Tetap Setia Hingga Napas Terakhir Meski Pernikahannya Tak Bahagia

Fimela diperbarui 29 Agu 2018, 10:45 WIB

Teh Nirmala (nama samaran), begitulah aku memanggilnya. Dia sudah seperti kakak kandung bagiku. Ayah dan Ibu pun sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Ya, Teteh telah menjadi bagian dari keluargaku. Dia adalah sosok wanita lembut, penyayang, dan cerdas. Dan darinya pula aku banyak belajar tentang membentuk kepribadian baik. Terutama yang berkaitan dengan ketaatan pada-Nya.

Curhat dengan teh Nirmala itu selalu terasa adem akhirnya. Itulah mengapa aku kerap mendatanginya setiap butuh nasihat atau pun energi positif darinya. Sayangnya hal itu tidak bisa kudapatkan lagi sejak Teteh menikah dan pindah ke Purwakarta. Ada rasa bahagia dan juga sedih. Bahagia karena akhirnya Teteh dipertemukan dengan penyempurna separuh agamanya, setelah beberapa kali mendapat penolakan saat proses ta’aruf, dengan alasan-alasan yang aneh menurutku. Dan sedih karena tak bisa lagi sesering dulu untuk bersamanya. Namun aku harus ikhlas. Karena teh Nirmala Pantas dan berhak bahagia.



Pernikahan sejatinya adalah gerbang baru menuju kebahagiaan. Tetapi hal itu tak terlukis di wajah Teteh. Lima bulan setelah pernikahannya, kami baru sempat berkunjung ke Purwakarta bersama Ibunya. Saat itu aku sangat senang karena bisa bertemu dengan Teteh kesayangan lagi. Namun ada yang aneh di rumah itu. Aku paham betul karakter Teteh. Dan aku merasa rasa bahagia yang ditunjukkannya saat itu seperti dipaksakan. Sang suami pun tampak mencurigakan. Kuperhatikan dia tidak pernah berbicara banyak dengan Teteh. Jika pun berbicara,ia tak pernah menatap wajah istrinya. Tampak seperti orang yang membenci. “Ya Allah apa yang sedang terjadi?” batinku saat itu.

Rasa penasaran menggerakkanku mencari tahu. Selang dua minggu setelah kunjungan itu, aku kembali ke Purwakarta tanpa sepengetahuan siapapun, termasuk teh Nirmala. Dua hari pengintaian telah cukup menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan Teteh saat itu. Aku benar-benar marah, benci, sakit hati, dan ingin rasanya berteriak sekencangnya saat itu.

Suaminya sama sekali tidak menganggapnya sebagai istri. Tetapi Teteh selalu berusaha menjadi istri yang baik dengan tetap melayani semua kebutuhan suaminya. Tanpa mengeluh. Meskipun terkadang apa yang dilakukannya tak dihargai. Bagi teh Nirmala suaminya tetaplah seseorang yang harus ditaati dan hormati. Karena agama mengajarkannya begitu.  

Di satu sisi dia juga harus menolong orangtuanya yang kurang mampu. Dan pernikahan itu adalah jalan baginya. Karena saat itu pihak keluarga lelaki menawarkan bantuan keuangan, dengan syarat Teteh mau menikah dengan anak mereka dan mengajarinya ilmu agama. Karena ternyata suaminya pernah terlibat lingkungan negatif.



Kurang lebih setahun teh Nirmala bertahan hidup dengan suaminya yang tak menganggap dirinya ada. Hingga berita duka itu kami terima melalui saluran telepon di sore hari. Penyakit Anemia Hemolitik memaksanya berpulang ke pangkuan Illahi Robbi lebih dulu dari kami. Mungkin inilah cara-Nya membebaskan Teteh dari beban perasaannya, yang harus menerima kenyataan pilu menjadi istri yang tak dianggap, hanya karena tak berparas cantik. Mungkin bagi Allah kesetiaan dan bakti Teteh pada sang suami sudah cukup membuktikan bahwa ia adalah sosok istri mulia.

Sebuah buku biru berisi catatan-catatan Teteh yang kami temukan saat mengemasi barang-barangnya sungguh membuat hati pedih. Sebegitu berat beban perasaan yang harus ditanggungnya. Yang harus disembunyikannya agar tak mengecewakan orang-orang yang mendukungnya, di hari ijab qabul terucap.

Selamat jalan Teteh tersayang. Semoga pengorbananmu mendapat balasan kebaikan dari-Nya. Terimakasih, karena Teteh telah mengajarkan banyak hal tentang hidup. Semua nasihatmu akan selalu kubawa dalam setiap jejak langkahku.

(vem/nda)