Merawat Ibu, Memaknai Pengorbanan dan Keikhlasan

Fimela diperbarui 31 Agu 2018, 16:00 WIB

Apa itu pengorbanan jika kamu masih mempertimbangkan dampak baik buruknya bagimu? Apa artinya berkorban jika kamu masih punya pikiran apakah akan menyesal dan menyalahkan dirimu sendiri nantinya? Pengorbanan seharusnya tidak bisa diukur, sebab ia sudah jelas memiliki skala mutlak yaitu ikhlas.

Aku tidak melakukan sebuah pengorbanan karena ada alasan aku melakukannya. Aku berkorban karena pengorbanan yang telah ia berikan jauh lebih besar, berlipat-lipat hingga aku pun tak mampu menghitung berapa kali ia sudah berkorban.

Ibuku, seorang pensiunan yang jatuh sakit 2 bulan sebelum dipensiunkan. Sakitnya menjadi benar-benar parah saat aku baru akan menempuh ujian akhir semester ganjil. Aku pulang-pergi dari kampus, rumah, dan rumah sakit rutin kulakukan selama 21 hari. Aku kehilangan banyak waktu senggangku, pikiranku, bahkan ujian susah payah kukerjakan dengan berpura-pura lupa pada cobaan yang tengah menimpa keluargaku, pada ibuku.



Bahkan ayahku berulang kali selalu bilang, “Jangan pikirkan apapun, fokus saja pada ujianmu.” Bagaimana bisa? Ketika hari-hari seorang anak diisi dengan pemandangan ibunya yang setengah sadar, setiap hari melihat gurat wajahnya yang kaku, kaki dan tangannya bengkak karena 3 cairan infus dimasukkan dalam tubuhnya, dan sesekali hanya bisa berkedip matanya di sebuah ruang dingin berlabel ICU. Setiap sore, setiap hari, sampai suatu ketika tangannya mengalami tremor. Tangan ibuku bergerak-gerak sendiri, menghalau infus bahkan menjatuhkan cairan itu ke mana-mana. Aku rapuh, sedih, dan sakit sekali membayangkan yang bukan-bukan ketika keadaan ibuku terus saja menurun.

Aku menjadi perawat kedua bersama kakakku. Syukurlah ayahku meminta paksa agar ibuku dijauhkan dari bisingnya suara monitor yang selama 2 hari mengabarkan duka di ruang ICU tempat ibuku dan pasien-pasien lain dirawat total, ibuku berangsur-angsur pulih.

Hanya aku merasa ibuku bukan ibuku yang biasanya. Ia seperti orang lain—bahkan memanggilku dengan sebutan lain, seperti mbak. Setiap pagi ibuku harus mendapat kurang lebih 5 suntikan. Aku ikut memegangi tangannya agar tidak meleset dari urat nadinya ketika disuntik. Tapi ibuku justru membenciku, berhari-hari.



Ibuku bertingkah seperti anak kecil, hingga suatu saat aku bertanya padanya tentang kenapa ibuku sedih dan marah padaku. Dia bilang, “Anakku belum selesai,” katanya dalam bahasa Jawa kental yang artinya belum selesai kuliah, belum mendapat kerja, dan masih bergantung padanya.

Aku bilang pada ibuku aku sedang mencari part time online yang bisa kukerjakan sambil merawatnya. Tapi ibuku hanya tertawa, merasa itu tidak mungkin. Alhamdulillah setelah 1 minggu mendaftar, aku diterima di part time itu walaupun hasilnya kecil tapi ibuku ikut senang.

Berangsur-angsur, pelan-pelan ibuku memulih. Aku berusaha keras ikut berbagai macam kegiatan dan berlomba-lomba mendapat nilai baik hingga mendapat beasiswa berprestasi dari kampus, semua kulakukan bukan pengorbanan hanya sebatas balasan rasa terima kasihku karena ibu berhasil pulih, terima kasih ibu. Aku akan terus berusaha menjadi orang sukses kelak dan lihatlah aku, ibu adalah saksiku.

(vem/nda)
What's On Fimela