Divonis kanker pastinya jadi pukulan terberat dalam hidup. Tapi berjuang untuk tetap menjalani hidup dengan sebaik-baiknya tetap bisa jadi pilihan yang terbaik. Seperti kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini.
***
Berbicara tentang pahlawan dalam hidup, izinkan aku untuk memilih diriku sendiri sebagai pahlawan tersebut. Ya, akulah pahlawan bagi diriku sendiri.
“Suspect kanker kelenjar getah bening,” ucap dokter Akbar begitu beliau selesai membaca hasil tes lab-ku sore itu. Aku menjatuhkan diri pada sandaran kursi pasien di ruang praktek dokter tersebut. Berat. Seperti ada beban berjuta ton yang menimpa tubuhku kala itu.
“Kanker, Dok?" tanyaku lirih. Sang dokter hanya menganggukkan kepala dengan raut muka memelas.
“Berapa tahun lagi saya bisa hidup, Dok?” tanyaku.
“Maksimal 5 tahun jika disertai dengan penanganan medis yang tepat.”
Aku semakin terlempar jauh ke dalam jurang keputusasaan. Kupejamkan mataku sejenak menahan tangis yang nyaris pecah. Bayangan kematian yang mengenaskan diiringi derai air mata orang-orang yang kusayangi berkelebat di kepalaku.
Bayangan perpisahan antara aku dengan orangtuaku, keluargaku, teman-temanku juga Ridho, kekasihku semakin membenamkan harapanku. Apalagi jika harus mengingat rencana pernikahan yang selama ini selalu kami impi-impikan. Ya Allah, aku takut.
Ridho merangkul erat tubuh ringkihku begitu kami keluar dari ruang praktek dokter Iwan. Laki-laki yang setiap waktu kubayangkan akan menjadi suamiku kelak itu tampak berusaha mengerti sekaligus juga menenangkan kerisauan hatiku. Aku hancur. Namun, aku yakin dia jauh lebih hancur berkeping-keping. Aku menengadahkan wajah menatapnya. Aku cinta kamu, Dho. Batinku.
“Sayang, kamu mimisan lagi!” ucap Ridho lalu buru-buru mengambil tisu dan menyeka cairan merah yang mengalir perlahan keluar dari lubang hidungku. Kurasakan sentuhan tangannya sedikit bergetar.
“Tolong jangan cerita masalah ini kepada siapapun. Termasuk orangtuaku sekalipun,” ucapku yang hanya dijawab dengan tatapan sayu Ridho. Tatapan matanya saat itu... ah, sungguh tidak mampu kuungkapkan dengan kata-kata.
“Aku sayang kamu, Dho. Tapi, kalau kamu merasa ini terlalu berat, kamu boleh pergi.”
“Ada dua hal yang harus kamu yakini dalam hati. Pertama, kamu pasti sembuh. Kedua, aku tidak akan pernah pergi meninggalkanmu," ucap Ridho sambil menyeka hidungku yang ajaibnya mampu menjadi sumber kekuatan besar bagiku saat itu, bahkan hingga kini. Barangkali inilah yang dinamakan cinta. Memang, ada begitu banyak pendefinisian tentang cinta di dunia ini. Namun, bagi kami berdua cinta itu menguatkan.
Perkenalkan, aku Ina. Seorang gadis dua puluhan yang pada 2017 lalu divonis menderita penyakit kanker kelenjar getah bening stadium 2. Ada dua hal yang akan kamu rasakan ketika dokter memberikan vonis kanker. Pertama, kamu tidak pernah menyangka. Kedua, kamu tidak tahu apa yang harus kamu lakukan.
Aku sudah memasuki semester 8 di kampus ketika vonis itu dijatuhkan kepadaku. Sungguh, tidak pernah terbayang sebelumnya bahwa aku harus menghadapi penyakit mematikan itu justru pada detik-detik terakhirku di bangku perkuliahan. Kondisiku yang kian hari kian melemah itu pada akhirnya memaksaku untuk mau tidak mau cuti sejenak dari seluruh kegiatan perkuliahan.
