Pengalaman Tak Terlupakan Jadi Relawan Membantu Korban Gempa di Lombok

Fimela diperbarui 23 Agu 2018, 13:00 WIB

Apakah ada sosok pahlawan yang begitu berarti dalam hidupmu? Atau mungkin kamu adalah pahlawan itu sendiri? Sosok pahlawan sering digambarkan sebagai seseorang yang rela berkorban. Mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri. Seperti kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini. Seorang pahlawan bisa berasal dari siapa saja yang membuat sebuah pengorbanan dalam hidupnya.

***

Minggu, 7 Agustus 2018 adalah salah satu hari yang penuh dengan pengalaman berharga untuk saya. Petang  itu, di Lombok Timur, NTB tepatnya di desa Apitaik saat warga masih menyamankan diri di dalam rumah atau di tenda tenda pengungsian, beberapa orang yang tampak lesu memaksakan diri keluar mencari nafkah dengan hati gundah lantar teror bencana yang tak kunjung usai membuat udara yang sebenarnya tak terbilang dingin menusuk-nusuk relung kami yang di sana.

Kami duduk tidak teratur di sana, di dalam basecamp Sudut Lombok yang sudah tampak seperti gudang karena kardus-kardus logistik yang menumpuk, beberapa karung, keranjang buah dan sayur yang tidak tertata rapi, ditambah lagi sisa-sisa pengepakan kemarin yang belum sepenuhnya dibereskan. Ada sekitar 15 orang di sana, tapi terdengar seperti 3 orang, sunyi sekali.



Entah apa yang kami pikirkan saat itu. Saya di sana, duduk sendiri di luar ruangan sambil melihat kakak-kakak yang tiba-tiba bergerak memindahkan logistik ke sebuah truk di depan basecamp, memecah susana beku yang entah sadar atau tidak sadar kami ciptakan. Suasana di antara kami tiba-tiba berubah, sambil memindahkan barang senyum kami sedikit demi sedikit mengembang. Rasa antusias merayapi  hati saya, sebentar lagi, kami akan berangkat. Menyalurkan donasi dan bertemu dengan korban gempa bumi yang terjadi pada hari Minggu, 29 Juli 2018 yang berpusat di Lombok Timur, tepatnya di desa Obel Obel, Kecamatan Sembelie dan Kec. Sembalun.

Sekitar pukul 09.30 WITA persiapan telah selesai dilakukan, setelah briefing dan berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan YME saya beserta rombongan bergegas menuju ke lokasi. Kami menggunakan mobil pick up dan satu truk, beberapa menggunakan sepeda motor. Suasana selama perjalanan terasa sangat menyenangkan, meskipun cuaca hari itu sedikit panas, teman taman tidak henti-hentinya bergurau, ada saja yang kami tertawakan, meskipun sebenarnya kami belum terlalu saling mengenal. Kami baru saja bertemu sehari yang lalu, bahkan ada beberapa orang yang baru saya temui tadi pagi.



Kami adalah sekumpulan relawan yang terdiri atas berbagai organisasi dan daerah seperti Sudut Lombok, fasilitator Forum Anak Lombok Timur, Forum Anak Lombok Timur, Coin Foundation, dsb. Beruntung semua teman di sini sangat menyenangkan dan ramah, membuat kami mudah akrab.

Perjalanan dari Apitaik ke lokasi pertama memakan waktu sekitar 2 jam dengan medan yang berkelok-kelok dengan banyak turunan dan tanjakan. Memasuki wilayah Sambelia, saya tertegun dengan perasan sedih luar biasa, sepanjang jalan kami melihat hampir 90% rumah warga, dan bangunan rusak parah, atap rumah sampai menyentuh tanah, camp-camp pengungsian menghiasi jalanan, ada puluhan banyaknya. Di beberapa titik kami melihat petugas keamanan dan petugas tanggap bencana yang entah kenapa membuat suasana terasa mencekam.

Di dalam dan di sekitar camp pengungsian kami melihat warga duduk berteduh dengan seadanya dari panas sambil mengipas-ngipas, beberapa melambaikan tangan kepada kendaraan-kendaraan relawan yang melintas, ada banyak kendaraan bermuatan bantuan dan relawan selain kami, bebrapa hanya diam menatap. Tidak beberapa lama, kami sampai di lokasi pembagian logistik, tepatnya di salah satu SD di Desa Sembalun Sajang, Kecamatan sembalun.



