Mengagumi Seseorang Kadang Sudah Bikin Bahagia Meski Tak Bisa Memilikinya

Fimela diperbarui 19 Agu 2018, 19:30 WIB

Bisa mengenal seseorang yang mau mengorbankan sedikit waktunya untuk kita kadang sudah lebih dari cukup untuk membuat kita bahagia. Seperti kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini.

***

“Kehidupan setiap manusia ketika masa remaja, ibarat perjalanan waktu dalam proses  pengumpulan banyak foto. Tujuannya demi mengisi sebuah album kehidupan. Kelak ketika dewasa, manusia itu sendirilah yang menentukan, hendak membukanya dengan penuh senyum kepuasan atau sebaliknya. Tangisan kecewa dan penyesalan.”

Aku selalu berusaha mengingat setiap baris kata darinya, sebut saja dia Rama. Di suatu sore, ketika kami masih menunggu bus yang nantinya membawa kami pulang. Aku masih mengingat hari itu. Hari di mana biasanya anak-anak PMR (Palang Merah Remaja) angkatan kami melakukan pertemuan di PMI, untuk membahas segala agenda kegiatan yang akan kami kerjakan selama masa bakti.

Aku tidak menyangka jawaban dia begitu diplomatis untuk seorang cowok usia anak SMA. Di saat aku bertanya, “Apa sih yang membuatmu untuk tetap menjadi anggota PMR?”

Uraian jawaban di atas adalah sebuah alasannya untuk tetap memilih kegiatan organisasi PMR. Terlebih dia punya peranan cukup penting di angkatan kami. Aku dan dia berasal dari sekolah yang berbeda, dan perbedaan paling kentaranya, dia datang mewakili sekolah negeri terbaik di kota kami, sedangkan aku  hanya berasal dari sekolah swasta biasa.

Sedari awal kecerdasan dan kebijaksanaan telah nampak dari caranya berbicara dan bersikap terhadap orang lain. Bahkan, para senior yang tingkatnya di atas kami pun menaruh hormat padanya dan sering meminta masukan darinya. Banyak dari teman-temanku seangkatan yang juga mengaguminya. Merasa nyaman berada di sekitarnya, alasannya karena Rama pintar menyesuaikan diri pada banyak orang. Sosoknya juga seorang pendengar yang baik dan pemberi saran yang bijak, meski tidak terdengar seperti sedang menggurui.

“Wow! Ram, kalimat dari kata-kata barusan itu kamu hasil pemikiranmu sendiri?” aku bertanya penuh takjub.

Entah mengapa hari itu, aku yang biasanya tak begitu sabar menunggu bus yang tak kunjung datang. Justru berkeinginan sebaliknya. Aku berharap dalam hati, agar bus yang hendak kami naiki datang lebih lama, sebab kami akan menaiki bus yang berbeda. Aku sebetulnya meyimpan rasa kekagumanku padanya jauh di dalam hati. Kami hanya dapat bertemu satu kali dalam seminggu.

Aku sendiri takut dan malu jika terlihat tidak bisa menyembunyikan rasa antusiasku ketika kami punya kesempatan mengobrol yang sangat jarang. Aku tak pernah berharap ia tahu bahwa aku mengaguminya selama ini, hanya kepada ibuku lah aku berani menceritakan semua tentangnya.

 

Ia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Kata-kata itu dari kuambil dari sebuah buku yang kubaca,  judulnya Blue Bird Paradise karya Lina Liana. Ceritanya bagus kok, tentang anak perempuan yang bercita-cita jadi perancang busana sejak muda. Penulis Indonesia, ceritanya simpel tapi cukup menginspirasi, ” jawaban yang keluar dari mulutnya, sesaat sebelum ada salah satu teman perempuan di angkatan kami yang menyerukan memanggil namanya.

Aku langsung kikuk, dan refleks mengambil jarak darinya. Aku jelas tidak mau terlihat dekat dengannya, sebab aku tahu temanku yang satu ini dikenal sangat dekat dengan Rama. Aku berharap bus tujuanku segera datang dan membuatku mempunyai alasan untuk lekas pergi. Beruntungnya, saat itu Tuhan tidak sepenuhnya ingin menjahiliku. Sebuah bus yang sesuai dengan tujuanku datang beberapa menit kemudian, yang membuatku punya alasan untuk berpamitan dengan mereka berdua.

“Hei! Jumat depan kubawakan bukunya ya? Kau boleh meminjamnya! Aku sering tahu kau suka membaca!” teriaknya ketika kakiku sudah menaiki lantai bus. Aku hanya mengangguk cepat sebelum akhirnya bus waktu itu melaju cepat. Satu hal yang membuatku gembira, Ia tahu bahwa aku suka membaca buku.

Aku tidak tahu sejak kapan aku menaruh rasa melebihi seaedar simpati ini padanya. Awalnya aku tidak terlalu seperti ini saat melihatnya. Perasaanku biasa saja, sama seperti saat aku sedang berhadapan dengan teman-temanku lainnya. Mungkinkah semua berawal dari waktu itu?

Saat di mana aku hampir terancam gugur menjadi calon PMR. Waktu itu ada jadwal briefing, mewajibkan semua peserta hadir sebelum dilaksanakannya diklat lapang, yang kelak mengukuhkan kami menjadi anggota tetap. Tak ada yang dapat menolak musibah yang datang tiba-tiba dalam kehidupan ini.

