Dua Minggu Jelang Pernikahanku, Ayah Calon Suamiku Berpulang Selamanya

Fimela diperbarui 12 Sep 2018, 13:00 WIB

Lagi sibuk menyiapkan pernikahan? Atau mungkin punya pengalaman tak terlupakan ketika menyiapkan pernikahan? Serba-serbi mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi kesan dan pengalaman yang tak terlupakan, seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.

***

Bagi seorang wanita merindukan sebuket mawar saat dilamar adalah hal yang biasa, tetapi bagiku itu adalah hal langka! Entahlah, mungkin menurut calon suamiku yang idealis, itu bukanlah esensi terpenting dalam sebuah hubungan. Anniversary, ulang tahun, hari Valentine, berlalu begitu saja selama 6 tahun dalam menjalani LDR (long distance relationship). Menikmati kebersamaan 6 jam/tahun adalah penderitaan hati yang akan berakhir karena kami memantapkan diri untuk melanjut ke jenjang sakral. Pernikahan itu akan mendekatkan raga yang terpisah jarak fantastis ± 2720 km karena pekerjaan masing-masing.

MUA (Make Up Artist), kebaya putih dengan songket terbaik, heels kece, perhiasan bermata tunggal, kebaya seragam keluarga inti, sudah kutulis rapi dan rinci di agenda. Tapi tak segampang yang kukira ketika perdebatan mulai mengawali saat ku-screenshoot percakapanku dengan MUA mengenai uang muka.

"Itu berlebihan!" katanya padaku meski sudah kujelaskan beberapa kali bahwa itu adalah MUA dengan penawaran terbaik dan posisinya dekat dengan lokasi pernikahan. Lelah berdebat, akhirnya aku mengalah dalam kekecewaan, walaupun dengan diam-diam, aku tetap memilih MUA tersebut. Sejak saat itu, segalanya kulakukan sendiri. Sebab menurutku, calon suamiku tak paham betul mengenai MUA, heels, songket pernikahan, dan semuanya yang dibutuhkan pengantin wanita.



Tiga bulan sebelum pernikahan, aku dilarikan ke rumah sakit dan mendapat perawatan selama 3 hari karena faktor kelelahan, stres berlebihan dan kurang nutrisi. Tetapi ‘bersemedi’ di rumah sakit tidak jua membuatku tenang. Jasnya gimana? Undangannya? Baju seragam orang di rumah gimana? Semua tekanan itu mulai kusadari bermunculan karena kebaikan teman-teman yang rajin mengirimkan foto dan link terkait persiapan pengantin.

Sepatu di sini bagus, coba cek instagramnya!
Undangannya cetak di sini aja, bagus dan unik!
Lihat MUA ini, kayaknya belum banyak peminatnya tapi dia kurang bagus buat alis!
dan bla... bla... bla.

Tekanan belum berakhir. Kurang lebih sebulan sebelum pernikahan, calon suami meneleponku dan mengatakan bahwa calon ayah mertua masuk ruang ICU dan akan pulang kampung secepatnya. Entah kenapa saat itu aku merasa cobaan bertubi-tubi menjelang pernikahan ini. Hingga pernah terlintas di pikiran, Tuhan tidak merestui kami!

Yang paling menyedihkan, seminggu berikutnya, jam 06.30 pagi, calon suamiku menelepon dengan nada tak biasa, “Sudah bangun, dek? Sehat, Dek? Dek, janji jangan kaget ya. Abang kecelakaan tadi malam.” Seperti petir menyambarku pagi itu.

Beberapa menit lamanya, tak sadar kututup mataku menekan kesedihan sambil menekan dada. Seseorang yang dalam keadaan setengah sadar ngebut dan menabraknya hingga terseret bersama motor saat kembali ke rumah sakit tempat calon ayah mertuaku dirawat. Kudengar dari teman yang menjemputku dari kontrakan ke rumah sakit, bahwa calon suamiku mendapat lebih dari 40 jahitan dan perawatan untuk bagian tubuh lain yang memar. Aku bahkan hampir gila membayangkannya.

Selama di perjalanan, kukatakan pada diriku sendiri, "Kuatlah! Kuat! Calon suamiku membutuhkanku! Tuhan sedang mengujiku."

Sebelum kubuka pintu ruangan rumah sakit itu, kutarik napas panjang menenangkan diri meski kepala penuh dengan percakapan semalam sore saat ia bersikeras menemaniku fitting baju pengantin dan membantu menyebarkan undangan keteman-temanku. Ah, air mataku benar-benar mau keluar saat itu. Tapi semuanya masih sanggup kutahan sambil memeluk dan menguatkannya, "Tenang sayang, semua akan baik-baik saja!" hanya itu yang bisa kukatakan. Mungkin jika kalimatku lebih panjang, air mata tak kan mampu lagi kubendung.



Sementara menggunakan waktu yang begitu singkat, kami memutuskan membagi undangan pernikahan kepada teman-teman yang datang menjenguk ke rumah sakit. Aku sadar itu adalah hal konyol yang tak biasa, tapi mereka semua malah menguatkan dan membantu kami menyebarkan undangan yang sudah diberi label nama. Sungguh itu sangat membantuku yang masih harus bekerja dari jam 08.00 s/d 17.00 WIB, dan tak akan sempat menyebarkan beratus undangan dengan mengandalkan Gojek dan transportasi umum.

Dua minggu sebelum pernikahan aku kembali ke kampung halaman untuk mempersiapkan kekurangan di kampung. Alangkah senangnya saat calon suami menelepon dengan nada riang sambil mengatakan bahwa ia sudah bisa berjalan dan yakin tak akan berjalan pincang saat pernikahan nanti. Tetapi tak berlangsung lama.



Di hari yang sama dan hanya selisih dua jam, ia menelepon lagi, “Bapak sudah pergi, Sayang.” Aku lemas dan terduduk. Keluarga besarku yang mendapat kabar dukacita itu juga sangat terpukul. Oh… Tuhan, apakah hubungan ini tak direstui? Apa salah kami dua? Pertanyaan itu semakin sering kuucapkan di beberapa minggu terakhir.

Namun, calon suamiku pula yang akhirnya menguatkanku, “Setelah pemakaman Bapak, semua persiapan kita lanjutkan. Duka cita ini, harus menjadi penyemangat. Dan suka cita harus lebih tampak!” Dan kujawab dengan nada datar dan tak bergetar, “Iya, sayang.” Setelah kututup teleponnya, air mataku akhirnya berderai deras setelah berminggu-minggu tertahankan.

Dengan dukungan berbagai pihak terkhususnya keluarga inti, akhirnya pernikahan kami berjalan dengan lancar. Kami bertekad, pernikahan itu harus menjadi momen kebangkitan bagi keluarga, terutama bagi kami berdua. Perjalanan masih jauh, dan semua yang terlewati akan menjadi pengalaman untuk menghadapi tantangan hidup di masa depan.

(vem/nda)
What's On Fimela