Saya Sunda dan Dia Jawa, Cinta Menyatukan Kami Meski Keluarga Jadi 'Drama'

Fimela diperbarui 10 Sep 2018, 13:00 WIB

Lagi sibuk menyiapkan pernikahan? Atau mungkin punya pengalaman tak terlupakan ketika menyiapkan pernikahan? Serba-serbi mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi kesan dan pengalaman yang tak terlupakan bahkan sampai 'drama', seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.

***

Sekadar permulaan, kisah kami ini memang mengenai pemahaman terhadap perbedaan budaya dan bagaimana hikmah di balik kejadian. Saya tidak pernah menyangka bahwa menyiapkan sebuah pesta pernikahan akan serumit seperti saya menjadi ketua panitia pentas seni di kampus dahulu; penuh tantangan dan membuat tidak bisa tidur.

Perkenalkan, nama saya Fitria. Saya asli dari Jawa Barat dan keluarga saya termasuk tipikal yang menjunjung tinggi budaya Sunda. Saking sangat pedulinya dengan hal-hal yang bersifat Sunda, mereka memiliki kriteria pasangan yang juga harus mengenal budaya Sunda sama persisnya dengan mereka. Dalam arti yang lebih pendek, mereka tidak menginginkan saya berpacaran atau menikahi orang yang di luar Jawa Barat.

Kerisauan mereka kepada saya sudah ditanamkan sejak saya memasuki masa pubertas. Ketika saya menempuh jenjang pendidikan di SMA, orangtua terutama Bapak begitu posesif dengan teman-teman pria saya. Jika, saya diharuskan kerja kelompok, Bapak memilih memaksa mereka yang ke rumah saya dibandingkan saya harus bertemu di kafe. Lalu, setiap mereka pulang, Bapak selalu bertanya kepada saya, apakah teman laki-laki saya fasih berbicara bahasa Sunda yang halus dan bagaimana sejarah keluarga mereka. Kalau Bapak sudah bertanya seperti itu, saya menjawab secara asal dan mengarang bebas. Toh, Bapak tidak pernah tahu apakah benar atau salah. Hingga, pada satu waktu, saya lulus SMA dan menuju jenjang yang menuntut kedewasaan yakni masa perkuliahan.



Perkiraan saya meleset, ternyata Bapak dan Ibu mengkhawatirkan saya dengan level yang meningkat beberapa kali lipat dibandingkan masa SMA. Ibu bilang kalau kuliah, kemungkinan saya bertemu dengan orang yang beragam jauh lebih tinggi. Memang betul, kampus saya di ITB terdiri atas berbagai mahasiswa yang berasal dari macam-macam daerah.

Seiring berjalannya waktu di bangku perkuliahan, saya dipertemukan dengan seorang pria yang berbeda fakultas dengan saya. Dia asli dari Jember, Jawa Timur. Perkenalan saya dengan dia termasuk kebetulan, dia adalah teman satu unit (ekskul) sahabat perempuan saya. Jujur saja, semenjak saya kuliah, saya semakin tertarik dengan teman-teman yang berbeda budaya (latar belakang).



Kala itu, hari terakhir Ujian Tengah Semester di kampus, ketika dia mengajak saya pertama kali untuk makan siang bersama. Saya gugup seratus persen, takut jika di kemudian hari saya jatuh cinta dan hanya membuat masalah besar di keluarga. Saya juga takut bagaimana saya berinteraksi dengan teman laki-laki yang berbeda budaya. Namun, ketakutan yang menyihir saya pelan-pelan luntur dengan cara dia yang konyol dan membuat saya nyaman. Seperti dia paham betul bahwa ada sekat budaya di sini, antara kami berdua.

Lambat laun, saya mulai merasa nyaman dengan dia. Cinta yang merupakan sebuah kata kerja memberikan tindakan-tindakan kepedulian, bukan hanya sekedar perasaan-perasaan. Tidak terasa, dimulai dari makan siang bersama, lambat laun kami pergi ke perpustakaan daerah bersama hingga melakukan kegiatan projek sosial bersama.

Hubungan kami boleh dibilang sangat positif dan sering kali teman bergurau, kami berdua ini memiliki tingkat produktivitas yang tinggi. Hingga, saya tidak pernah menyangka, tiga tahun setelah kami berdua lulus sarjana, dia mengajak bertemu dengan saya lagi untuk makan siang bersama. Jujur saja, setelah lulus, kami jarang bertemu untuk makan siang mengingat kami berdua harus kerja dan perusahaan kami berbeda.

Siapa sangka, dia sengaja mengulang memori saat pertama kali cinta bersemi di masa perkuliahan. Momen makan siang bersama. Saya tidak punya ekspektasi apapun dan kebetulan, waktu itu saya punya jam kosong dan bertemu di lokasi yang tak begitu jauh dari kantor saya. Sesampainya di lokasi, dia sudah duduk di meja makan yang sengaja dia pilih di dekat jendela.



