Rasanya, baru kemarin saya meniup lilin ulang tahun ke-17 sembari membayangkan usia-usia ke depannya, jika saya masih diberi kesempatan untuk menjalaninya. Saat itu, usia 17 tahun bisa dibilang milestones untuk saya. Karena di usia itu, akhirnya saya legal secara administratif di mata negara. Memiliki KTP dan SIM, misalnya.
Menikmati usia 17 tahun rasanya baru sekejap ketika akhirnya angka 2 disematkan di form yang saya isi. 20. Dua puluh tahun. Saat itu bahkan saya sendiri merasa tak percaya bahwa saya berusia 20 tahun. Di satu sisi saya merasa senang, karena "Akhirnya aku memasuki usia dewasa muda juga nih."
Hari-hari bergulir. Saya mengisi usia-usia early twenty dengan semangat tinggi berkarya, menghasilkan uang sendiri untuk jajan, berteman dengan banyak orang, patah hati ... dan betapa saya merasa banyak hal yang harus dan ingin saya kritisi. Sebutlah fase-fase hidup itu sebagai fase "angry woman" atau fase "I'm not a girl, not yet a woman." Bahkan, orang tua saya pernah menyebut saya gadis yang idealis. "Harusnya begini ..." dan "harusnya begitu ..." membentuk saya jadi orang yang keras kepala.
Hingga di usia 23 tahun, saya bertemu dengan seorang teman yang saya tanyai, "Gimana rasanya jadi umur 25 tahun?" Teman saya menjawab, "Secara fisik nggak ada yang berubah. Tapi mungkin pola pikirmu yang akan berubah." Dalam chat Whatsapp, saya menyetujui itu. Tapi dalam hati saya mengingkarinya dengan jumawa, "Ya itu sih kamu aja. Nanti umur 25 tahun aku tetap jadi cewek yang bla-bla-bla seperti sekarang."
Tapi ketika saya menginjak usia 25 tahun itu, saya merasakan sendiri begitu banyak hal yang berubah dari bagaimana saya memandang hidup, diri sendiri dan orang-orang di sekitar saya. Terutama bagaimana saya melihat tentang perjuangan dan pengorbanan. Setiap perjuangan dan pengorbanan pasti akan ada hasilnya, sooner or later.
Menemukan pasangan, teman atau pun pekerjaan ... bolehkah saya bilang jika ada hal yang kita korbankan untuk menemukannya? Menghabiskan tenaga di kantor delapan jam atau lebih, menghabiskan waktu dengan teman-teman, menghabiskan waktu dan tenaga mengenal pribadi-pribadi itu, mungkin menyenangkan. Tapi ada satu titik di mana kita mulai merasa lelah karenanya. Tetapi percayalah, itu tidak sia-sia. Waktu dan tenaga itu bisa jadi akan menjauhkanmu dari orang-orang yang ternyata kamu sadari mereka bukan teman sejatimu, pasangan sejatimu atau bukan karirmu sesungguhnya. Tapi bisa jadi juga membuatmu akan bertemu "the right one."
Tentang perjuangan dan pengorbanan untuk keluarga ... Saya tak bisa bilang ini adalah prioritas utama, karena tiap orang tentu punya kondisi keluarga yang berbeda-beda dengan ceritanya sendiri-sendiri. Tetapi tak ada yang lebih disesali ketimbang mengorbankan sedikit saja waktu, tenaga (dan mungkin biaya) untuk orang tua yang semakin menua, menikmati romantisme sederhana bersama pasangan dan atau anak-anak yang beranjak bertumbuh adalah hal-hal yang tidak akan pernah bisa dibeli, ditukar dan digantikan dengan apapun. Nikmatilah selagi kita mampu.
Akhirnya di usia 25 tahun, saya berhadapan dengan hal-hal yang lebih kompleks daripada "suka dan tidak suka" semata. Tetapi lebih jauh dari itu, prinsip-prinsip hidup mulai dipertaruhkan. Tinggal bagaimana kita memaknainya dan berusaha agar tidak menyesalinya di kemudian hari.
Mari merayakan usia seperempat abad ini! Cheers!
Tulisan ini merupakan opini pribadi Winda Carmelita. Kenalan lebih jauh dengan Winda Carmelita di www.windacarmelita.com
- Ibu, Beristirahatlah dengan Tenang Bersama Doa yang Kutitipkan pada Allah
- Memiliki Ibu yang Pekerja Keras, Aku Ditempa Jadi Wanita yang Lebih Tegar
- Beratnya Hidup di Masa Lalu Membuat Jiwa Kita Lebih Tegar di Masa Depan
- Perempuan dalam Lingkaran Perempuan
- Pengorbanan Seseorang Bisa Mengubah Keseluruhan Jalan Hidup Kita