Ada 'Monster' yang Bersarang di Kepalaku

Fimela diperbarui 29 Agu 2018, 19:30 WIB

Di usiaku yang hampir memasuki angka 19 ini aku selalu merasa hal yang kulakukan di tiap hari hanyalah buang-buang waktu. Aku seorang mahasiswi yang menjalani hari-hari dengan setia menunggu kehadiran dosen di ruang kelas yang asing bagiku. Ruang kelas itu sungguh dingin dan tidak berwarna. Hanya dipenuhi oleh meja dan kursi sebagai pasangannya, papan tulis putih dan proyektor yang menandakan sebagian tugas kami adalah presentasi.

Sebagian orang sangat bersemangat untuk memasuki ruangan ini, sebagian lainnya berharap mereka bisa memasuki ruangan ini dan sebagian kecilnya lagi berusaha untuk mendorong langkah kakinya agar bisa memasuki ruangan ini dengan tujuan untuk membuang waktu dengan harapan, “Setidaknya aku masih bisa hidup untuk sehari lagi.” Terdengar tidak waras dan kesannya tidak bersyukur atas kesempatan yang diterima, tapi apabila anda sekalian mendengar ceritaku dengan seksama mungkin anda bisa memaklumi hal itu.



Aku mengalami depresi. Depresi yang cukup berat hingga ada satu saat aku berencana untuk mengakhiri hidupku yang sia-sia ini. Memang bunuh diri bukanlah solusi yang terbaik untuk masalah yang kumiliki hanya saja itulah yang dapat terpikirkan olehku dan dapat kulakukan dengan keberanian yang mantap. Lalu dengan refleks kupandang sekeliling kamarku memikirkan cara terbaik untuk mengakhiri kehidupanku ini. Aku menoleh ke meja belajarku. Gunting, pulpen, penggaris besi, cutter, staples. Semua benda-benda tersebut terlihat tajam dan menyakitkan. Aku mengurungkan niatku. Aku berkata tidak dan bertekad untuk mengakhiri hidupku dengan cara yang lembut. Aku tak ingin tubuhku terluka dan menyisakan bekas siksaan yang kubuat sendiri.

Aku menoleh ke langit-langit. Mungkin akan lebih mudah kalau aku menggantungkan diri saja. Aku mencari tali, ikat pinggang, kabel, semua hal yang dapat dililitkan pada diriku. Sayangnya, aku tak memiliki alat seperti itu. Aku kembali mengurung niatku. “Mungkin hari ini bukanlah saatnya.”



Aku merebahkan tubuhku ke kasur dan mendapati dinding putih sebagai pemandangan untuk kedua alat penglihatanku. Aku menghela napas yang cukup panjang dan berusaha untuk menenangkan diriku. Tanpa disadari setetes air mata turun membasahi pipi kananku. Sedetik kemudian pipi kiriku juga mulai dibasahi oleh tetesan air mata. Di detik kedua, kesedihan mulai melanda hatiku. Aku tak bisa menjelaskan kesedihan macam apa yang sedang melanda diriku. Aku bahkan tidak mengerti arti dari tetesan air mata ini. Aku hanya bisa meluapkan semua keanehan tersebut dengan tangisan.

Aku menangis terus dan terus. Mataku sekarang terasa bengkak. Tenggorokanku sakit akibat teriakan tak berarti. Tubuhku terbaring lemas tak mengerti dengan apa yang kurasakan sekarang. Semuanya terlihat hitam putih, tak berwarna seperti kehidupanku yang payah ini. Aku berusaha dengan sekuat tenaga untuk bangkit, mengambil ponselku dan memencet sebuah nama.
“Halo, Dek?”
“Mama… ”
“Iya, kenapa, Dek? Ini Mama lagi masak buat makan malam. Adek udah makan?”
“Udah, Ma. Ini baru selesai makan sama teman”
Aku berbohong lagi. Aku tidak makan dan tidak punya teman. Seorang pun tidak ada. Tidak ada yang mau menjadi temanku dan tidak ada yang mau mendengarkanku. Hanya depresi inilah yang dengan setia menemaniku.

“Dek?”
“Ya, Ma?”
“Kok diam sih? Cerita dong sama Mama.”
“Nggak kok, Ma. Nggak ada apa-apa. Ini tadi lagi mikirin tugas”
“Oooo banyak ya tugasnya? Capek nggak kuliahnya? Kalau capek dan nggak tahan, pulang aja Dek. Nggak masalah bagi Mama.”
“Nggak kok, Ma. Seru kok kuliahnya. Mama jangan khawatir deh. Adek bakalan pulang rumah kalau udah meraih gelar sarjana.”
“Baguslah. Mama terharu dengarnya, yang semangat ya, Dek. Kalau ada apa-apa cerita ke Mama aja. Udah ya, Mama mau lanjut masak nih.”
“Iya Ma, bye.”

Aku sungguh menyedihkan. Hanya mati yang selalu terpikirkan olehku. Tidak pernah sekalipun aku coba berpikir apa yang dirasakan oleh orangtuaku. Aku hanya ingin semuanya berakhir dengan cepat dan aku ingin menyelesaikan semua ini. Tapi bukankah ada cara lain selain bunuh diri?



Secara refleks aku menghapus semua tetesan air mataku yang sudah berantakan di wajah. Membilas mukaku dengan air dan melihat refleksiku di kaca. Betapa sedihnya raut wajahku itu. Jarang ada yang mengira bahwa aku baru 19 tahun. Dari raut wajahku itu banyak yang mengira aku berada di usia 29 tahun. Usia di mana kesusahan telah menjadi makanan sehari-hari.

Untuk kesekian kalinya, kubilas mukaku dengan air dan bergegas keluar. Aku berjalan tanpa arah hanya untuk menghirup udara segar. Ada saat di mana aku merasa bersyukur atas hidup ini dan inilah saatnya. Walau aku tahu temanku yang bernama depresi dapat menyerangku kapan saja, aku akan tetap bertahan. Aku tidak semudah itu untuk mengakhiri hidupku. Aku akan terus berjuang dan berjuang agar tetap hidup agar tetap menang dalam segala pertempuran yang dilemparkan oleh depresiku ini. Aku akan tetap berjuang. Aku akan tetap hidup.

(vem/nda)