Ibu Mertua adalah Panutanku Menjadi Perempuan Kuat

Fimela diperbarui 24 Agu 2018, 14:30 WIB

Hubungan ibu mertua dan menantu perempuan tak selalu buruk. Bahkan bisa sangat dekat dan hangat. Seperti kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini.

***

Beliau bukanlah wanita yang melahirkanku namun beliau sudah seperti ibuku sendiri. Beliau adalah ibu dari suamiku. Awal aku menikah, ada perasaan takut kepada ibu mertuaku. Stigma yang beredar dan sering terdengar serta beberapa fakta yang kutemui bahwa menantu perempuan dengan ibu mertuanya kebanyakan sering “tidak akur”.

Namun aku beruntung hal tersebut tidak menimpa padaku, entah karena aku yang memang cepat beradaptasi atau memang beliau yang banyak memaklumi kekuranganku. Sebagai anak perempuan yang sejak menikah tinggal jauh dari orangtua kandung, aku mulai mencoba makin mandiri. Aku banyak belajar dari ibu mertuaku dalam segala hal.



Ibu mertuaku adalah pahlawanku sejak aku berumahtangga. Berkali-kali pengorbanannya begitu tulus diberikan kepadaku. Dua kali aku menjalani persalinan anak-anakku, beliaulah yang sengaja datang dari kampung untuk mendampingiku dengan setia serta mengurus semua keperluanku pasca melahirkan. Maklumlah waktu itu ibu kandungku tidak bisa datang dari kampung dikarenakan ibuku masih bekerja sebagai seorang guru.

Selesai melahirkan dan masa cuti berakhir, muncul masalah baru mengenai pengasuh bayi. Waktu itu banyak sekali berita banyaknya Asisten Rumah Tangga atau Babysitter yang berlaku kasar terhadap anak majikannya, untunglah ada beliau yang dengan kasih sayangnya ikut mendampingi dan menjaga anak-anakku di rumah selama aku bekerja, sehingga pada masa itu aku tidak was-was meninggalkan anak di rumah bersama ART. Beliau kembali lagi ke kampung saat anak-anakku sudah memasuki masa Taman Kanak-Kanak (TK).



Pengorbanan beliau tak hanya sampai situ saja. Meski beliau adalah perempuan yang tidak mengenyam pendidikan pada zamannya, namun begitu mendukung terhadap pendidikan anak-anak dan menantunya. Aku dan suamiku dapat menyelesaikan pendidikan sampai jenjang pascasarjana juga berkat doa dan dukungan semangat dari beliau. Bagi beliau, anak-anak harus lebih tinggi pendidikan dari orangtuanya. “Sekolah yang tinggi Nak, jangan kayak ibu, yang nggak pernah sekolah," demikian katanya waktu itu.

Ibu mertuaku, Ibu Maryam binti Damiri adalah sosok ibu tangguh yang kukagumi. Di masa mudanya sebelum menikah beliau ikut orangtuanya mengurus beberapa kebun orang, setelah menikah mengurus rumah tangga dengan 8 anak, mengurus suaminya yang sempat sakit dan berbagai pekerjaan lain yang menurutku sangat berat bagi seorang wanita.

Beliau selalu bilang, “Perempuan harus kuat, tidak boleh mengeluh," begitu yang diucapkannya bila kutegur untuk istirahat dan mengurus badan sendiri. Saat beliau sedang tinggal bersama kami, tangannya tak pernah diam, ada saja yang dikerjakannya, seperti tidak betah untuk berdiam diri. Ada saja makanan kudapan yang dibuatnya dan disajikan kepada kami, sementara aku sendiri sering malas, apalagi kalau pulang dari kantor dan sudah capek ingin rasanya istirahat saja.



Beliau benar-benar wanita yang tegar dan tangguh. Sayang, penyakit kanker payudara stadium 4 yang mulai diidapnya sejak November 2015 membuatnya menderita.

Kami paksa ibu untuk tinggal bersama kami untuk menjalani terapi di kota besar. Berbagai terapi dijalaninya untuk dapat mempertahankan kualitas hidupnya. Namun perjalanan penyakit kanker tidaklah seperti penyakit influenza biasa, kondisi beliau menurun drastis 2 tahun kemudian, sejak Oktober 2017 tidak bisa berjalan lagi dan menghadap Yang Maha Kuasa pada 14 Desember 2017.



Sedih rasanya kehilangan beliau, belum lama aku merawatnya, belum puas rasanya berbakti kepada beliau dan belumlah lunas kami membalas jasa-jasa pengorbanannya. Semoga Sang Ilahi Yang Maha Pengasih selalu merahmati beliau di alam kuburnya, aamiin.


                    
    (vem/nda)