Cerai dari Suami yang Selingkuh, Aku Harus Kuat demi Ibu dan Ketiga Anakku

Fimela diperbarui 25 Agu 2018, 14:30 WIB

Bercerai dari suami yang ketahuan selingkuh. Membesarkan tiga anak sendirian. Hingga merawat ibu yang sedang sakit. Semua itu butuh pengorbanan besar. Tapi demi membahagiakan orang-orang tercinta, akan selalu ada kekuatan yang didapat untuk bertahan. Seperti kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini.

***

Barangkali, orangtuaku memberiku nama Dian, yang artinya kurang lebih pelita, agar kelak aku dapat memancarkan cahaya bagi orang-orang tercintaku. Aku lahir dari keluarga sederhana dan sejak kecil terbiasa hidup cukup prihatin.

Saat menginjak bangku kuliah, aku memutuskan bekerja di sela-sela waktu kuliahku, misalnya dengan menjadi Sales Promotion Girl (SPG) bisnis properti dan sebagainya, hingga menjelang wisuda. Meski perjalanan studiku tidak mudah, aku lulus dari PTN dengan predikat sangat memuaskan. Lulus kuliah aku langsung mengajar di salah satu sekolah negeri favorit di kotaku.

Selang beberapa bulan kemudian, pada usia 23 tahun, aku memutuskan menerima pinangan mantan kakak angkatanku sewaktu kuliah dulu. Aku pikir, dengan menikah setidaknya aku tidak lagi menjadi beban bagi ayah dan ibuku. Semua berjalan lancar dan wajar, hingga masalah demi masalah mulai muncul, dari yang ringan hingga yang teramat berat.

Semakin lama sifat pasangan hidupku semakin jauh dari harapan. Tanggung jawab terhadap rumah tangga dan ketiga anak kami sudah tidak lagi menjadi prioritas suamiku. Dia terlalu sibuk dengan dunianya. Aku tidak mungkin bisa bertahan dalam kondisi yang tidak memberiku ruang sehat untuk berkembang sebagai istri dan ibu bagi anak-anakku. Aku merasa berhak hidup dengan baik dan berhak mendapatkan rasa hormat dari pasangan.

Pada Agustus 2007, ayahku meninggal dunia. Sejak Ayah tiada, kehidupan rumah tangga kami semakin tidak sehat. Masalah demi masalah terus berdatangan. Segala upaya telah kami coba untuk bertahan. Akibat ulah dan utang-utang suamiku, rumah dan mobil kami harus dijual. Belakangan pun dia ketahuan berselingkuh dengan perempuan lain. Pada titik itulah aku merasa harus menyerah. Aku lelah dengan keadaan itu. Puncaknya, aku pun merasakan bagaimana sakitnya menjadi korban KDRT ketika kami mulai sering bertengkar. Akhirnya aku mengajukan gugatan cerai, bahkan hingga dua kali.

Setelah 13 tahun hidup bersama, kami pun berpisah. Menjadi orangtua tunggal pastilah bukan cita-cita siapa pun. Bukan pula hal yang mudah untuk dilalui. Seluruh perilaku kita rasanya seolah menjadi bahan pergunjingan orang.

Aku mulai menata hidupku. Aku membawa anak-anakku yang tengah dan bungsu pindah ke rumah ibuku. Anak sulungku kumasukkan ke pondok pesantren setelah lulus SD, yang nomor dua masih duduk di bangku TK, sedangkan si bungsu, satu-satunya anak perempuanku, masih berusia 3 tahun waktu itu. Membesarkan tiga anak sendirian sungguh tidak mudah. Aku mulai tidak punya waktu untuk diri sendiri. Anak-anak menjadi prioritas sehingga seluruh tenaga, pikiran, dan waktuku kuberikan untuk anak-anak.

Mencukupi kebutuhan si sulung selama belajar di pondok pesantren juga tidak ringan dan membutuhkan biaya tidak sedikit, tetapi syukurlah Tuhan selalu memberiku jalan untuk memenuhi semuanya sendirian. Aku juga harus menyiapkan yang nomor dua untuk masuk SD, dan membiayai si kecil untuk masuk TK.

Bagiku anak-anak adalah nomor satu. Mereka berhak mendapatkan yang terbaik, sebab di jauh di lubuk hati aku merasa bersalah terhadap ketiganya. Aku tak bisa memberikan keluarga yang sempurna.

Dua tahun setelah aku berpisah dari suamiku, suatu hari di bulan Agustus, ibuku jatuh sakit. Beliau didiagnosis terkena stroke dengan kerusakan sel otak kanan 80% saat itu. Dari Unit Gawat Darurat, ibuku dibawa ke rumah sakit besar yang lebih memadai. Di sepanjang perjalanan ke sana, hanya ada sopir ambulans, seorang perawat, dan aku yang memegangi infus Ibu. Hatiku nelangsa. Dunia seolah runtuh di atas tubuhku. Kepalaku seolah akan pecah memikirkan bahwa mulai saat itu aku harus bertanggung jawab seorang diri atas kondisi ibuku.