Saat itu, dokter sudah berulang kali menyarankan agar aku segera melakukan operasi sekaligus kemoterapi, radiasi bahkan transplantasi sumsum tulang belakang untuk mencegah penyebaran sel kanker di tubuhku yang semakin meluas. Namun, aku menolaknya. Selain relatif lebih aman, pertimbangan biaya pun menjadi latar belakang keputusanku tersebut.
Sebenarnya, aku sudah mencoba mencari dana talangan melalui beberapa lembaga asuransi kesehatan swasta. Namun, sayang SPAJ (Surat Pengajuan Asuransi Jiwa) yang kuajukan ditolak mentah-mentah dengan alasan kondisi kesehatanku yang dipandang sangat berisiko dan tidak potensial untuk dijadikan sebagai nasabah. Sungguh ironi memang. Bahkan sebuah lembaga yang konon memiliki visi dan misi untuk memberikan perlindungan kepada sesama manusia yang membutuhkan sekalipun, masih saja mempertimbangkan faktor untung dan rugi dalam pelaksanaannya.
Pernah juga aku mencoba mencari informasi terkait program asuransi kesehatan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang diselenggarakan oleh pemerintah. Namun, begitu melihat realita sistem dan pelayanan pasien BPJS di sebuah rumah sakit daerah di tempatku yang terkesan kurang maksimal dan profesional, aku langsung urung seketika.
Kanker benar-benar telah mengubah semua sendi kehidupanku. Setiap hari, setiap detik perubahan demi perubahan itu aku rasakan. Berat badanku kian hari kian menurun. Aku bahkan tidak berani lagi mandi dengan menggunakan sabun batangan.
Aku tidak cukup berani untuk menerima kenyataan bahwa kini tubuhku hanya tinggal tulang berbalut kulit saja. Aku juga terpaksa harus mengenakan pakaian berlapis-lapis tiap kali akan keluar dari rumah agar orang-orang tidak curiga dan menanyakan kondisiku sekarang. Aku lelah harus mengulangi lagi cerita yang sama dari waktu ke waktu. Lagipula, aku sama sekali tidak ingin kelihatan payah sehingga layak untuk dikasihani oleh siapapun.
Aku memang takut. Namun, ketakutan itu tidak sebanding dengan keyakinanku kepada Allah. Aku yakin, Allah memberikan ujian ini karena Allah tahu aku pasti bisa melaluinya. Jika ada tiga tahapan psikologis pasca vonis kanker yakni penolakan, tawar-menawar dan penerimaan, insyaaAllah aku sudah mulai bisa berdiri tegak pada posisi ketiga. Penerimaan. Aku, secara perlahan mulai meyakinkan diriku sendiri bahwa aku bisa melakukan semuanya bersama kanker ini.
Alhamdulillah, meski hanya dengan pengobatan alternatif herbal kondisiku sekarang sudah jauh lebih baik dan sudah mulai bisa beraktivitas kembali seperti sebelumnya. Kuliahku, skripsiku, rencana pernikahanku, semuanya. Hanya ada satu doa yang setiap saat kupanjatkan kepada Allah, “Ya Allah, dampingilah aku. Jangan biarkan aku seorang diri menghadapi semua ini.”
- Bekerja untuk Kemanusiaan Tanpa Mempedulikan Angka-Angka di Ijazah
- Suami Tidak Memanusiakan Aku dan Anak-Anakku, Dia Malah Nikah Lagi
- Meski Tak Siap Hadapi Cobaan, Selalu Ada Pilihan untuk Bertahan
- Menghapus Trauma dan Kesedihan untuk Menciptakan Senyuman
- Untuk Fokus pada Hal yang Lebih Penting Memang Harus Mengorbankan Sesuatu
(vem/nda)