Mempersiapkan pernikahan memang selalu menghadirkan kisah tersendiri. Bahkan ada yang begitu mengharukan seperti yang dituliskan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.
***
Sebenarnya ini bukan tentang persiapan pernikahanku. Bahkan aku tidak pernah ingin terlibat dalam suatu hubungan buruk dengan siapapun. Tidak akan. Karena rasanya sangat mustahil bagiku untuk memercayai gagasan soal dua manusia yang sangat berbeda hidup bahagia selamanya dalam sebuah ikatan pernikahan.
Ini tentang persiapan pernikahan teman baikku, Diana. Kami baru lulus sekolah selama beberapa bulan saat Diana menyuruhku untuk datang ke acara lamarannya. Aku masih ingat bagaimana bingung sekaligus senang tergambar di wajahnya saat membicarakan itu. Dia senang karena akhirnya impiannya menikah sebelum umur 20 tahun akan menjadi kenyataan. Tapi, dia juga bingung karena jika dia memenuhi impiannya menikah, maka tidak akan yang membantu membiayai sekolah adik bungsunya yang baru masuk SMP.
Sebagai temannya yang baik, aku hanya bisa mendukung apa yang sudah Diana putuskan. Aku datang ke rumahnya yang kebetulan tidak jauh dari rumahku. Aku membantu ibunya menggelar karpet, menyiapkan makanan, sampai membantu Diana mengancingkan gamisnya yang memang memiliki banyak sekali kancing.
Saat keluarga pacarnya datang, aku baru tahu kalau orang yang akan menikahinya adalah orang yang berbeda. Orang ini terlihat jauh lebih tua dan lebih dewasa dari Diana. Orang itu lebih pantas menjadi pamannya ketimbang calon suaminya. Setahuku, Diana masih berpacaran dengan Rendi, teman masa kecil kami yang sekarang ini sudah bekerja di Bekasi, dan bulan depan mereka genap dua tahun berpacaran.
Setelah proses lamarannya selesai, Diana baru menceritakan kejadian yang sebenarnya. Orang yang barusan menyematkan cincin ke jari manisnya adalah Indra, kerabat jauh dari pihak ayahnya yang “telat menikah” karena terlalu sibuk mengurusi sawahnya yang sangat luas. Dia dijodohkan oleh ibunya karena penghasilan ibunya dari berjualan nasi kuning dan gorengan dan Diana yang bekerja di toko pakaian tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mau tidak mau dia menyetujui perjodohan itu dan mengakhiri hubungannya dengan Rendi. Diana pikir itu adalah satu-satunya jalan keluar untuk menyelesaikan masalahnya.
Diana pun memutuskan untuk berhenti bekerja dan fokus mempersiapkan pernikahannya yang akan digelar bulan depan. Aku yang bekerja sebagai freelancer pun membantu mempersiapkan pernikahannya. Mulai dari menulis daftar undangan, menemaninya ke rumah pemilik rias pengantin untuk mencoba kebaya yang akan dia pakai, membantu ibunya membuat kue kering dan makanan-makanan hajat lainnya, sampai membantu mengemasi pakaian Diana beserta ibu dan adik bungsunya. Mereka memutuskan untuk menjual rumah peninggalan ayahnya dan ikut bersama suaminya nanti yang tinggal di Sumedang.
Karena banyak sekali hal yang harus dilakukan untuk pernikahan Diana, aku sampai sering menginap di rumahnya dan berbagi tempat tidur dengannya. Kadang-kadang aku mendengar suara tangis Diana yang teredam oleh bantal atau sekadar merasakan tubuhnya yang berguncang karena terisak-isak. Aku lebih sering berpura-pura tidak mengetahui itu daripada memberinya pelukan semangat. Karena setiap kali aku memberinya pelukan atau mengusap pundaknya, maka tangisannya akan semakin pecah dan membuatku ikut-ikutan menangis.