Kami memang sengaja tidak menyalurkan logistik melalui posko, kami ingin menyalurkan langsung kepada para korban sekaligus memberikan trauma healing. Sesampainya di sana, kami langsung membagi diri menjadi dua tim, tim pertama menurunkan dan menyalurkan logistik, tim kedua memberikan trauma healing kapada warga, khususnya anak-anak. Saya masuk ke dalam tim kedua, memberikan trauma healing.

Saat kami memasuki halaman SD, warga dan anak-anak sudah berkumpul di sana, dapat saya lihat gurat-gurat kesedihan dan harap dalam wajah mereka. Setelah perkenalan kami membagi warga menjadi 3 bagian, yang pertama untuk orangtua didampingi oleh kakak-kakak dari hipnotherapist untuk mendapatkan sedikit trauma healing dan penenangan, yang kedua anak-anak tingkat SMP-SMA, dan yang ketiga anak-anak SD ke bawah.

Saya menempatkan diri ke kelompok kedua. Saat sesi pembukaan saya mengamati wajah anak-anak di depan saya, beberapa tampak begitu sendu dan muram, beberapa tersenyum tipis dengan mata redup. Saya tertegun, tenggorokan saya terasa pahit karena menahan air mata. Tak terbayangkan bagaimana ketakutan mereka saat bencana itu terjadi, ditambah lagi teror bencana yang tak kunjung usai.

Hampir setiap hari setelah gempa berkekuatan 6,4 SR pada Minggu pagi 29 Juli kemarin, gempa susulan terus terjadi. Bahkan untuk orang dewasa pun, hal itu sangat mengganggu psikologi kami, apalagi mereka yang masih anak-anak. Dalam hati saya berdoa agar bencana ini cepat berlalu dan psikologi mereka cepat membaik.

Kami memulai sesi trauma healing. Kami bermain dan tertawa bersama dengan anak-anak di sana, kemudian berbagi cerita yang menyenangkan. Pelan-pelan mereka mulai tertawa lepas, bergerak lepas dan bergembira. Sekali lagi saya mengamati sekeliling saya, mengamati satu per satu teman-teman relawan yang ikut tertawa bersama melihat tingkah menggemaskan dan konyol anak anak, lalu mengamati anak anak kembali, melihat senyum malu malu anak perempuan, mendengar tawa lepas anak anak, dan bahkan teriakan mereka yang menusuk gendang telinga.



Rasa haru dan kagum menelusuri relung hati saya, betapa hangat dan besarnya hati teman-teman relawan yang dari jauh-jauh hari rela kehujanan dan kepanasan mencari donasi, pergi kesana-sini tanpa mengeluh lelah dan pamrih. Betapa kuat dan beraninya anak-anak ini, bahkan setelah bencana yang begitu menyeramkan itu, mereka masih dapat bertahan dan tertawa lepas seperti ini.

Saat bertanya tentang mimpi mereka, beberapa dari mereka menjawab, "Aku ingin jadi polisi, agar bisa memberi keamanan pada warga saat terjadi bencana," "Aku ingin jadi dokter, agar bisa mengobati teman teman yang terluka," dan banyak mimpi mimpi dengan tujuan mulia lainnya. Sungguh mulia dan luar biasa mimpi-mimpi mereka. Setelah selesai melakukan sesi trauma healing dan pembagian logistik, serta sesi berpamitan kepada warga dan anak anak yang luar biasa mengharukan bagi saya, kami langsung pergi ke lokasi berikutnya untuk melanjutkan pembagian logistik.

Mereka memang tidak berjuang dengan mengangkat senjata, berlari menghindari ranjau,atau juga belum unjuk gigi dalam even taraf internasional. Mereka melakukan hal yang lebih luar biasa, berjuang hidup! Menguatkan diri satu sama lain! Saling melindungi, dan bermimpi. Anak-anak luar biasa yang akan menjadi semangat hidup saya, pahlawan-pahlawan kecil yang kelak akan menjadi kekuatan Indonesia. Serta teman-teman relawan yang akan selalu menjadi inspirasi dalam hidup saya, yang tidak menutup mata dan telinga dengan panggilan kemanusiaan, para pahlawan pemberani dan tulus.




(vem/nda)