Ibu Hamil Juga Punya Perasaan, Tolong Pengertiannya Ya!

Fimela diperbarui 20 Agu 2018, 14:40 WIB

Apakah ada sosok pahlawan yang begitu berarti dalam hidupmu? Atau mungkin kamu adalah pahlawan itu sendiri? Sosok pahlawan sering digambarkan sebagai seseorang yang rela berkorban. Mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri. Seperti kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini. Seorang pahlawan bisa berasal dari siapa saja yang membuat pengorbanan besar dalam hidupnya.

***

Pernah merasa seperti masuk ke dimensi lain? Ya, itulah yang sedang saya rasakan saat ini. Seperti menembus dinding dunia lain, menemukan langit yang berbeda dari biasanya yang menaungi hari–hari. Detik ini, tepat satu bulan lagi, saya akan merasakan sebuah sensasi luar biasa dalam hidup. Ya, I will be a mommy! Mom for my kid!

Mengapa seperti masuk ke dimensi lain? Karena ini benar–benar merupakan wujud penghidupan yang berbeda dari biasanya. Kamu akan merasakan hal yang sebelumnya tidak pernah kamu rasakan. Dan sangat banyak hal yang kamu rasakan mengalir di darahmu yang berbeda dari dimensi sebelumnya yang pernah kamu diami.

Perubahan itu bernamakan pengorbanan. Pengorbanan itu terjadi tepat di dalam tubuhmu sendiri, mengalir deras di saluran darahmu. Dan hal itu terjadi pertama kali saat saya melihat dua garis terpampang di depan mata saya. Ya, dua garis kehidupan yang berhasil mengubah hampir separuh jalur hidup. Saya hamil!



Seperti kebanyakan kehamilan yang mungkin dirasakan oleh ibu–ibu lainnya, tentu akan banyak mengalami perubahan dalam diri. Baik itu eksternal maupun internal. Hal itupunn saya alami.

Sejak mengetahui saya hamil, perubahan dari luar tubuh banyak terjadi, seperti saya harus pindah tempat kerja, di mana sebelumnya saya mengajar di sebuah sekolah di kota Tangerang, yang mengharuskan saya menaiki kereta sekitar 90 menit untuk sampai di sana. Karena hal tersebut dapat menguras tenaga saya yang mulai melemah karena tersedot si baby, maka saya memutuskan untuk pindah ke sekolah yang lebih dekat dari rumah dan dapat dijangkau oleh kendaraan roda dua. Ya, bagi saya itu salah satu pengorbanan di mana saya harus melepaskan karier di tempat kerja yang sudah lama ditinggali, demi terjaganya nyawa yang sedang berdetak di dalam tubuh, sang buah hati.

Terlebih lagi, banyak pengorbanan yang harus saya rasakan yang terjadi didalam tubuh. Di masa awal kehamilan, saya harus rela kehilangan selera makan, padahal, salah satu hobi terberat saya adalah makan. Setiap sepiring makanan yang masuk kedalam perut, harus dengan rela penuh kesakitan saya keluarkan kembali, karena si baby menolaknya, enggan menyerapnya, sehingga si ibu harus membuangnya kembali. Dahsyatnya bukan saat mengeluarkannya, tapi proses setelah kembali bebasnya lagi makanan tersebut dalam tubuh.

Tubuh berubah seketika menjadi sangat lemas, lunglai, tak bertenaga, yang diinginkan hanyalah berbaring, beristirahat, tidak melakukan aktivitas apapun, karena dapat memicu pusing dan lemas yang berkepanjangan. Beberapa pekerjaan rumahpun terabaikan, karena sang tubuh tak sanggup menopang yang biasa orang sebut morning sickness.

Ternyata pengorbanan itu belum juga usai, semakin bertambah usia baby di dalam kandungan, ternyata ada yang lebih luar biasa lagi dari sekadar menahan mual dan sakit. Jika kamu adalah seorang wanita yang mengidolakan body goals, tubuh yang sempurna, langsing dan perfect, maka saya harus kehilangan semua itu ketika melihat pantulan tubuh di kaca.

