Saya akan memulai kisah yang saya persingkat sesingkat mungkin walau saya tidak tahu apakah lembaran kertas berisi huruf cukup untuk menyampaikan semua kisah hidup yang rumit ini. Saya lahir di Jakarta. Ibu saya membesarkan saya seorang diri. Dengan ekonomi yang pas-pasan malah cenderung kekurangan.
Sejak lahir, saya tidak mengenal sosok ayah. Seperti apa wajahnya, bagaimana sosoknya. Ibu saya bilang ayah saya sudah meninggal dunia. Dengan kondisi ekonomi yang seperti ini , ibu saya membanting tulang. Apapun dikerjakan. Jadi pembantu, kuli, tukang cuci, sampai berjualan koran.
Saya pun seringkali ikut santunan anak yatim, berharap ada makanan enak, souvenir bagus, dan amplop yang bisa membuat ibu senang. Saya juga mengamen di bus kota sambil membawa botol berisi beras. Orang-orang baik selalu memberi uang banyak sambil mengatakan suara saya bagus dan sebagainya.
Ibu saya adalah ibu yang penuh perjuangan dalam membesarkan anaknya, tapi dia bukan ibu yang lemah lembut. Seringkali saya mendapat hukuman karena kenakalan khas anak kecil. Sapu ijuk di rumah harus sering diganti karena gagangnya patah akibat memukuli tubuh yang kurus kering ini. Pernah gigi saya patah karena tamparan ibu yang begitu keras.
Juga masih terbayang dalam ingatan, sesaknya paru-paru ini saat Ibu membenamkan kepala saya dalam bak mandi. Saya tahu Ibu sangat membenci saya. Walau saya tidak tahu apa sebabnya. Sekeras apapun saya berusaha membuat ibu senang, itu tidak bisa mengubah tatapan ibu menjadi penuh kasih sayang seperti yang saya harapkan.
Di usia 6 tahun, saat saya dan Ibu sedang berjualan koran di atas metromini, sopir metromini itu rupanya adalah teman lama Ibu. Orang itu mengajak Ibu menjadi kondekturnya. Sejak it , kehidupan saya pun berubah. Saya mulai masuk SD, dan lambat laun saya tahu bahwa Ibu dan Pak Ndut, panggilan saya untuk supir itu, saling menyukai. Ibu masih seseram dulu, tapi Pak Ndut sangat menyayangi saya. Ia sering membelikan saya cokelat dan uang jajan. Tapi sejak Ibu kerja dengan Pak Ndut, Ibu mulai jarang pulang.
Setiap pagi sebelum ke sekolah, saya menunggu metromini Ibu lewat supaya bisa meminta uang jajan. Di kontrakan yang hanya 3x5 meter, saya tidur sendiri ditemani kucing yang banyak berkeliaran di sekitar. Sejak Ibu dan Pak Ndut bersama-sama, banyak gunjingan tetangga yang mengatakan hal-hal yang bisa membuat saya menangis. Mereka bilang ibu saya seperti pelacur, dan saya pun hingga kini tidak diketahui siapa bapaknya. Si Anak Haram, itu sebutan mereka untuk saya.
Saya mengenal beberapa orang yang sangat dekat dengan Ibu, dan sudah mengenal Ibu sejak lama. Dari mereka lah saya tahu, Ayah belum meninggal. Ayah masih hidup, di tempat yang sangat jauh bersama istri barunya. Pelan-pelan Ibu mulai terbuka, dia menceritakan segalanya. Ibu bilang ayah saya meninggalkan saya sejak masih dalam kandungan, meninggalkan Ibu seorang diri dan menikah lagi, dan tidak pernah memberi uang sepeser pun.
Saat saya kelas 1 SMP, pagi-pagi buta tanpa diduga Ayah saya datang. Orang asing itu memeluk saya, mengatakan rindu pada saya. Saya tidak merindukannya, tidak juga membencinya. Kalau pun saya membencinya, itu hanya karena hasutan dari Ibu. Karena yang saat itu yang saya rasakan hanya bingung dan hampa.
Seperti dipaksa menangis padahal saya tidak tahu apa yang harus ditangisi. Saya diajak pergi, berkenalan dengan orang-orang yang Ayah bilang kakak saya. Kakak lain ibu katanya. Terhitung ada 6 orang kakak dan beberapa di antaranya ternyata tinggal tidak jauh dari kontrakan saya. Lalu kemana mereka selama ini? Kenapa tidak menjenguk saya? Dari obrolan mereka saya tahu Ayah punya 2 istri, selain dari Ibu saya yang katanya sudah diceraikan sejak lama.
Pertemuan yang seperti mimpi itu rupanya hanya sementara, Ayah pulang ke kotanya dan saya kembali pada Ibu. Lalu kehidupan berjalan seperti biasanya. Ayah hanya sesekali menelepon dan mengirim uang Rp200 ribu beberapa bulan sekali sebagai uang jajan katanya. Tapi Ibu semakin parah ketika marah, berteriak-teriak mengatakan saya seperti anak anjing, sama seperti Ayah.
