Perjuangan Ibu demi Kesembuhanku Membuatku Yakin Betapa Agungnya Sebuah Doa

Fimela diperbarui 14 Agu 2018, 11:15 WIB

Apakah ada sosok pahlawan yang begitu berarti dalam hidupmu? Atau mungkin kamu adalah pahlawan itu sendiri? Sosok pahlawan sering digambarkan sebagai seseorang yang rela berkorban. Mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri. Seperti kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini. Seorang pahlawan bisa berasal dari siapa saja yang membuat pengorbanan besar dalam hidupnya demi orang lain.

***

Pada tahun 2000, seorang bayi perempuan lahir ke dunia dengan cara normal. Tidak selayaknya kelahiran bayi-bayi lain yang disambut dengan sukacita, bayi ini lain. Karena bersama sukacita, para keluarga terutama sang ibu juga turut berduka karena bayinya tidak sempurna.

Tahun 2018, bayi itu sudah bermetamorforsis menjadi gadis yang sudah terdaftar di universitas swasta jalur tes tulis gelombang 1. Dan gadis itu adalah… saya.

Jika ada yang bertanya, siapa pahlawan di hidup saya, saya akan menjawabnya dengan mantap, Mamah. Dialah manusia yang memerankan sosok pahlawan dalam hidup saya dengan begitu sederhana namun memikat. Saya yang menyukai komik Marvel dengan tidak resmi memasukkan sosok Mamah dalam The Avengers. Yang menurut saya pantas sekali.   

Di tahun 2000—tahun kelahiran saya—menjadi tahun di mana seorang ibu muda harus kecewa putri pertamanya mengidap penyakit tumor yang bersarang di sebelah kiri hidungnya.



Tumornya kecil, tapi lama kelamaan membesar sampai—katanya—mata saya selalu mengeluarkan air mata. Saya sering penasaran dan pernah bertanya, “Mah, emang nggak nyimpen foto Neng ya pas bayi? Penasaran nih.” Alih-alih memberi jawaban memuaskan, Mamah malah menyentak saya, “Dasar! Memangnya siapa yang mau mengabadikan foto menyedihkan?”  Yang seringnya saya timpali dengan cekikikan. Tanpa mendengar lebih jika pernyataan itu sarat akan kesedihan.

Ketika usia saya mencapai satu tahun lebih, barulah Mamah—dan keluarga—mulai mencari-cari pengobatan. Dulu itu tidak seperti sekarang di mana mencari informasi serta lokasi tinggal menghidupkan layar ponsel. Dulu semuanya serba sulit. Apalagi kami hidup di sebuah desa kecil yang ke kota lumayan jauh.

“Neng, kamu mah lain dari orang lain, masih bayi saja sudah keliling-keliling kota,” ucap Mamah saat itu. Yang anehnya dia mengucapkannya dengan nada riang menyembunyikan pengorbanannya di balik pernyataan itu.



Sesuai perkataan Mamah dan keluarga lain, Mamah pernah hampir terjatuh dari mobil umum ketika mengunjungi sebuah kota untuk cari pengobatan. Saat itu Mamah yang menggendong saya turun dari mobil, tapi belum berpijak dengan benar mobil sudah melaju dengan kencang. Beruntung, saat itu Mamah tidak terluka parah.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kejadian saat itu—karena jika mencoba membayangkannya, saya selalu merasa malu. Seperti ada sesuatu yang tak kasat mata menampar saya telak. Kenapa ibu sesabar itu, selalu saya kecewakan?

Sudah saya katakan di awal bahwa dulu itu—pada tahun 2000-an—tidak semudah zaman sekarang, di mana mencari pengobatan hanya dari mulut ke mulut—yang pastinya sangat terbatas dan tidak akurat. Dan semua yang sumber informasi keluarga saya katakan, semuanya dicoba. Itulah kenapa Mamah mengatakan kalau semenjak kecil saya sudah berkeliling kota besar. Bahkan tidak muluk-muluk, cara pengobatan tradisional (red: dukun) pun Mamah coba. Yang hasilnya nol.



