Untuk Benar-Benar Siap Menikah, Harus Berani Keluar dari Keterpurukan

Fimela diperbarui 10 Sep 2018, 09:50 WIB

Apa yang paling penting dalam mempersiapkan pernikahan? Apakah mempersiapkan mental seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini?

***

Patah hati lagi. Setelah 3 tahun mencoba meyakinkan orangtua bahwa dia mampu menjaga anak perempuannya. Hubungan yang kumulai sejak kelas 2 SMA harus kupasrahkan seperti gelas kaca yang jatuh dan pecah. Semester 4 semuanya berakhir, semua perjuangan rasa ala anak-anak SMA harus dihentikan paksa. Menjalin LDR tentunya bukan hal yang mudah. Keyakinan, rasa saling percaya dan menjaga tentunya dibutuhkan dalam mempertahankan 3 tahun itu. Sampai akhirnya orangtua selalu mendesak untuk aku mengakhiri hubungan dengannya.

Aku selalu bermimpi tentang pernikahan setelah lulus kuliah. Aku merencanakannya dengan dia cinta masa SMA-ku. Kami berkhayal setelah aku lulus kuliah dan dia lulus pendidikan kami segera melangsungkan pernikahan sederhana. Setelah patah hati itu aku tidak lagi merencanakan pernikahan. Lucu. Dengan siapa aku merencanakannya? Dengan siapa aku merealisasikannya? Aku sedikit frustasi.



Teman-temanku SMP dan SMA pelan namun pasti mulai menyebar undangan pernikahan. Maklum, pernikahan muda masih sangat wajar di daerah asalku. Hal yang selalu aku kerjakan adalah sesegera mungkin menutup socmed ketika muncul foto-foto pernikahan temanku. Aku ingin. Aku iri. “Harusnya hari ini aku masih memiliki dia,” pikirku. Patah hati memang mampu membuat seorang menjadi terpuruk.

Hari-hari aku lewati dengan sepi. Sepi ketika LDR tidak pernah sesepi ini. Kosong. Melamun. Mudah menangis. Oh, sampai akhirnya orangtuaku paham keadaanku dan mulai membangkitkan semangatku. Aku menyalahkan mereka dalam sebuah diskusi. Aku menyalahkan mereka yang tidak merestui hubunganku dulu. Mereka diam, dan hanya berbisik “tolong buka hati untuk orang lain, jodoh itu juga dijemput”. Aku marah. Aku tidak bisa semudah itu memulai hubungan. Aku sangat takut kecewa.



Beberapa minggu setelah diskusi dengan orangtuaku aku memberanikan diri membuka hati. Chattingan dan sering telepon dengan teman masa SMP-ku dulu tidak membuahkan hasil suatu hubungan. Sering pulang bersama setelah acara kampus juga tidak menghasilkan hubungan. Akhirnya aku patah lagi, aku paham aku tidak bisa memaksa diriku untuk menjadi orang lain. Kali ini aku tidak ingin mengusahakan apa-apa dulu. Mungkin kesendirian cocok untukku.

Memutuskan menetap pada kesendirian membawaku pada sosok yang dapat aku jadikan sandaran. Dua minggu yang lalu sedang berlangsung malam keakraban pada satu organisasi yang aku ikuti. Di situlah aku bertemu sosok yang membuat aku percaya diri membuka hati. Tanpa perlu waktu lama obrolan kami semakin menjadi. Malam yang dingin ala pegunungan membuat obrolan kami semakin hangat.

Setelah malam itu semua berubah, aku berani melangkah lagi. Bagiku mempersiapkan pernikahan bukan sekadar berapa undangan yang telah tersebar, bukan sekadar konsumsi apa yang akan dihidangkan atau bukan sekadar memilih tema pernikahan. Tuhan, aku mempersiapkan kembali pernikahanku ke depan. Menurutku berani melangkah dari keterpurukan merupakan persiapan pernikahan yang sangat besar.





(vem/nda)