Beratnya Hidup di Masa Lalu Membuat Jiwa Kita Lebih Tegar di Masa Depan

Fimela diperbarui 15 Agu 2018, 10:40 WIB

Apakah ada sosok pahlawan yang begitu berarti dalam hidupmu? Atau mungkin kamu adalah pahlawan itu sendiri? Sosok pahlawan sering digambarkan sebagai seseorang yang rela berkorban. Mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri. Seperti kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini. Seorang pahlawan bisa berasal dari siapa saja yang membuat pengorbanan besar dalam hidupnya.

***

Ini adalah kisah nyata dalam perjalanan hidup keluargaku. Kisah betapa gigihnya Mama dan Papaku dalam berjuang merawat dan membesarkan anak anaknya. Banting tulang mencari nafkah demi kelangsungan hidup. Bekerja tak mengenal lelah agar dapur kami tetap ngebul dan kami tetap bisa makan.

Mamaku menikah dengan papaku di usianya yang masih muda, saat itu usianya masih 16 tahun. Mamaku tidak lulus sekolah, beliau hanya sempat menyenyam pendidikan hingga kelas 3 SD. Kondisi keuangan yang serba kekurangan terpaksa membuatnya harus putus sekolah.

Dulu belum ada larangan menikah muda. Bahkan UUD larangan pernikahan di bawah umur juga belum ditetapkan sehingga sudah menjadi hal lumrah jika banyak wanita yang memutuskan menikah muda.

Mama menikah dengan Papaku yang seorang perantau. Saat itu Papaku seorang mahasiswa di salah satu Universitas Veteran. Untuk membiayai hidup dan  kuliahnya saat itu, Papaku bekerja serabutan karena Papaku juga bukanlah dari keluarga berada.

Mama dan Papaku berasal dari keluarga ekonomi rendah. Saat itu Mama dan Papa saling jatuh hati dan memutuskan untuk menikah. Mereka menikah tanpa pesta, hanya di nikahkan di KUA setempat, karena memang mereka tidak punya biaya untuk menggelar pesta pernikahan.



Setelah menikah, mereka tinggal di rumah petak berukuran sempit. Dengan pekerjaan Papaku yang serabutan dengan penghasilan tidak menentu sehingga Mamaku harus ikut berjuang mencari nafkah. Dan saat itu Mamaku ikut membantu menjual sayur di pasar dengan upah yang tidak seberapa. Mamaku harus pintar menghemat pengeluaran karena penghasilan dari pekerjaan Mama dan Papa tidaklah banyak.

Tahun berganti tahun, Mamaku juga telah melahirkan enam orang anak. Papaku juga telah berhasil menyelesaikan kuliahnya dan telah terangkat menjadi seorang PNS. Saat itu gaji PNS sangat rendah, sehingga gaji PNS tidak dapat diandalkan buat membiayai semua kebutuhan hidup yang sangat banyak. Sehingga Mamaku tetap bekerja sembari mengasuh anak-anaknya. Ibuku juga terkadang bercerita kalau seringkali dia harus membawa kami ikut ke pasar karena tidak ada yang menjaga kami, padahal saat itu kami masih kecil-kecil.

Saat itu belum ada program Keluarga Berencana di daerahku sehingga Mamaku tidak tahu KB, jadi Mamaku bisa melahirkan banyak anak.

Dan Perjuangan orang tuaku semakin berat saat tahun 1989 dimana tahun ini terjadi Krisis Moneter. Harga Barang melonjak naik, nilai mata uang rupiah semakin rendah. Harga kebutuhan pokok naik 4 kali lipat. Otomatis Mama dan Papaku semakin kesulitan keuangan.

Aku masih ingat saat Krisis Moneter, saat itu usiaku 10 tahun. Seringkali kami hanya makan nasi jagung atau singkong rebus. Berhutang di warung juga biasa kami lakukan karena kehabisan uang. Kelaparan di masa kecilku sudah biasa saya alami.



Keadaan sangat sulit, sering kali saya melihat ada rasa kesedihan di mata orang tuaku. Rasa sedih yang sengaja mereka sembunyikan, karena hidup susah dan tidak bisa memberikan kebahagian untuk anak- anaknya.
Tapi Mama dan Papa tidak patah semangat. Rasa kasih sayangnya terhadap anak anaknya membuat mereka melakukan berbagai cara demi menambah penghasilan. Papaku memutuskan membuka lahan untuk bercocok tanam. Sekitar 1 kilometer dari Rumah, ada tanah pemerintah yang tidak terurus sehingga Papa memutuskan untuk menggarapnya. Dan di ladang ini pulalah  ada sedikit rejeki kami. Meski hasilnya tak seberapa tapi bisa membantu sedikit kesulitan keuangan kami.

