. Rasa takut dan sepi Ibu mulai berkurang.

Langkah selanjutnya yang saya lakukan adalah mengurangi pikiran negatif Ibu. Saya tahu Ibu tidak pernah menginginkan hal buruk terjadi pada saya tapi saya ingin Ibu lebih berpikiran positif tentang banyak hal. Saya selalu mengajak beliau mengobrol, mengajarkannya berbagai trik untuk menghilangkan pikiran negatif, mengajaknya berdoa tiap kali pikiran negatif datang menyerang. Sampai saat ini saya masih belum berhasil menemukan cara yang tepat untuk memerangi pikiran negatif Ibu. Tapi saya yakin, suatu saat Ibu pasti dapat menang dari pikiran negatif di kepalanya.



Selain itu, saya juga berusaha menjaga diri sendiri untuk tetap sehat, physically dan mentally. Menghabiskan akhir pekan dengan melakukan aktivitas bersama Ibu (mulai dari mencuci pakaian hingga mengobrol santai tentang apa saja), membaca buku–buku fiksi fantasi sambil mendengarkan musik, membuat beberapa craft sederhana atau bermain offline game adalah cara saya untuk me–recharge energi.

Kalau sejak kecil Ibu selalu menjaga saya, mulai sekarang izinkanlah saya terus menjaga Ibu. Biarkan saya terus menikmati peran baru saya sambil menunggu kedatangan seseorang yang bersedia menjaga dan mendampingi saya. Love you, Bu.

(vem/nda)