Sehari sebelum pernikahan, undangan ibunya mulai berdatangan ke rumah. Ibuku juga datang ke sana untuk kondangan sementara aku tidak bisa datang karena aku punya banyak sekali artikel yang harus aku setorkan pada editor. Aku sudah mengirimi pesan singkat lewat Whatsapp pada Diana soal pekerjaanku yang tidak bisa ditunda-tunda lagi dan baru bisa ke rumahnya setelah Isya' nanti. Diana hanya membacanya. Saat itu aku berpikir kalau Diana sedang sibuk menerima tamu ibunya hingga tidak sempat membalas pesanku.
Ternyata dugaanku salah. Diana tiba-tiba masuk ke kamarku dan mengajakku untuk pergi ke Bali seperti yang sudah aku rencanakan. Dia bilang kalau dia tidak ingin menikah dengan cowok yang sembilan tahun lebih tua darinya dan benar-benar tidak mengenalnya sama sekali. Dan dia masih sangat mencintai Rendi, membuatnya tidak sanggup untuk melanjutkan keinginan ibunya.
Aku yang masih terkena serangan jantung ringan mendengar ajakan Diana pun mencoba menenangkannya. Aku memberitahunya untuk tidak bersikap gegabah dan memikirkan kembali dampak yang akan diterima oleh ibunya jika kami benar-benar pergi ke Bali. Dan jika kami benar-benar pergi ke Bali, tabunganku tidak akan cukup untuk membiayai hidup kami berdua selama di sana sementara aku belum mendapatkan pekerjaan di sana.
Meskipun aku tahu kalau aku gagal meyakinkan Diana, terima kasih Tuhan karena Diana akhirnya bersedia kembali ke rumahnya setelah menangis dan menolak untuk melanjutkan permintaan ibunya selama kurang lebih satu di jam di kamarku dengan syarat aku tetap menemaninya sampai hari pernikahannya. Aku mengantarkan Diana pulang, di mana ibunya yang terlihat sangat panik langsung memeluk anak perempuan satu-satunya dan berterima kasih padaku karena sudah mengantarkannya pulang.
Malam itu, aku terpaksa harus menemani Diana saat memberitahu ibunya semuanya. Ibunya juga menangis hebat dan meminta maaf pada Diana karena sudah mengorbankan kebahagiaan anaknya sendiri demi menyelamatkan keluarga kecilnya. Membuatku ikut-ikutan menangis karena aku tidak tahan dengan suasana haru yang terjadi saat itu.
Di hari pernikahannya, Diana terlihat sangat cantik dalam balutan kebaya putih yang terlihat sangat kebesaran di tubuhnya padahal itu adalah ukuran kebaya paling kecil yang dibawa oleh perias pengantin. Berat badannya turun drastis dalam waktu satu bulan karena tertekan dan memikirkan banyak hal. Membuatnya terlihat seperti anak kecil saat berada di pelaminan bersama suaminya.
Selama melakukan prosesi pernikahan dengan adat Sunda, aku tahu Diana berusaha sekeras mungkin untuk terlihat bahagia. Suaminya pun terlihat sama seperti Diana. Membuat ibunya menangis lagi saat proses sungkeman dan sukses membuat semua ibu-ibu yang hadir saat itu ikut menangis.
Setelah satu tahun berlalu, Diana beserta ibu dan adik bungsunya tinggal di rumah suaminya di Sumedang. Kami jarang berkomunikasi karena kesibukan masing-masing. Tapi satu hal yang akhirnya membuatku lega bukan main, pada akhirnya mereka jatuh cinta pada satu sama lain. Meskipun aku tahu Diana belum sepenuhnya melupakan mantannya, Rendi, paling tidak aku tahu kalau cintanya pada suaminya tulus dan begitu juga sebaliknya.
- Menikah di Usia Belia, Menyatukan Perbedaan Dua Keluarga Tidaklah Mudah
- Menikah Itu Jadi Ancaman Terbesar dalam Diriku
- Terkadang Ada 'Drama' yang Harus Dilewati Sebelum Menikahi Kekasih Hati
- Pernikahan Tak Cuma Menyatukan Dua Insan, Tapi Menerima Perbedaan Keluarga
- Dalam Persiapan Pernikahan, Tuhan Pasti Membantu Memudahkan Segalanya