Bukannya Saya Nggak Ingin Nikah, Tapi Semua Ada Waktunya Kan?

Fimela diperbarui 12 Sep 2018, 13:45 WIB

Saya sedang mengupas kentang dengan pisau tumpul ketika pertanyaan itu datang menghantam. “Kamu kapan?”

Rasanya seperti dilempar kentang sekilo. Nggak segitunya, sih, sebenarnya. Rasanya kesal saja.

Saya baru saja lulus kuliah tahun 2017 lalu dan baru menyicip dunia kerja sekitar setahun. Kok ya sudah ditanya ‘kapan’? Ngomong-ngomong, kepanjangan dari pertanyaan di atas adalah, "Kamu kapan akan menikah, menyusul sepupumu yang hari ini mengakhiri masa lajangnya?"

Sepupu saya hari itu menikah. Dengan pernikahan itu juga, praktis hanya tinggal saya satu-satunya cucu Simbah yang masih melajang, yang sudah dianggap berusia ‘matang’ untuk menikah. Pertanyaan itu terlontar dari saudara jauh yang bahkan nggak sedarah. Taruhan deh, saya yakin ia bahkan tak tahu di mana saya kuliah, bekerja, pacarnya siapa (kalau punya).



Di situlah letak lucunya masyarakat kita. Semakin jauh dan nggak kenal, semakin merasa berhak mengurusi. Padahal, ibu saya saja adem ayem melihat anak bungsunya ini belum ada keinginan untuk menikah. Malah sebaliknya, ibu selalu menganjurkan agar saya terlebih dahulu mengejar mimpi sebelum akhirnya settle down dengan pria yang saya cintai dan mencintai saya.

Lagipula, menikah bukan hanya perkara suka sama suka, merasa cocok, lalu gas pol. Ada banyak sekali hal yang harus dipertimbangkan sebelum menikah, termasuk di antaranya kesiapan finansial. Karyawan millennial macam saya yang baru bekerja satu tahun dan menabung saja belum sanggup, tentu nggak masuk kriteria mapan secara finansial, dan saya sadar sepenuhnya akan hal itu.

Bukannya saya sama sekali nggak kepingin nikah. Kepingin, kok, tapi semua kan ada waktunya.



Orang-orang perlu tahu, bahwa menikah bukan target dan tujuan akhir setiap insan di dunia ini. Banyak yang punya mimpi selain menikah: keliling dunia, menimba ilmu sampai ke negeri jauh, mengabdi di organisasi non-profit, dan masih banyak lagi, baru menikah. Pun sebenarnya, menikah adalah sebuah pilihan.

Setiap manusia boleh memilih untuk menikah atau melajang.
“Kapan-kapan, hehe. Saya baru 22 tahun, Bude.”
“Lho, 22 tahun kan sudah pas untuk menikah.”
“Iya, tapi saya masih ingin ini itu banyak sekali. Masih ingin lanjut studi S2, traveling sama Ibu, baru nanti menikah kalau memang sudah nemu yang cocok.”

Sekadar informasi, ibu saya seorang single parent. Traveling adalah salah satu bentuk balas budi saya untuk orang yang sejak kecil berjuang membahagiakan hidup saya tanpa kenal lelah.

Sebenarnya saat itu saya sudah punya pacar, tapi LDR dan hubungannya nggak sehat. Artinya, saya nggak diam saja menunggu jodoh menghampiri kok. Saya menjalani hubungan, menjajaki kemungkinan-kemungkinan apakah pacar yang sekarang pantas untuk diajak melanjutkan hubungan ke taraf yang lebih serius atau tidak. Nggak perlu saya cerita ke semua saudara juga kan? Apalagi saudara jauh.

“Ah, jadi perempuan itu nggak usah neko-neko. Keinginanmu kebanyakan.”

Saya menyesal ikut bantu-bantu di dapur. Tahu begini, mending saya di ruang tamu saja. Kita hidup di zaman apa, sih? Sia-sia perjuangan Kartini kalau masih ada orang yang berpikir seperti itu—apalagi sesama perempuan. Masak sesama perempuan nggak mengizinkan untuk bercita-cita setinggi-tingginya?



Saya menyerah untuk menjawab. Saya memilih diam daripada menjawab lalu dianggap nggak sopan. Semoga, orang-orang yang sering tanya ‘kapan’, sadar bahwa pertanyaan itu nirfaedah. Kecuali benar-benar peduli dan mau membantu menemukan pasangan atau menyumbang untuk biaya pernikahan, itu beda urusan. Tapi kalau hanya untuk basa-basi atau sekadar penasaran, lebih baik stop saja lah.

Salah satu penyebab tingginya angka perceraian di Indonesia adalah menikah muda tanpa kesiapan psikologis. Jangan jadi penyebab angka ini bertambah tinggi dengan terus-terusan bertanya, “Kapan nikah?” dan sebagainya.

Dan untuk yang sudah sering ditanyai seperti itu, daripada marah, jawab saja, “Kalau penghulunya sudah datang.” Sejauh ini, jawaban tersebut paling aman. Sebab, jawaban itu masih tergolong sopan dan berbumbu candaan, tapi sudah cukup untuk mengisyaratkan bahwa kita nggak kepingin ditanya seperti itu. 90% kemungkinannya topik percakapan akan berganti. Semoga beruntung, ladies!





(vem/nda)