Saya tidak mengerti kenapa saya harus selalu menjadi kambing hitam. Saya mulai tenggelam dalam kenakalan remaja, bertemu dengan obat-obatan terlarang. Dan beberepa kali kabur dari rumah. Saat kelas 3 SMP, saya kabur dari rumah hingga 7 hari. Di hari ketujuh, saya pulang ingin pamit baik-baik.
Saya sudah menyiapkan uang untuk mengontrak rumah sendiri, harga kontrakan itu Rp400 ribu dan saya bahkan sudah membayar DP Rp150 ribu. Tapi rupanya, di luar dugaan. Ibu saya menangis, mengatakan menyesal dan meminta saya jangan pergi. Saya memang tidak ingin pergi, saya sangat mencintai Ibu dan saya sangat ingin Ibu tahu itu. Saya pun memilih tinggal dan memberi Ibu kesempatan. Tidak ada yang lebih menyedihkan dari melihat ibu seorang diri tanpa ada yang mengurus.
Saya lulus dengan NEM yang cukup baik dan berhasil masuk SMA negeri. Inilah yang selalu bisa membuat Ibu senang. Sejak dulu saya berusaha tidak menyusahkan Ibu. Saya selalu bisa masuk sekolah negeri yang gratis dan tidak pernah memaksa meminta uang untuk jajan. Saya mengerti keadaan dan saya senang menghasilkan uang sendiri.
Ibu masih sering marah-marah terutama ketika sedang stres tapi Ibu sudah tidak pernah memukuli saya lagi. Di Kelas 1 SMA, saya berkenalan dengan sesorang yang baik. Kami berpacaran dan semakin terlihat ibu mulai takut kehilangan saya. Dan dalam tahun yang sama, Ibu dan Pak Ndut akhirnya menikah. Terlalu lama memang, tapi bagi saya lebih baik daripada tidak sama sekali. Di sinilah saya mendapat kebahagiaan yang saya harapkan. Sekarang saya benar-benar punya Ayah. Dan saya tidak peduli ayah kandung saya memikirkan saya atau tidak. Saya lulus SMA dengan nilai yang baik, dan berhasil masuk perguruan tinggi swasta dengan beasiswa penuh.
Saat saya ingin menikah, benang kehidupan ini kusut lagi. Saya harus meminta persetujuan ayah kandung saya untuk dinikahi. Tragis untuk saya, harus dinikahkan oleh Ayah yang bukan seperti ayah sedangkan Pak Ndut yang selama ini berperan sebagai ayah harus dibelakangi.
Ayah saya memberi persetujuan, tapi Ayah tidak bisa memberi bantuan dana, juga tidak bisa datang. Saya katakan padanya bahwa menikahkan anak merupakan tanggung jawab final seorang ayah. Dia bilang istrinya sedang sakit. Akhirnya saya diwalikan oleh kakak saya lain Ibu. Saya sangat kecewa karena sudah jelas saya tidak memiliki arti apapun untuk Ayah. Saya seperti bukan siapa-siapa Ayah. Hanya anak dalam status.
Saya bahagia saat ini. Saya memiliki suami yang baik dan sangat menyayangi saya. Saya bisa mencurahkan apapun isi hati saya dan dia selalu bisa menjadi pendengar yang baik. Suami saya bukan orang kaya dengan gelar atau jabatan tinggi tapi dia adalah orang saya yakini bisa menjadi suami yang baik dan akan menjadi ayah yang baik.
Saat ini saya sudah memaafkan ayah saya. Saya ikhlaskan apa yang sudah terjadi di masa lalu, dan saya tidak berharap ayah saya akan peduli pada saya, karena sekarang saya sudah memiliki keluarga kecil yang saya tidak kekurangan kasih sayang. Saya juga sudah memaafkan diri saya sendiri karena sudah begitu mendendam pada keadaan.
Saya berterima kasih, Allah memberi pengalaman hidup yang demikian berharga sehingga banyak sekali pelajaran berharga yang bisa petik. Saya hanya berdoa, semoga anak saya kelak dan anak-anak manapun di dunia ini tidak ada lagi yang mengalami nasib seperti saya. Apapun yang tidak saya dapatkan dari orangtua saya, akan saya berikan penuh untuk anak saya.
- Jika Ingin Hubungan Bertahan, Jaga Kesetiaan dan Keyakinan Hatimu
- Terkadang Ada 'Drama' yang Harus Dilewati Sebelum Menikahi Kekasih Hati
- Pernikahan Tak Cuma Menyatukan Dua Insan, Tapi Menerima Perbedaan Keluarga
- Dalam Persiapan Pernikahan, Tuhan Pasti Membantu Memudahkan Segalanya
- Setiap Pasangan Pasti Ingin Buah Hati, Tapi Semuanya Ada Waktunya Sendiri