Dijodohkan dengan Pria 11 Tahun Lebih Tua, Pernikahan Hampir Kubatalkan

Fimela diperbarui 12 Sep 2018, 10:00 WIB

Lagi sibuk menyiapkan pernikahan? Atau mungkin punya pengalaman tak terlupakan ketika menyiapkan pernikahan? Serba-serbi mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi kesan dan pengalaman yang tak terlupakan, seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.

***

Ini cerita masa laluku, cerita bridezilla yang putus asa. Semoga teman-teman yang sempat membacanya bisa mengambil pelajaran dari masa laluku ini.

Bagaimana rasanya disatukan dalam ikatan sah dengan orang yang kita cintai? Pertanyaan yang tak pernah absen dalam pikiranku selama sebulan terakhir menjelang pernikahan kami. Hubungan tidak jelas setelah dua tahun yang lalu aku dan pria itu resmi bertunangan.

Ya, bertunangan. Selulus kami SMA, orangtua menjodohkan kami dengan alasan menyambung keturunan yang satu. Pria itu sepupuku, umurnya terpaut sebelas tahun dariku, seorang dokter dengan karier yang cemerlang, tampan menjadi bonusnya. Siapa yang tak tertarik?



Lalu, dia akan menikahiku−gadis 20 tahun, baru diwisuda, penyakitan. Benarkah? Kalian pasti akan menebak bahwa perjodohan ini terlalu dipaksakan dengan alasan lain. Ekonomi? Tidak. Alhamdulillah, hidupku berkecukupan. Bahkan dua tahun terikat perjodohan gila ini, orangtuaku menolak mentah niat baik pria itu untuk membiayai kebutuhanku.

Dia memang baik, dan hubungan kami dalam dua tahun ini berjalan mulus-mulus saja. Aku yang dilanda dilema, sebulan terakhir selalu bertanya apakah dia mencintaiku? Masalahnya sebentar lagi hari H pernikahan kami, semua sudah siap dan aku hanya menunggu hari itu tiba sambil menikmati pemandangan bahwa dia mencintai gadis lain.

Gadis yang seumur dan seprofesi dengannya. Gila, bukan? Bukannya aku senang menanti hari sakral itu, tapi membuatku menjadi bridezilla ganas yang setiap hari menampakkan wajah sayu, pucat, menangis, dan marah tak jelas. Tidak kutampakkan padanya, keluarganya, atau keluargaku. Hanya kurasakan sendiri, hingga menggerogoti kekebalan tubuhku.



Mengatakan padanya keresahan ini, itu bukan jawaban. Aku tidak mau dikatakan posesif, tapi tidak ingin dicela naif. Ujungnya, aku menyerah mempertanyakan tentang itu. Memilih sabar seperti yang sudah-sudah, ibuku juga sudah tahu bahwa dia berpacaran dengan partner kerjanya. Tapi ibu selalu berkata, “Semoga Allah memberi balasan atas kesabaranmu."

Sepuluh hari lagi adalah hari pernikahan kami. Dia mengunjungiku, sambil membawa hadiah kecil-kecilan. Namun, betapa terkejutnya dia ketika melihat kondisiku, sakit yang dulunya terasa di bagian perut kini menyebar ke bagian punggung. Sore itu dia membawaku ke rumah sakit.

Cemasnya terbayar dengan diagnosa dokter obygn bahwa aku memiliki kista rahim yang harus segera dioperasi. Dia yang juga sebagai dokter paham betul akibat dan sebagainya. Malamnya, kami pulang dengan perasaan takut. Dia tidak membicarakan soal pernikahan kami, sebelumnya juga sudah menyerahkan penuh kepada pihak keluarga.

Sembilan, delapan, tujuh, H-1. Sore itu, dia kembali mengunjungiku setelah seminggu lebih tidak berkomunikasi, aku tahu dia benar-benar sibuk. Kondisiku bisa dibilang lebih baik, tapi sore itu, dengan air mata bak banjir aku mengutarakan sakitnya hatiku, dan segala yang ingin kukatakan sejak lama.

“Kak, aku mencintaimu sejak kamu menyematkan cincin tunangan kita. Mungkin tidak ada nilainya sama sekali dibanding gadis yang selama ini kamu cintai. Jujur, bahwa aku tidak bisa menolak kenaifanku, selama ini aku mencintai seseorang yang mencintai gadis lain. Mungkin kamu tidak mencintaiku.

Dan tidak ada artinya jika kita menikah. Itu sama saja aku membiarkan diriku dimakan cemburu, membuka kesempatan untuk pernikahan keduamu nanti. Aku tidak bisa memberikan anak untukmu, untuk orangtuamu. Dan yang mendorong segeranya pernikahan kita adalah tentang ini, kan?
Aku sakit. Sakit sekali, kak. Rahimku akan dioperasi, karena sudah terlalu parah bisa jadi rahimku akan diangkat. Begitu sia-sianya kehidupanku.”



Aku ingat sekali kalimat ini. Dengan tangisan kehancuranku, dia hanya melihatku dengan tatapan bodoh. Bodoh sekali aku di matanya, dan kata terakhir yang muncul adalah, “Kita batalkan saja acara besok pagi itu, Kak. Aku ikhlas.”

Bukannya kaget atau merespon dengan hal lainnya, tatapan bodohnya berubah menjadi senyum paling haru. Senyum penghargaan dan senyum cinta yang baru pertama kali kudapat. Lalu, ia menciumi tanganku, seraya mengatakan.

“Terima kasih sudah jujur tentang sakitnya hatimu, Dik. Aku tak berpikir sampai ke sana, kukira kamu tidak merasa cemburu ketika aku bersama dengan perempuan itu. Maafkan aku, Dik. Aku terlalu sibuk dengan duniaku, aku lupa dengan janji masa depanku, aku lupa padamu, Dik. Aku harap kamu memaafkan dosa ini. Agar besok berjalan sesuai rencana kita dan rencana-Nya. Aku mencintaimu, mencintai kesabaranmu.”



Kaget? Tentu saja. Tangisanku berakhir dramatis sekali. Akhirnya dia menjelaskan hubungannya dengan gadis itu, hanya sebatas partner kerja. Aku lah yang selama ini salah paham. Benar-benar posesif.

Keesokan harinya, mataku terperanjat menatap pria paling tampan. Entahlah, aku selalu bisa jatuh cinta padanya berkali-kali. Alhamdulillah, pernikahan kami berjalan lancar dan sekarang sudah berumur empat tahun, dan rezeki yang paling kusyukuri adalah si kembar yang kini tumbuh sehat. Ibu benar, Allah pasti membalas setiap kebaikan dan kesabaran itu.

(vem/nda)