Saya menghampiri dia. Tanpa basa-basi, dia bertanya kepada saya, “Kalau kamu hidup sama aku hingga waktu yang sangat lama, punya anak banyak, hingga tangan kita keriput, mau nggak?" Otomatis, saya yang lagi baru sampai, seketika melongo tanpa henti. Dia tertawa dan menyuruh saya duduk. Diambilnya cincin dari saku jasnya dan diberikan kepada saya. Kalian tahu, apa kalimat yang pertama kali saya ucapkan? “Aku mau, tapi bagaimana dengan Bapak dan Ibu  Kamu mau bilang apa kalau kamu bukan dari Jawa Barat? “

Singkat cerita, perjuangan kami berdua untuk meyakinkan orangtua saya cukup dramatis. Kalau kalian bayangin adegan sinetron, hal itu terjadi dengan kami. Dimulai dari Bapak yang melempar air putih ke muka dia, Ibu yang pura-pura menjatuhkan gelas, Bapak yang tidak merespon percakapan dia sambil bergaya baca koran padahal tidak, hingga adegan nangis Bapak dan Ibu merestui kami di akhir drama. Kesenangan kami, ternyata oh ternyata, tidak berhenti sampai situ.

Ini yang bikin saya gila hingga rambut saya rontok mengurusi pernikahan. Saat itu, keluarga kami berdua saling dipertemukan di Bandung (rumah saya). Om saya yang di Garut menjadi moderator untuk rapat pertama persiapan pesta pernikahan. Keluarga dia yang dari Jember kompak dan serempak memakai Pakaian Batik. Keluarga saya kompak dan serempak memakai Pakaian adat Sunda, laki-laki bak pemain silat dan perempuan bak sinden Sunda.

Saya sudah berdoa sepanjang malam semoga tidak ada perdebatan. Tetapi, harapan itu diuji sama Tuhan. Bapak saya belum apa-apa sudah menolak untuk menggunakan perpaduan budaya di pesta pernikahan nanti. Kalian bisa bayangkan, bagaimana masamnya raut muka orangtua dia kala itu.

Saya dan dia hanya saling pandang-pandangan dengan muka yang super-duper tegang dari kami berdua. Om saya mulai kewalahan melihat Bapak yang tidak mau berhenti berdebat sambil membawa fakta-fakta pernikahan Sunda. Akhirnya, saya berani meminta untuk menunda rapat keluarga ini dan memohon agar saya aja yang menjadi pengatur pesta pernikahan. Sehingga, tidak perlu melibatkan berbagai pihak.

Boleh dibilang ini repot, Bapak dan Ibu saya berupaya mengintervensi segala kebutuhan pernikahan. Begitu pula, pihak orangtua dari mertua yang sama juga ribetnya. Rasanya ada dua kubu yang satu menjunjung tinggi (tidak mau melepaskan) budaya Sunda dan yang satu menuntut kesempurnaan. Otak saya sudah tidak mau berkompromi.



Urusan pekerjaan dan urusan persiapan pernikahan membuat saya jengah. Kalau saya curhat ke dia, dia hanya tertawa sembari mengusap rambut saya, kalau semuanya akan baik-baik saja. Lalu, beberapa bulan menjelang pernikahan, drama hebat terjadi lagi ketika kedua orangtua baik dari dia dan saya tidak menyukai baju yang akan dikenakan. Sedangkan, mempersiapkan baju tidak pernah mudah. Kalau warna diganti, maka semua pagar ayu dan pagar bagus juga harus ganti.

Lebih daripada itu, budget kami terbatas. Ibu saya menangis seperti anak kecil melihat baju yang tidak disukai. Begitu pula, ibu dari pihak suami saya. Hingga, satu titik, saya kalah dalam pertarungan yang membuat saya berpura-pura tegar. Saya mengumpulkan kedua belah pihak dan saat itu, saya menangis sejadi-jadinya.

Dia tidak pernah menyangka saya akan bereaksi seperti itu. Selama kami pacaran, tidak pernah dia melihat saya menangis. Mungkin, setelah kejadian saya menangis karena lelah, mereka akhirnya berhenti untuk bersikap manja dan kekanak-kanakan. Yang lebih utama adalah mereka harus melupakan sekat budaya yang mendominasi ego. Setiap budaya memiliki derajat yang sama-sama baik.



Perbedaan seharusnya membuat kami beragam dan meriah. Keluarga yang berbeda daerah seharusnya disikapi dengan perasaan yang riang. Menikmati setiap proses adaptasi. Belajar hal baru dan menyelami cara hidup dari masing-masing budaya. Saya bersuku Sunda dan dia bersuku Jawa. Kami dipertemukan oleh Tuhan dengan maksud. Mungkin, kami dibuat bersatu untuk sekadar menyadarkan keluarga masing-masing bahwa kebahagiaan tidak pernah meributkan perbedaan dan kesempurnaan. Selalu ada celah yang menarik dari perbedaan yang menggiring kami semua untuk bersikap toleransi.

Lebih daripada itu, saya menjadi tahu sekarang, saya mencintai dia dan keluarga bukan hanya dengan perbedaan, logika, dan rasio. Bukan karena dia sekadar memenuhi ekspektasi atau standar saya, tetapi karena saya mencintai dia di luar akal. Lebih dari itu, dia dan keluarganya adalah jalan pulang saya, rumah yang nyaman dan akan senantiasa memeluk saya kala lelah.

Terima kasih sudah membaca cerita kami berdua. Jika, kalian menghadapi situasi yang sama, semoga diberikan selalu ketabahan dan keceriaan dalam menikmati segala kejadian yang akan terjadi. Salam hangat.

(vem/nda)