Terkadang Ada 'Drama' yang Harus Dilewati Sebelum Menikahi Kekasih Hati

Fimela diperbarui 06 Sep 2018, 11:15 WIB

Lagi sibuk menyiapkan pernikahan? Atau mungkin punya pengalaman tak terlupakan ketika menyiapkan pernikahan? Serba-serbi mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi kesan dan pengalaman yang tak terlupakan, seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.

***

Menjadi wanita dewasa dengan usia diawali dengan angka 3 sepertiku saat ini sungguh sangatlah sulit. Banyak hal membuat hari-hari terasa semakin berat. Buatku pertanyaan sudah usia berapa? Bekerja di mana? Sudah punya pasangan? Anak sudah berapa? Pastilah sudah sangat biasa di telinga. Bukan tidak punya target dalam hidup, tapi yah memang menurutku semua pasti ada waktunya.

Seperti hari ini, satu lagi tangga dalam target hidupku akan segera kulewati, berjalan menuju altar, melangkah bersama untuk mengucap janji suci di hadapan Tuhan dan seluruh keluarga yang ikut bahagia dengan pernikahan kami.

Akhirnya tiba juga hari ini, penuh dengan perjuangan pastinya, banyak cerita suka duka, bumbu pertengkaran dan juga air mata yang kalau diingat lagi memang tak mudah sampai ke tahap ini.



Aku ingat saat beberapa tahun lalu, harus menjalin hubungan diam-diam dan selalu bertingkah biasa saja di mana saja dan kapanpun karena kami masih berada di lingkungan pekerjaan yang sama, berpegangan tangan pun rasanya seperti melakukan dosa yang besar karena takut ketahuan. Sampai akhirnya memutuskan akan menikah dan salah satu harus mengalah untuk pindah dari kantor tempat kami bertemu pertama kali.

Setelah beberapa waktu mencari pekerjaan, entah karena aku yang terlalu bersemangat untuk pindah, atau mungkin dia yang belum beruntung untuk mendapatkan pekerjaan baru, akhirnya aku mendapat pekerjaan baru dan pindah kantor. Setelahnya lebih nyaman rasanya menjalaninya.

Kupikir jika sudah berbeda pekerjaan dan tidak berada di lingkungan kerja yang sama kami akan lebih mudah menjalaninya, dan ternyata tidak. Semakin kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing, semakin kami lupa tentang untuk siapa kami berjuang dari awal hingga sampai pada kondisi saat ini.

Kami jadi sering berdebat, bahkan karena kalimat sepele kami bisa bertengkar dan saling diam, untungnya sejak awal sudah punya perjanjian sesulit apapun dan serumit apapun pertengkaran kami harus kembali menyapa satu sama lain sebelum hari berganti (dengan kata lain 24 jam harusnya sudah cukup lama untuk bertengkar dan saling menyalahkan). Kadang kalau dipikir alay juga ya, tapi ya sesulit apapun itu, aku masih bersyukur karena ternyata dengan pertengkaran-pertengkaran ini kami jadi lebih mengerti pribadi masing-masing.



Terlepas dari masalah berdua, menikah ternyata tidaklah cukup soal suka sama suka, cukup saling mengerti dan bisa mengalah satu sama lain. Ada lagi drama soal keluarga yang muncul saat akhirnya dia menyuarakan akan meminangku dan meminta izin pada kedua orang tuanya.

Dari drama papa mamanya yang kesehatannya tiba-tiba menurun, keluarga besarnya yang tidak menyukaiku karena dianggap kurang pantas dengannya, keluarga besarnya menginginkan seorang dokter untuk dijadikan menantu, dan ya mereka memiliki kandidat yang sudah ditunjuk sejak lama. Wups, kalau yang ini benar-benar sempat membuat hubungan kami seperti kapal di samudra yang hanya pasrah kemana angin akan membawa kami. Sampai akhirnya keputusan untuk mengikuti kemauan keluarganya, untuk berpisah dan merelakan satu sama lain.



Hampir setengah tahun dia tidak memberiku kabar, demikian pun diriku, aku menahan diri untuk bertanya, takut suaraku akan memperkeruh suasana. Di tengah kesibukan project dan timeline yang luar biasa, dia datang sekali lagi, dengan seriusnya mengajakku menikah dan ya aku bisa lihat maksud baik dan keseriusannya saat berkata dia menginginkanku menjadi istrinya. Terkejut dan tak bisa berkata apa-apa, aku hanya memeluknya sembari meneteskan air mata yang sungguh sudah dibendung sekian lama.

Dia akhirnya menunjukkan keseriusannya, dengan lantangnya memegang tanganku dan meminta izin kepada keluargaku dan juga keluarganya. Di sela-sela kesibukan yang luar biasa, referensi teman, melihat iklan di media sosial dan bertanya sana-sini akhirnya semua dapat dipersiapkan dengan baik dan tepat waktu.



Buat suamiku, pasangan hidup dan belahan jiwaku, mencintaimu sungguh adalah pilihan yang tidak akan pernah aku sesali. Kau harus tahu, menikahimu adalah cita-cita terbesarku saat ini, dan terima kasih padamu yang berperan luar biasa untuk mewujudkannya.

Mari bersama kita buat cita-cita yang lebih besar lagi, dan marilah kita hidup saling mengasihi dan terus mengenang perjuangan bersama ini, untuk diceritakan kelak pada anak cucu kita. Agar seperti kita berdua, mereka tidak mudah menyerah atas apa yang menjadi mimpi dan cita-cita mereka.





(vem/nda)