Lagi sibuk menyiapkan pernikahan? Atau mungkin punya pengalaman tak terlupakan ketika menyiapkan pernikahan? Serba-serbi mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi kesan dan pengalaman yang tak terlupakan, seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.
***
Menikah adalah pintu gerbang menuju jalanan panjang yang tak pernah siapa pun tahu hamparan apa saja yang harus dilewati selama perjalanan. Proses menuju pernikahan pun bukan sesuatu yang dapat dianggap enteng. Sudah tahu kan? Untuk proses administrasi di pencatatan kependudukan saja sudah cukup menguras gudang kesabaran yang sudah diisi ulang berkali-kali. Beberapa daerah yang sudah memiliki layanan publik dengan predikat A tentu tak akan merasakan kegemasan sedalam daerah lain yang birokrasinya masih sangat ruwet, mbulet dan njlimet. Tenaga terkikis isi dompet pun dilihat juga miris.
Rahasia umum kalau tahapan birokrasi masih banyak yang digunakan sebagai ladang rejeki. Jadi, persiapan menikah sebatas di birokrasi yang rumit? Tentu tidak! Nanti ndak ada dramanya kalau cuma habis di situ, padahal drama-drama menjelang hari janji suci itulah yang kelak akan dikenang sambil senyum-senyum sendiri meskipun pas melalui sampai nangis-nangis dan berasa ingin gantung diri. Hihihi.
Sebut aku Riani. Bulan depan berniat melangsungkan pernikahan dengan kekasihku. Saat ini tentu adalah tahapan paling sok sibuk dengan harus menyiapkan berbagai tetek bengek pernikahan. Mulai dari yang kecil sepele yang bahkan tidak pernah terpikirkan kalau dibutuhkan sampai pada hal besar yang memang sudah jauh hari terlihat sebagai sebuah kebutuhan. Proses menuju pelaminan yang tak segan-segan meminta jatah waktu, tenaga, pikiran dan finansial ini seringkali membuat proses mempersiapkan pernikahan menjadi ajang bermain drama tingkat lokal setidaknya antara saya dan pasangan. Sebenarnya, sudah banyak drama yang harus dilalui sebelum sampai sejauh ini. Banyak, sangat banyak dan mungkin terlalu banyak untuk diceritakan step by step.
Calon suamiku adalah seorang lelaki yang sudah tidak memiliki orangtua. Kondisi tersebut menuntut dia untuk memiliki kemampuan bertahan hidup yang tinggi dengan tingkat kemandirian yang besar. Sekolah di pagi hari dan bekerja di malam hari ataupun kuliah di weekday dan bekerja di weekend sudah merupakan rutinitas yang menciptakan kemampuannya untuk hidup mandiri.
Aku adalah anak perempuan terakhir dari seorang keluarga yang tidak kaya raya tapi ayahku selalu mengiyakan setiap yang aku minta. Manja! Aku adalah anak perempuan terakhir dalam keluarga yang dari kecil selalu merasakan kasih sayang dan tidak pernah merasakan kerasnya hidup. Didikan keluarga yang bagai kutub utara dan kutub selatan tersebut benar-benar membuatku ingin menyerah ketika menuju tahap lamaran.
Ayahku yang menginginkan putri kecilnya segera dipersunting dan keluarga calon suamiku yang menuntut untuk mendapatkan pekerjaan yang dianggap layak sebelum melangsungkan pernikahan, padahal saat itu kami masih berstatus mahasiswa semester akhir. Jika kau tahu betapa beratnya menyelesaikan skripsi dan jika kau tahu betapa gilanya menyiapkan pernikahan, kami harus melaluinya dalam satu waktu.
Beriringan dengan segala doa dan kekuatan, setelah melalui berbagai usaha pelik untuk menyatukan pemikiran keluarga besar, satu minggu sebelum wisuda kami melangsungkan lamaran dan satu minggu setelah wisuda calon suamiku mulai aktif bekerja di sebuah perusahaan. Campur tangan Tuhan sungguh menakjubkan jika memang menginginkan dua makhluknya dipersatukan.
Kami memiliki jangka waktu satu tahun dari lamaran ke hari pernikahan dan saat ini adalah saat di mana satu tahun yang disebutkan pada waktu itu datang. Persiapan menuju pernikahan sama sekali tidak segampang pesan dekor sana, pesan undangan sini, belanja di toko A dan beli di pasar B. Tidak segampang mencari lagu meraih bintang di kolom pencarian search engine. Perkara memilih warna pakaian yang akan dikenakan ketika resepsi misalnya, bisa saja memunculkan adu argumen yang berujung saling diam.
Kebetulan kami sama-sama anak terakhir dengan saudara yang lebih dari jumlah sila pancasila. Menyatukan berbagai konsep hasil masukan dari sana sini dan memasukkan dalam konsep kami adalah ujian tersendiri. Mengatur kondisi finansial yang terbatas supaya dapat mencukupi semua kebutuhan di hari akad nikah, tentu dengan menyisihkan sebagian lainnya untuk kehidupan setelah menikah.
Menentukan daftar panjang orang-orang yang diundang merupakan sesi ujian kemampuan daya ingat. Salah sedikit bisa repot urusannya ketika yang merasa seharusnya diundang tidak terdaftar ataupun sebaliknya. Ah iya, menentukan jenis dan harga undangan juga ujian lho! Kali ini ujian ketelitian.
Kami benar-benar mencari info dari berbagai sumber mengenai gerai yang menyediakan undangan yang sesuai dengan keinginan kami, desain dan harga tentunya bu ibu hahaha. Menemukan fotografer, MUA, souvenir, dan segala rombongannya yang akan digunakan untuk perhelatan akbar tersebut benar-benar mengasah kemampuan. Meningkatkan pressure dalam arti yang sesungguhnya, ujian mental dalam makna yang sebenarnya. Salah-salah bukan perlengkapan yang tercukupi tapi malah keretakan hubungan karena adu cuitan tiap hari. Detik ini, sampai H-40 pernikahan, kami masih tetap berproses menyediakan komponen-komponen yang harus ada pada tanggalnya.
Kepada semua pasangan di dunia ini yang sedang berniat menuju akad, proses menuju hari H memang penuh sesi yang rentan membuatmu gila. Banyak misteri yang tiba-tiba terjadi tapi keajaiban-keajaiban juga tak henti berdatangan. Rentetan sesi panjang yang harus dilewati bertambah dengan runtutan berbagai kendala yang minta dihadapi. Tak pernah mudah dan membuat lelah.
Sulit dan seringkali membuat sakit. Jika kau mampu bertahan kau akan tahu kemudian bahwa segala proses panjang yang saat ini kau anggap menyedihkan adalah cara hubunganmu dikuatkan. Bahwa segala yang menguras emosi adalah proses penyatuan jati diri. Perlu keyakinan yang kuat bahwa jika dia yang tercipta dan menjadi takdirmu, hadangan seheboh closing ceremony Asian Games pun solusinya bakal ketemu. Pada akhirnya, semua akan memahami dan menyadari bahwa love will never usher you into marriage, commitment does.
- Indahnya Hari Pernikahan Bukan Terletak pada Kemewahannya Semata
- Usia Belum 20 Tahun, Terpaksa Menerima Perjodohan karena Masalah Ekonomi
- Menikah di Usia Belia, Menyatukan Perbedaan Dua Keluarga Tidaklah Mudah
- Menikah Itu Jadi Ancaman Terbesar dalam Diriku
- Terkadang Ada 'Drama' yang Harus Dilewati Sebelum Menikahi Kekasih Hati
(vem/nda)