Melamarlah Saat Sudah Benar-Benar Siap Menyiapkan Pernikahan

Fimela diperbarui 11 Sep 2018, 13:00 WIB

Lagi sibuk menyiapkan pernikahan? Atau mungkin punya pengalaman tak terlupakan ketika menyiapkan pernikahan? Serba-serbi mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi kesan dan pengalaman yang tak terlupakan, seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.

***

Kata orang, pernikahan adalah hal yang ditunggu-tunggu oleh setiap wanita. Pada hari itu para wanita akan menjelma menjadi ratu semalam. Memakai hiasan serta didandani bak puteri. Khayalan-khayalan indah pun bermunculan ketika memikirkan akan menikah dan mempunyai keluarga sendiri. Itu juga yang membuat saya semangat ketika sang pacar mengatakan, “Maukah kamu menikah denganku?” dan tentu saja saya menjawab, “Ya.”

Tentu saja setelah melamar saya, keluarganya datang dan menentukan hari pernikahan. Hari pernikahannya 8 bulan lagi, mengingat semuanya belum disiapkan. Langkah pertama tentu saja mengatur akan di mana foto preweddingnya dan budgetnya berapa. Awal kisah galau saya pun dimulai, sesuatu yang tidak saya sangka dan tidak terpikirkan akan terjadi pada saya.

Bagaimana tidak galau ketika kita tahu kebenarannya bahwa pasangan kita tidak mempunyai budget yang cukup. Apalagi saya sudah berharap ingin mengambil foto prewedding di bridal yang cukup lumayan. Belum lagi untuk biaya jamuan makan dan lainnya yang sangat menguras kocek. Sementara dengan tenangnya pacar saya mengatakan, ”Pasti cukup.”

Hal yang sungguh membuat saya kesal setengah mati ketika tahu dia tidak menyiapkan cukup dana tetapi mau melamar saya. Padahal saya pernah menyinggung ingin menikah seperti teman saya di bridal yang lumayan dan tinggal sendiri. Sehingga saya kira dia sudah punya persiapan. Mau mundur juga sudah tidak bisa karena hari sudah ditentukan dan kabar sudah menyebar seperti virus yang menyebar kemana kemana. Perasaan stres pun datang, rasanya seperti ingin mencekik dia atau kabur ke hutan belantara. Karena itu juga, saya jadi sering bertengkar dengannya karena rasa kecewa yang memuncak.

Setelah pikiran saya bisa tenang dan disuguhi nasihat dari ibu saya, “Sudahlah, yang penting sah dulu. Nanti mana tahu setelah menikah bisa dapat rezeki.” Saya pun memotivasi pikiran sendiri untuk berpikiran positif. Untuk urusan prewedding pun saya memilih foto di tempat sederhana dan saya harus melawan ego saya untuk tinggal sendiri karena tidak ada dana untuk itu.

Walaupun dalam hati selalu merasa kecewa dan berkata, “Bukan ini yang saya mau,” tetapi ketika melihat wajah calon suami saya yang juga sangat menyedihkan ketika saya memarahinya, saya menjadi tidak tega. Memang dia sangat sabar dan tidak pernah marah ketika saya mengeluarkan kata kata kasar.

Mungkin karena itulah saya tetap memutuskan untuk menikah dengannya walaupun khayalan saya berbanding sangat terbalik dengan kenyataan. Masalah demi masalah baru pun muncul. Budget yang dipunya hanya cukup untuk foto prewedding dan seserahan serta undangan. Karena saya berada di kota Medan dan dia di Tanjung Morawa, maka pengaturan penjemputan kerabat untuk ke restoran nantinya juga menjadi beban pikiran lagi.

Hal-hal detail yang tidak pernah saya pikirkan ternyata sangatlah banyak dan mengoceh kocek yang tidak sedikit.Karena tinggal 3 bulan lagi, saya menjadi semakin stres dan sering marah marah tak jelas. Apalagi kami belum memutuskan akan mengadakan jamuan makan di mana.

Rasanya lebih pusing mengatur jumlah undangan daripada melihat kerjaan di kantor yang menumpuk. Belum lagi kami sama sama tumbuh di keluarga besar. Jadi kebayang kan pusingnya harus mengatur budget undangan dengan tidak melewatkan satupun kerabat. Tidak ada lagi pikiran untuk mengadakan acara hiburan dan pentas untuk para tamu yang ingin bernyanyi. Semuanya harus yang paling hemat.

Timbangan badan saya langsung otomatis turun tanpa harus berdiet keras. Tiap hari harus ikut memikirkan bagaimana cara menghemat dan menabung bersama agar cukup untuk jamuan dan pada saat hari H. Mungkin jika saya tidak harus memikirkan budget, tentunya pernikahan akan lebih terasa menyenangkan.

Jadi kesimpulan saya proses persiapan pernikahan bagi saya seperti setumpuk masalah yang tidak ada hentinya. Tidak ada rasa bahagia maupun antusias untuk menunggu hari H. Bahkan kalau bisa rasanya ingin mengundur hari pernikahan agar bisa menabung dan melaksanakan pernikahan yang lebih layak.

 

 

 

 

 

(vem/nda)