Istri Bekerja di Luar Rumah, Berbagi Peran dengan Suami Itu Penting

Fimela diperbarui 23 Agu 2018, 13:45 WIB

Setelah menikah, suami istri memang harus bisa berbagi peran dengan baik. Berbagi peran tanpa menakar atau menghitung-hitung pengorbanan siapa yang lebih besar. Seperti kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini.

***

Impian setiap wanita selalu sama. Jika ada yang berbeda, pastilah ujungnya sama juga. Menikah dan memiliki keluarga yang bahagia. Gambaran keluarga ideal seperti dalam iklan susu atau sereal pasti terpatri dalam benak Anda, para wanita. Termasuk saya. Suami dengan karier bagus (pegawai kantoran), anak-anak yang lucu dan cerdas, dan kita, menjadi istri serta ibu yang serba bisa.

Namun hidup bukanlah iklan susu atau sereal. Kita tidak akan pernah menyangka siapa jodoh kita dan bagaimana nasib keluarga kita. Di keluarga kami, saya lah yang menjadi tulang punggung dengan bekerja di luar rumah. Kebetulan sejak sebelum menikah, saya sudah diterima bekerja di sebuah media elektronik yang bagus dengan nilai gaji yang lumayan. Sementara suami, karena faktor latar belakang pendidikan, agak sulit memperoleh pekerjaan di luar. Sehingga memutuskan membuka bengkel kecil-kecilan di kontrakan kami.



Awalnya kehidupan rumah tangga baik-baik saja bagi kami. Saya dan suami tidak mempermasalahkan siapa yang bekerja di luar atau di rumah. Namun ketika anak pertama lahir, perdebatan kecil kadang-kadang terjadi. Bagaimana caranya mengurus anak sambil tetap bisa bekerja, memang tidak berjalan mudah. Terutama bagi suami yang seharusnya mencari nafkah dan menjadi tulang punggung keluarga. Namun karena beberapa faktor, saya lah yang akhirnya mengambil peran itu. Sementara dia menggantikan tugas saya selama saya bekerja. Memandikan, membuatkan susu, menyuapi anak. Bahkan menidurkan jika saya mendapat jadwal masuk malam. Tidak ada yang mudah. Baik bagi suami maupun saya yang sudah terbiasa bekerja.

Suami saya bukan orang yang kagok dalam mengurus anak. Dia terbiasa mengasuh adik-adiknya sewaktu remaja ketika ibu mertua disibukkan dengan kegiatan lain. Namun, mengasuh adik dengan anak sendiri adalah hal yang berbeda. Tak jarang tekanan dan godaan membuatnya tidak total dalam mengurus buah hati kami.



Saya amat sadar, peran yang kami lakukan saat ini tidak pernah terpikirkan sejak dulu. Namun inilah takdir. Inilah pengorbanan kami demi keluarga. Demi anak-anak kami. Mungkin banyak yang berpikir jika saya yang lebih banyak berkorban. Saya yang seorang istri tidak seharusnya menjadi tulang punggung keluarga. Namun saya kurang setuju. Tidak ada yang berkorban lebih besar di sini. Saya dan suami berusaha berbagi tugas dengan baik.

Kami sama-sama berkorban. Bukan dengan terpaksa. Kami berusaha melakukannya dengan ikhlas. Memang tidak jarang ada omongan-omongan yang kurang mengenakkan dari orang di sekitar kami. Tapi mengapa harus peduli? Kami lah yang menjalani. Kami yang berjuang untuk keluarga kami sendiri. Selama tidak ada yang salah. Tak perlu kami khawatir dengan omongan orang.



Namun jika boleh jujur, saya banyak berutang budi pada suami. Dia yang banyak berkorban bagi keluarga kecil kami. Dia lah sosok pahlawan bagi saya dan anak-anak. Memang suami tidak banyak menghujani kami dengan materi. Tapi cinta, perhatian, dan waktu selalu dia berikan tanpa batas. Bukan berarti suami tidak ingin seperti kepala keluarga yang lain. Baginya, menjalani apa yang saat ini sudah digariskan Tuhan lebih baik daripada menjadi sosok yang terlihat sempurna namun tidak memiliki arti apa-apa.






(vem/nda)