Apakah ada sosok pahlawan yang begitu berarti dalam hidupmu? Atau mungkin kamu adalah pahlawan itu sendiri? Sosok pahlawan sering digambarkan sebagai seseorang yang rela berkorban. Mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini. Seorang pahlawan bisa berasal dari siapa saja yang membuat pengorbanan besar dalam hidupnya.
***
Setiap kali teringat kisah itu, aku malu dengan perasaan yang tentu saja membuatku sangat tidak nyaman, tapi tidak dengan dia. Seorang wanita paruh baya yang sedang sibuk mengarahkan setrika listrik di setiap helai pakaian di depannya.
Sore itu aku bersenda gurau layaknya anak dengan orangtuanya. Maklum, sudah 5 tahun keluargaku pincang tanpa kehadiran seorang ayah. Walau sangat terlihat tapi mama selalu saja tersenyum sambil berkata dengan penuh semangat, "Mama adalah mama sekaligus papa kalian."
Aku tertegun melihat dan mengingat semua semangat yang dipamerkan mama seolah tidak ada yang perlu ditakutkan jika keluarga kami tanpa sosok ayahku yang pergi tanpa kabar dan meninggalkan tanggung jawabnya sampai sekarang sudah berjalan 5 tahun. Ah, yang benar saja, aku yakin aku pun mulai lupa dengan detail wajahnya.
Hari ini aku pulang dengan wajah ditekuk dan mengabaikan beberapa pasang mata ketika aku masuk dengan langkah goyah. Mama mengerutkan keningnya. "Kamu kenapa? Sakit? Berantem?"
Aku hanya menggeleng pelan sambil berlalu menuju kamar. Kubenamkan wajah di kasurku tidak lupa dengan bantalnya lalu aku berteriak sejadi-jadinya. Mataku memerah, kepalaku agak berat dan tanpa sadar aku tertidur lelap dengan posisi masih sama seperti saat aku mencurahkan isi hatiku tadi.
Hari ini aku mendapat pesan di media sosial dari seseorang yang tidak kukenal, tapi dia mengaku mengenalku. Aku mengambil ponselku dan membuka kembali chat dari orang itu. Foto prosesi ijab qabul terpampang di pesan itu. "Ciiih." Aku muak melihatnya dan aku membanting ponselku ke kasur dan lagi-lagi aku terlelap.
"Dek, Mama mau ngomong," panggil mama ketika makan malam sederhana ini sudah selesai. Aku mengangguk dan menghampirinya.
Mama menceritakan segala yang belum kuketahui dan ia sudah mengetahui isi pesan di media sosialku karena melihat ponselku yang tergeletak dan belum keluar dari aplikasi tersebut. Awal menikah dengan papaku, pengorbanannya ketika papa dengan egonya tidak mau membantu merawatku yang waktu itu baru berusia dua bulan sehingga mau tak mau, rela tak rela mama melepas jabatannya dan mundur dari pekerjaannya yang sudah mencapai titik terang di usianya yang saat itu masih muda.
Mama dihadapkan dengan pilihan karier atau anak? Tentu saja tanpa memikirkan hal lain mama memilih mundur dari pekerjaannya dan mengurusku di rumah, tentu saja itu menjadi awal kehancuran dari karier mama dan membuat cita-citanya yang hendak tergenggam menjauh dan terlepas. Sementara papa adalah seorang pengangguran yang dengan gengsinya tidak mau hanya di rumah mengurus anak sehingga dia memilih membuang badan di pagi hari dan pulang larut malam tanpa hasil yang jelas. Kondisi itu memaksa mama menjual satu per satu harta yang sudah dia raih dengan jerih payahnya sendiri untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Mama mengakhiri ceritanya dengan tersenyum, tidak ada raut sedih terpancar di mukanya. Dia mengatakan apapun yang dia korbankan waktu dulu bukanlah sebuah penyesalan, itu adalah anugerah karena melihat anak yang tumbuh dengan pintar dan membanggakan itu adalah sebuah hasil dari pengorbanannya beberapa puluh tahun silam. Berbagai perasaan kini menghampiriku.
Sedih, senang, bangga, marah bercampur menjadi satu. Tapi lagi-lagi sosok yang mendamaikan hatiku meyakinkanku kalau aku ini adalah sebuah anugerah besar dari sebuah pengorbanan yang besar. Bagiku pengorbanan orangtua untuk anaknya adalah sebuah pengorbanan yang sangat manis, sangat tulus tanpa embel-embel mengharap balasan. Seperti pengorbanan mama yang tetap tegar walaupun berkali-kali disakiti oleh seseorang yang kala itu menyandang status sebagai suaminya. Pengorbanan melepas cita-citanya dan kariernya demi buah hatinya. Ah sungguh manis bukan?
Kini aku tengah berpelukan dengan wanita paruh baya yang kupanggil mama. Saling mendekap dalam hening tanpa suara. Wajah kami sama-sama terpejam menikmati sentuhan angin yang sepoi-sepoi membelai wajah kami. Sinar jingga tampak semangat memberi kehangatan saat melihat kami saling mengeratkan satu sama lain. Tanpa sadar bulir air menetes perlahan dari sudut mata kami masing-masing dan bibir kami membuat garis tipis agak naik. Ya, kala itu senja. Dalam keheningan kami berpelukan hangat, menangis dan tersenyum dalam diam.
- Ibuku Mungkin Cuma Wanita Biasa, Tapi Pengorbanannya Untukku Luar Biasa
- Demi Anaknya, Seorang Ayah Seringkali Sengaja Menyembunyikan Rasa Lelahnya
- Tulis Kisah Pahlawan dalam Hidupmu, Ikuti Lomba Menulis Vemale Agustus 2018
- Enggan Bercerai karena Tak Mau Mengorbankan Perasaan Anak-Anak
- Demi Keluarga, Terkadang Kita Harus Mengambil Keputusan Besar dalam Hidup
(vem/nda)