Seluruh tubuh saya membengkak, mulai dari muka bahkan hingga ujung kaki. Pipi dan hidung semakin bulat, leher berlapis, perut yang sudah pasti membuncit, paha, betis, jari–jari kaki yang membengkak, sampai tak cukup kaki masuk ke sepatu yang sebelumnya cukup longgar saya pakai. Ya, itulah pengorbanan fisik yang harus saya ikhlaskan semasa kehamilan. Menjadi gendut bukanlah hal yang terlalu buruk untuk 9 bulan ini, karena batin saya berkata yang terpenting baby dalam kandungan saya sehat. Cukup hanya itu saja.



Tapi saya keliru, nyatanya ada yang lebih menyakitkan dibanding sekadar tubuh yang berubah drastis. Perkataan orang–orang. Ya, manusia zaman sekarang, saya tidak tahu persis ini sudah menjadi kebiasaan turun temurun atau tidak, sangat tidak apik dalam menjaga lisan mereka.

Rasa–rasanya mungkin bibirnya sangat gatal sekali apabila tidak mengomentari atau mengeluarkan unek–unek di hatinya tanpa perlu mempertimbangkan apakah yang ia komentari akan berkenan atau tidak. Seperti seringnya saya mendengar pertanyaan – pertanyaan seperti ini.
“Gendutan ya sekarang!”
“Oh lagi hamil ya, nggak kelihatan ya, mungkin karena gemuk!”
“Jangan suka males gerak, harus dibawa gerak biar sehat bayinya!”
“Kayaknya bayinya cowok deh, soalnya nggak suka dandan ibunya keliatan!” Dan masih banyak lagi.

Korban perasaan. Mungkin itu istilah yang tepat untuk menggambarkan perasaan sang ibu hamil yang harus tersenyum terpaksa mendengarkan celotehan orang lain yang sesuka hatinya itu.

Memang ada yang salah dengan kata ‘gemuk’? Apa itu akan merugikan mereka jika kita gemuk, toh kita tidak meminta makan pada mereka juga kan, kenapa mereka harus repot mengomentari penampilan orang? Apa harus setiap kali kita bertemu tetangga, kawan dan kerabat untuk mencegah munculnya perkataan tersebut harus diumumkan terlebih dahulu jika kita hamil? Agar mereka memaklumi dengan berat badan kita?

Lalu haruskah juga, setiap aktivitas yang akan kita lakukan kita post atau kita announce pada mereka bahwa kita juga bukan ibu hamil yang malas, bukan ibu hamil yang cuma tidur–tidur saja, kita juga melakukan aktivitas, apa harus kita selalu memberitahukan segalanya pada mereka? Dan yang terakhir, apa salah kita juga, jika kita tidak memiliki hasrat untuk merias diri? Lalu salah sang ibu jika anak yang terlahir adalah laki–laki hanya karena kita tidak dandan?



Tolonglah, lebih bersahabat mulut–mulutnya agar ibu hamil tidak selalu terkorbankan perasaannya. Cukup dengan menahan mual dan sakit di hamil mudanya, kehilangan kepercayaan diri menginjak hamil tuanya, jangan pula dibebankan dengan omongan–omongan yang sebenarnya tidak perlu terlontarkan.

Alangkah lebih indah jika semua itu berubah menjadi ucapan doa–doa. Walaupun demikian, sang ibu tidak akan meminta balik pengorbanan yang telah ia lewati pada anaknya saat kelak lahir dan tumbuh besar. Cukup mendengar isak tangisnya dan kesempurnaan saat pertama kali sang anak membuka mata ke dunia, itu telah menjadi hal paling cukup untuk menebus segala bentuk bahagianya, demi buah hati tercinta.

(vem/nda)
What's On Fimela