Karena beberapa pengobatan semuanya tidak memberi efek apapun, Mamah membawa saya ke pusat Jawa Barat. Beruntungnya, di kota Paris Van Java itu, kami punya saudara jauh yang berprofesi sebagai seorang guru. Tepatnya di rumah sakit Hasan Sadikin, Bandung, saya dioperasi.

Tapi perjuangannya tidak berhenti di situ, justru diawali di sana. Yang jika diceritakan oleh Mamah atau Nenek selalu membuat saya tertawa—yang jika diresapi mampu membuat mata saya berkaca-kaca.

Di rumah sakit, ketika seorang anak dibawa untuk dioperasi, pihak rumah sakit pasti tidak langsung mengoperasinya detik itu juga. Butuh proses yang lama bahkan sampai beberapa minggu. Mengurus administrasi, mengurus pasiennya sendiri—dilihat apakah bisa dioperasi atau tidak/cek kondisi—dan mengurus hal lainnya seperti persediaan donor darah.

Dalam 20 hari di rumah sakit itulah, saya berhasil dibuat berkaca-kaca oleh rangkuman kisah Mamah dan nenek saya. Yang sekaligus membuat saya tahu, bahwa saya bisa hidup sampai sekarang tidak semurah anak lainnya.
Kata Mamah, di saat anak lainnya berlarian bermain di halaman rumah, saya malah berlarian di lorong rumah sakit bersama para suster dan pasien lain.

Kata Mamah, di saat anak lainnya dikepang lucu-lucu rambutnya, saya malah tidak punya rambut karena digunduli sesuai prosedur operasi.



Kata Mamah—yang ia tuturkan dengan nada sedih, di saat anak-anak lainnya diberi makan dan ASI yang banyak biar sehat, saya malah dibiarkan kelaparan seharian karena hendak dioperasi. Yang kata nenek, membuat matanya berkaca-kaca karena tidak tega mendengar jeritan tangisku.

Di saat itulah, di saat ibu-ibu lainnya tersenyum bahagia menyaksikan anaknya mulai bisa berjalan cepat, di waktu yang sama Mamah saya tengah menangis melihat kepala anaknya dibedah. Beban psikis jelas menimpanya, belum lagi fisiknya yang harus dipaksa sehat berhari-hari tinggal di rumah sakit. Apalagi dengan biaya yang tidak sedikit. Padahal saat itu ekonomi keluarga saya tergolong rendah, di mana bapak saya masih kerja serabutan. Semua biaya mereka kumpulkan dari pinjaman dan menjual beberapa barang.

“Neng tapi seperti ada keajaiban, di saat anak-anak lain—yang jadwal operasinya sama—masih terbaring di ranjang rumah sakit, Neng mah sudah minta main keluar,” katanya saat itu, kemudian menambahkan, “Mungkin itu karena doa, doa Mamah sama keluarga, terus banyak sekali orang yang mendoakan terutama supir mobil.”

Yang secara tidak langsung, perkataannya itu menyinggung betapa agungnya sebuah doa. Yang membuat saya sampai sekarang selalu mengandalkan segala sesuatu pada doa.

Dan sekarang, di usia saya yang sudah beranjak dewasa, seperti halnya anak lainnya ketika kesal, saya sering berharap bahwa saya dilahirkan dari rahim seorang ibu yang kaya raya yang tidak cerewet. Bukan Mamah. Sebuah harapan yang sekarang malah membuat saya malu.

Memangnya ibu mana yang sudi menjadikan saya putrinya? Setelah saya habiskan seluruh uangnya untuk berbagai pengobatan? Setelah saya habiskan banyak waktunya mengurus saya pasca operasi—seperti mencari obat untuk menumbuhkan rambut, mencari obat untuk menyamarkan luka dan mengatasi saya yang sakit-sakitan terus sampai usia SD? Tidak ada ibu yang mau berkorban sedahsyat itu selain Mamah.

Jika seorang Ibu dalam mengurus anaknya disebut pahlawan tanpa tanda jasa, maka sebutan apa yang pantas untuk seorang ibu yang mengurus anaknya yang tidak sempurna?

Merekalah The Avengers yang sesungguhnya. Dia lah ibuku. My Mamah, my hero.  



(vem/nda)