Nenek dari pihak ayahku meninggal dunia setelah sebelumnya dirawat di rumah sakit. Hari pemakamannya sama dengan hari dimana briefing itu dilaksanakan, tentu saja aku tidak bisa datang. Aku sudah pasrah kalau tidak akan lolos diseleksi paling akhir dan dianggap gugur.

Rupanya, sore setelah nenekku dimakamkan, Rama mengirimiku sebuah SMS menanyakan alasanku mengapa tidak datang briefing siang itu. Aku kaget dan bingung. Kenapa bisa tiba-tiba dia tahu aku tidak datang? Sebab aku merasa tidak begitu kenal dekat dengannya. Aku hanya sekadar tahu siapa dia, bahwa dia cukup banyak dikenal. Setelah aku megungkapkan alasan ketidakhadiranku tadi siang, Rama memberiku balasan yang membuatku kembali memiliki harapan.

“Aku akan membantumu untuk tetap kembali berjuang, menjadi bagian dari yang selama ini kita cita-citakan. Lagipula, alasanmu untuk tidak bisa hadir tadi siang itu logis kok. Turut berduka cita untuk kehilanganmu, dan pastinya nenekmu akan lebih bangga apabila seorang cucunya dapat bermanfaat bagi orang lain.”

Rama akhirnya menemaniku besok siang harinya, untuk menemui para senior yang akan mengadakan seleksi regenerasi angkatan PMR yang baru. Aku sudah membawa bukti surat berita duka dan kopian surat penerimaan jenazah nenekku dari rumah sakit. Bukti bahwa betul nenekku dimakamkan di hari yang sama dengan saat briefing kemarin.

 

Hingga akhirnya, keluar keputusan aku tetap lolos menuju tahap seleksi berikutnya. Ia juga memberiku salinan apa saja yang harus dibawa ketika diklat lapang nantinya. Ia betul-betul punya andil besar untukku di waktu itu agar aku tetap lolos. Sebab aku tahu, keputusan senior dan panitia semuanya adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Banyak teman kami yang gugur karena tidak datang tanpa alasan yang jelas.

Pun sama halnya ketika dua tahun kemudian ibuku yang telah lama menderita diabetes wafat.  Waktu itu aku baru saja naik ke kelas tiga SMA, dan dia baru saja lulus SMA. Dia menyemangatiku, meski hanya melalui pesan SMS. Berharap aku tetap fokus pada tujuanku menjadi anak yang mampu membanggakan kedua orang tua. Tidak boleh salah arah dan jangan menjadikan alasan kehilangan salah satu orangtua untuk menjadi lemah. Justru sebaliknya, aku harus semakin kuat.

Aku sempat bercerita padanya, dulunya waktu SMP aku sering dianggap remeh karena tidak memiliki bakat apapun di bidang olahraga. Pelajaran itu ibarat momok bagiku, sebab aku kadang menjadi bahan tertawaan karena lemahnya tubuhku. Aku sering tidak disertakan dalam kegiatan organisasi karena dianggap tidak terampil. Dalam setiap kegiatan sekolah, aku selalu menjadi orang yang terakhir dipilih. Itu hal yang kadang membuatku minder, pasrah pada setiap keputusan orang lain. Hingga aku ingin membuktikan pada mereka bahwa aku bisa diandalkan.

Rama sempat menegurku, bahwa sebaiknya niatku sedikit diperbaiki jika melaksanakan sesuatu hanya ingin melakukan pembuktian terhadap orang lain, yang sebetulnya tidak pernah peduli pada perubahan baik kita. Melainkan memintaku untuk merasa bahagia, apabila telah berbuat baik dan bermanfaat bagi orang lain. Membanggakan kedua orangtua dan tidak mengkhianati kepercayaan mereka. Tetap bersikap ramah dan sopan pada siapapun meskipun mereka tidak peduli pada kita. Sebaik-baik manusia bukan mereka yang paling populer, yang hanya mampu melakukan sesuatu untuk diri mereka sendiri. Akan tetapi yang banyak bermanfaat bagi orang lain.

 

Aku mungkin tidak pernah berani mengungkap apapun rasa kagumku dulu padanya. Terlebih saat akhirnya dia melanjutkan kuliah di luar kota, kesempatan kami untuk bertemu pun semakin sulit. Dia hanya tidak tau, aku bercerita banyak tentangnya pada ibuku, bahwa dia telah mengajariku banyak hal, nilai positif tentang cara memandang hidup.

Kini usai  delapan tahun berlalu, dan masa bakti kami telah berakhir, juga digantikan dengan generasi adik tingkat yang lain. Rama tetap memberikan banyak andil perubahan untukku dalam memilih sikap bagaimana sebaiknya menjalani masa dewasa kelak.

Aku yang dulunya bertindak sesuatu hanya untuk mencari simpati orang, berubah menjadi sebaliknya, bertujuan bermanfaat bagi sesame, atau setidaknya bagi orang-orang yang selama ini menyayangiku. Apabila aku dulunya takut saat harus berhadapan dengan orang yang  baru dikenal, menjadi terbiasa untuk lebih percaya, bersikap ramah dan terbuka. Belajar terlebih dahulu membuka obrolan untuk memulai percakapan. Sebab rasa acuh tak acuh hanya akan membunuh sifat alami manusia sebagai mahluk yang berakal. Aku banyak berterima kasih padanya meski tak harus dalam nada ataupun sebuah ucap.

 

 

(vem/nda)