Mamaku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya membantu orang berjualan di pasar dan lebih fokus membantu Papaku bercocok tanam di kebun. Orangtuaku menanam sayur mayur jangka pendek untuk di jual. Karena sayur mayur tidak membutuhkan banyak modal dan lebih cepat panen.

Karena tumbuh dari keluarga kekurangan, aku tumbuh dewasa lebih cepat. Di usiaku yang masih 10 tahun kala itu, aku sudah pintar memasak, mencuci pakaian sendiri, dan sudah ikut ke kebun memetik sayuran.

Aku dan saudara-saudaraku ikut serta membantu memetik sayuran. Entah sudah berapa kali aku melihat Mamaku menangis di balik batang pohon sayur. Saat itu aku sudah mengerti kalau Mama menangis karena sedih melihat anak anaknya harus ikut membantu dan berjuang bersama mencari nafkah. Padahal teman-teman seusiaku pada sibuk bermain.

Melihat Mamaku menangis, terkadang air mataku juga ikut menetes.Tapi aku lebih memilih diam dan pura-pura tidak tahu karena takut Mamaku semakin sedih.

Di daerah tempat tinggalku, keluargaku memang yang termiskin. Di rumah tak ada satupun barang elektronik. Alat penerang dalam rumah juga hanya mengandalkan lampu teplok. Karena kemiskinan jugalah kami dididik untuk lebih giat belajar agar nantinya hidup kami lebih baik lagi.

Miskin harta tak membuat kami miskin ilmu. Di sekolah, aku dan saudara-saudaraku termasuk siswa berprestasi. Tapi saat itu program beasiswa untuk siswa berprestasi belum ada, sehingga tetap saja kami harus membayar iuran sekolah.

Meskipun sejak kecil waktu bermainku terbatas, tapi masa kecilku sangatlah bahagia. Aku tak pernah sedih jika tak dapat bermain bersama teman. Karena momen membahagiakan di usia kecilku adalah saat hari libur sekolah, di mana aku bisa ikut ke pasar untuk menjual sayur.

Aku tak pernah malu memiliki orangtua dengan kondisi kekurangan. Bahkan saat teman-temanku mengejekku karena melihatku berjualan sayur di pasar tak pernah saya hiraukan. Justru itu menjadi cambukan terbesar agar aku bisa hidup lebih baik lagi ke depannya.



Mama dan Papaku adalah sosok pahlawan nyata dalam kehidupanku.
Terima kasih Mama Papa atas perjuangan kalian membesarkan kami.
Setiap peluh keringat yang menetes selalu ada doa agar anak-anakmu bisa makan dan bersekolah.

Perjuangan dan pengorbanan kalian tak akan terbayarkan, hanya doa yang selalu saya panjatkan agar Tuhan membalas perjuangan kalian di akhirat nanti.

Perjuangan dan pengorbanan kalian telah mengajarkanku untuk mensyukuri berapapun rezeki yang Tuhan berikan.
Pengalaman hidup miskin mengajarkanku untuk lebih menghargai setiap rupiah yang ada.

Mensyukuri setiap napas kehidupan. Menghargai setiap insan di muka bumi. Karena kemiskinan pulalah sehingga aku selalu terpanggil untuk bisa merasakan setiap kesusahan yang dialami orang lain. Kemiskinan mengajarkanku untuk bisa saling berbagi rezeki meskipun nilainya tak seberapa.

Mama Papa, jasamu tak akan ternilai. Terima kasih karena telah mendidik kami. Kalian adalah pahlawan paling mulia dalam kehidupanku. Kini kami semua anak-anakmu telah tumbuh dewasa dan memiliki pasangan. Kini saatnya kami membahagiakan kalian. Saatnya kami membalas setiap tetes keringat yang telah kalian keluarkan untuk membesarkan kami.
Doa Mama dan Papa selalu menyertai langkahku.

Mama Papa aku sangat menyayangi kalian. Saya sangat Bersyukur bisa memiliki orang tua seperti kalian.
Kalian PAHLAWANKU.



(vem/nda)