Kapan punya anak?" Pertanyaan itu sekarang menjadi makanan sehari-hari bagi saya dan suami. Awalnya kami belum terbiasa dengan pertanyaan seperti itu. Namun kini, hal itu menjadi pertanyaan yang wajib kami terima, terlebih saat kebaran datang.
Kami telah mengikat janji suci sejak tiga tahun yang lalu. Seiring berjalannya waktu, pertanyaan-pertanyaan itu semakin sering kami dengar. Saat pertanyaan tersebut dilemparkan, kami hanya tersenyum manis kepada mereka dan meminta doa untuk kami. Namun, saya hanyalah manusia biasa yang hatinya terkadang sangat rapuh. Saya bukan super woman yang mampu untuk selalu berdiri tegak. Walaupun pertanyaan itu sudah sangat terbiasa di telinga, tetapi masih saja ada goresan di hati ini.
Di depan semua orang saya bisa memberikan senyum itu. Senyum terbaik saya. Namun setelah itu, saya hanya bisa sesenggukan di kamar. Hanya pundak suami tercinta yang mampu menopang segala beban ini. Beban? Ya. Pertanyaan-pertanyaan yang diberondongkan terasa sebagai beban. Terlebih bagi saya, seorang wanita biasa. Tak bisa dipungkiri, dalam masyarakat kita pihak wanita lah yang akan langsung dihakimi apabila ada sepasang suami istri yang belum kunjung diberikan anak. Wanita lah yang akan jadi korban nyinyir.
“Sudah lama nikah kok belum hamil juga?”
“Bisa nggak sih bikin anak? Masih perlu diajari?”
“Jangan cuma diam dong. Periksa sana. Ntar mandul lagi.”
“Ngapain aja kok gak hamil-hamil? Ojo mek iso mekangkang thok.”
Saya sadar bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada kami merupakan wujud rasa sayang mereka. Mereka yang sangat peduli dengan kehidupan kami. Mereka yang sangat ingin tahu dengan liku biduk rumah tangga kami. Mungkin ada juga yang tujuannya hanya untuk bercanda. Tapi itu bukanlah candaan yang lucu. Itu semua hanya menorehkan luka yang semakin dalam di hati.
Mungkin pertanyaan itu terkesan sederhana. Namun hal itu memiliki dampak yang tidak biasa bagi saya. Pernahkah mereka berpikir ketika pertanyaan itu dilontarkan akan melukai hati orang lain? Mungkin bagi beberapa orang mudah saja menjawabnya. Tetapi tidak semua orang memiliki kondisi psikologis yang sama. Terlebih saya. Saya bukan tipikal orang yang mudah menceritakan apa yang sudah kami alami, apalagi berbagi cerita yang sangat personal. Saya memiliki prinsip apapun yang terjadi dalam rumah tangga kami, cukup kami yang tahu.
Sungguh saya sangat ingin merasakan the amazing of being a Mom. Saya ingin tahu rasanya mengeluh sakit pinggang seiring dengan membuncitnya perut, nikmatnya gelombang-gelombang cinta yang datang menjelang detik-detik hadirnya si mungil, bahkan begadang demi malaikat kecil kami. Namun semua itu masih menjadi waiting list Sang Penguasa Jagad. Saat satu per satu teman seperjuangan mendapatkan jawaban dari doa-doa mereka, ada rasa bahagia sekaligus sedih saat mendengarnya. Bahagia karena mereka akan merasakan kebahagiaan yang tak ternilai dengan harta dengan hadirnya malaikat-malaikat kecil dalam keluarga mereka. Sedih, saat merasa diri ini belum bisa menjadi wanita yang seutuhnya.
Tak terhitung sudah berapa dokter yang pernah kami kunjungi. Pengobatan alternatif, akupuntur, pijat, sampai hal yang tak masuk akal pun pernah kami lakukan. Kami bersyukur karena jawaban dari mereka semua sama. WE’RE GOOD. There’s nothing wrong with us.
Kami tahu bahwa semua itu adalah rahasia Tuhan. Hanya Dia lah yang memiliki jawabannya. Hanya saja kami masih harus terus merayu agar mendapatkan kepercayaan-Nya. Kami pernah merasa Tuhan tidak adil terhadap umat-Nya. Kami yang sangat mengharapkan hadirnya tangisan bayi dalam keluarga kecil kami, belum diberikan kepercayaan oleh-Nya. Namun di sisi lain, mereka yang tak mengharapkan, malah langsung dikasih. Bahkan ada yang sampai dibuang. Astaghfirullah.
Sekarang saya dan suami lebih menikmati semuanya. Jika ada pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik itu, kami hanya menjawab, “Doakan saja agar disegerakan." Sesungguhnya setiap orang mempunyai hak untuk berpendapat. Mereka bisa berkomentar bahkan menghakimi sesuka mereka. Sekarang justru komentar, cacian, dan makian mereka yang membuat kami menguatkan satu sama lain. Dia yang selalu menggenggam erat tangan ini saat hati mulai rapuh.
Satu hal yang tak pernah kami lupakan adalah bersyukur. Bersyukur atas napas yang masih berhembus sampai sekarang. Bersyukur memiliki keluarga dan sahabat yang selalu memberikan support tak terhingga. Bersyukur atas segala nikmat yang tak terhitung. Kami yakin bahwa He is the best planner. Semua akan indah pada waktunya. Everyone has his/her own right times.
Satu hal yang harus dipahami bahwa jodoh, rezeki, dan kematian adalah hak prerogatif Sang Penguasa Langit dan Bumi. Kalau mereka bertanya kepada manusia, percuma. Tak kan menemukan jawaban apa pun. Ketiga hal ini sudah ditetapkan Sang Pencipta dari sebelum kita lahir. Manusia tidak dapat mengubahnya. Tugas kita hanya berikhtiar dan berdoa, selebihnya campur tangan-Nya.
Teruntuk para nyinyiers, doa kalian lebih kami butuhkan saat ini. Siapa tahu semakin banyak yang mendoakan, semakin banyak anak kami. Siapa tahu nanti langsung dikasih kembar dua atau tiga. Hehehe. Dibantu yaaaak! Bantu kami merayu-Nya agar segera diberi kepercayaan, daripada nanya “kapan".
- Pernikahan Bukan Undian, Tak Bisa Sembarangan Asal Pilih Pasangan
- Trauma Kekerasan di Masa Lalu Bisa Membuat Wanita Takut Jatuh Cinta Lagi
- Meski Seumuran Waktu Sekolah, Takdir Menikah Belum Tentu Sama
- Menjalin Hubungan Jangan Cuma Asal 'Jalani Dulu' Tapi Juga Perlu Kepastian
- Ejaan Cantik Itu Bukan K-U-R-U-S, Iya Kan?
(vem/nda)