Saling Cinta Bukan Satu-Satunya Jaminan Bertahannya Suatu Hubungan

Fimela diperbarui 05 Sep 2018, 20:00 WIB

Sebagai seorang perempuan, berharap menemukan orang yang tepat adalah hal yang umum. Namun, ketika kita sudah menemukan orang yang menurut kita cocok, tapi ternyata tak sejalan, hm... sepertinya memang harus mengikhlaskannya pergi. Inilah kisah cintaku yang tak seindah drama Korea.

Namaku Kinan, aku hanyalah gadis biasa yang hanya ingin belajar di kota untuk mengejar mimpi dan cita-citaku. Saat itu, tahun 2006 aku mulai hijrah ke kota untuk menuntut ilmu. Pengalaman pertama untuk jauh dari orangtua.

Di kota inilah aku melangkahkan kaki berharap keajaiban terjadi untuk semua mimpi-mimpiku. Termasuk untuk mendapatkan seorang pacar. Hari demi hari kujalani sebagai anak SMA, sambil terus berharap ada orang yang memperhatikanku. Namun ternyata sampai lulus SMA pun, tak seorangpun menjadi pacarku. “Hm... oke baiklah,” pikirku, karena ketika SMA aku memang fokus untuk belajar. Sampai di sini aku berdamai dengan hatiku, dan segera melupakan kisah manis di sekolah yang hanya di angan-angan.

Setelah lulus SMA, tahun 2009 aku melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di kota yang sama saat aku masih SMA. Masuk dalam dunia kuliah, aku bertemu dengan banyak orang dari berbagai daerah.

Saat masuk kuliah hal pertama yang kupikirkan adalah belajar, ya hitung-hitung kalau ada yang nyantol, berarti namanya bejo. Bagiku, aku tidak terlalu ngoyo mencari pasangan hidup karena masih semester-semester awal, toh masih muda juga.

Memasuki semester 3, aku mulai dekat dan merasa nyaman dengan teman sekelasku, namanya Radit, mungkin karena kami terlalu sering mengerjakan tugas kelompok bersama. Sampai-sampai aku meyakini pepatah Jawa bahwa “witing tresno jalaran saka kulina” (awalnya sayang karena sering bersama kurang lebih penjelasan dalam Bahasa Indonesianya begitu).



Ketika kami dekat, aku menyadari bahwa saat itu Radit sedang memiliki pacar, yang kuliah di Ibu Kota, dan saat itu status mereka adalah LDR. Bagaimanpun juga, aku harus menjaga jarak dengan Radit untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan ataupun kesalahpahaman yang akan terjadi.

Beberapa waktu kemudian, aku mendengar kabar bahwa Radit telah putus dengan pacarnya. Ketika mendengar berita ini, dalam hatiku bertanya, “Kok bisa ya? Atau ini efek LDR mereka?” pikirku dalam hati.

Ketika bertemu Radit aku pun menanyakan kenapa mereka putus, dan jawaban yang diberikan oleh Radit cukup masuk akal. Karena jarak jauh, waktu untuk quality time tidak cukup kalau hanya lewat chatting, telepon atau SMS (ya, maklum zaman tahun itu belum tenar video call by whatsapp). Karena keterbatasan jarak yang cukup jauh, akhirnya Radit dan pacarnya memilih jalan sendiri-sendiri.

Setelah putusnya Radit, lambat laun kami semakin dekat, kami terbiasa bersama terkadang kami menghabiskan quality time untuk saling cerita, makan atapun nonton bersama. Sehingga tanpa kami sadari ternyata kami menyimpan rasa yang sama dan kami mengakui itu satu sama lain.



Sampai saat kami wisuda, aku sempat berpikir bahwa ini akan menjadi akhir dari ceritaku dengannya. Ketakutan untuk kehilangan dia sangat besar. Karena  kami hanya sebatas mengakui perasaan kami, tanpa berani memutuskan untuk bersama. Setelah lulus kuliah pun kami masih memiliki waktu untuk quality time bersama. Hingga di titik terberat saya, ketika berjuang menjadi job seeker, dia ada untuk membangkitkan semangat saya.

Hingga pada akhirya, kami bertemu dan membicarakan hubungan tanpa status ini. Kami mencoba bicara dari hati-hati untuk hubungan ini, dan kami memutuskan untuk berelasi. Walaupun kami menyadari bahwa konsekuensi dari hubungan kami adalah tidak mendapat restu orangtua, karena perbedaan keyakinan kami.



3,5 tahun kami menjalin hubungan bersama tanpa tahu arah yang jelas. Setiap kali kami membicarakan arah hubungan ini, kami selalu menemui jalan buntu. Sampailah kami di titik di mana kami lelah dengan hubungan yang semakin tidak tentu arahnya.

Januari 2017 menjadi akhir dari ceritaku. Kami bertemu setelah masa hening kami. Kami saling menceritakan pengalaman hening kami. Dan kami memutuskan untuk berpisah. Berat ketika harus mengucapkan kata pisah. Tapi itulah jalan yang harus kupilih.

Perbedaan keyakinan membuat kami harus berpisah, kami tidak ingin menikah tanpa restu dari kedua orangtua. Ketika kami bersama memulai dengan awal yang baik, maka berakhir pun kami mengakhirinya dengan baik.





(vem/nda)