Begitulah. Waktuku sehari-hari menjadi semakin padat. Jam 7 pagi aku sudah berada di rumah sakit hingga jam 8 malam. Setelah itu aku baru pulang karena harus mengurus anak-anak di rumah. Setelah dirawat selama dua minggu, dengan biaya hingga puluhan juta, Ibu diperbolehkan pulang, karena memang sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan.

Dokter bilang kemungkinan kembali normal sangatlah kecil. Tidak ada tanda-tanda kondisi Ibu akan membaik. Itu artinya aku harus merawat Ibu yang lumpuh di sepanjang sisa usianya. Malam itu, malam pertama Ibu kembali ke rumah dalam kondisi lumpuh, ketika anak-anak sudah tidur, aku menutup pintu pagar sambil menatap langit yang gelap, merasa sangat sendirian dan kesepian. Kini aku harus menjadi ujung tombak tunggal keluargaku. Ya Tuhan, betapa luar biasa hidup yang Kau gariskan untukku. Tengah malam itu, aku menangis lama di pojok pintu kamar.

Pada minggu-minggu awal, Ibu mencoba menyesuaikan diri dan belajar menerima keadaannya yang lumpuh. Ibu juga sering sekali membuatku putus asa, misalnya mengeluhkan makanan yang tidak sesuai, meminta ini-itu, dan semuanya menguji kesabaran luar biasa dariku.

Pernah, suatu malam, aku harus mengganti popoknya hingga 8 kali, kemudian malam berikutnya menyuapinya jam 12 malam saat beliau merasa lapar, sementara pagi harinya aku harus bersiap pergi bekerja. Hari berganti menjadi bulan, bulan menjadi tahun, hingga kini tiga tahun sudah aku merawat Ibu semampuku, dengan tenaga yang kupunya, sambil tak lupa tetap mengurus segala keperluan anak-anakku. Aku nyaris tidak punya waktu untuk diri sendiri. Kantong mata pun mulai terlihat.

Kita memang tidak bisa memilih jalan hidup, tetapi ketika Tuhan yang memilihkan, kita harus yakin bahwa ada sesuatu yang istimewa yang Dia siapkan untuk kita, entah di bagian jalan hidup yang mana.Tentu saja beberapa kali aku mengalami keputusasaan luar biasa. Bagaimanapun toh aku hanya manusia biasa, perempuan yang semestinya tidak perlu mengangkat galon, mengecat tembok, memanjat-manjat sendiri untuk membetulkan antena televisi.

Sama dengan banyak perempuan lain, aku menyimpan banyak sekali harapan, menginginkan kehidupan normal dan layak. Aku sama sekali tidak bermaksud bersikap kurang bersyukur. Tapi, bukankah kita semua memiliki sisi manusiawi ketika kita lelah dengan keadaan? Apakah salah seorang manusia sesekali mengeluh ketika dia sedang terpuruk?

Aku berusaha sering menghabiskan waktu dengan teman-teman dekat yang berpandangan dan bersikap positif, yang dapat kumintai pendapat, nasihat, dan agar ketika aku lelah dengan keadaanku ada orang yang selalu mengingatkan. Meskipun berat menjalani semua ini, nyatanya anak-anakku tetap tumbuh dan bersekolah dengan wajar. Mereka bisa menerima keadaanku, keadaan keluarga kami, yang mungkin berbeda dari kebanyakan teman mereka.

Nyaris tanpa kusadari, nyatanya aku tetap sanggup menjalani takdirku. Menerima sepenuhnya kehendak Tuhan, tetap berharap dapat merasakan bahagia yang semestinya, dan merasa tenang tanpa perasaan berdosa ketika sedang jauh dari anak-anak atau Ibu karena sesuatu hal.

Sekarang ibu sudah tidak seperti dulu lagi. Badannya semakin kurus. Bahkan daya ingatnya menurun drastis. Aku paling bersedih ketika kuusap tangannya dan bertanya, “Ibu, aku siapa?” Ibu hanya menatapku dan membisu. Berbeda dengan tahun lalu, ketika kutanyakan hal yang sama, Ibu akan menjawab, “Kowe bocah ayu,anakku. Rambutmu bagus dan wangi,” ucapnya lirih sambil mengelus rambut panjangku.

Ya Tuhan, muliakanlah ayahku di surga-Mu dan sayangilah ibuku selalu seperti mereka menyayangiku sejak kecil. Aamiin.

(vem/nda)
What's On Fimela