Demi Keluarga, Terkadang Kita Harus Mengambil Keputusan Besar dalam Hidup

Fimela diperbarui 09 Agu 2018, 14:30 WIB

Apakah ada sosok pahlawan yang begitu berarti dalam hidupmu? Atau mungkin kamu adalah pahlawan itu sendiri? Sosok pahlawan sering digambarkan sebagai seseorang yang rela berkorban. Mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri. Seperti kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini. Seorang pahlawan bisa berasal dari siapa saja yang membuat pengorbanan besar dalam hidupnya.

***

Waktu aku kelas 1 SMA, bapakku meninggal dunia karena penyakit kanker kelenjar getah bening yang beliau derita selama 2 tahun lamanya. Aku sangat berduka sekali dan sangat kehilangan beliau.

Setelah 3 bulan berlalu masa berkabung itu, aku dekat dengan seorang laki-laki dewasa, kami terpaut jarak 8 tahun, dan dia masih tetanggaku. Awalnya aku ragu apakah hubungan ini akan serius atau tidak, mengingat aku yang selalu dikecewakan pacar yang dulu-dulu. Aku jalani saja hubungan ini apa adanya dan aku tak mau pacaran menjadi hal yang mengganggu belajar dan sekolahku.

Ibuku memperbolehkan aku dekat dengan dia namun kami harus tahu batasan-batasannya. Aku pun tak mau mengkhianati kepercayaan dan ingin menjaga baik-baik amanah ibuku itu. Aku mau menjaga diri ini sampai akhirnya kami resmi dan halal. Dia memang bisa menjagaku, orangnya dewasa dan bisa ngemong aku. Dia juga berjanji mau menungguku sampai kapanpun, sampai aku siap mental dan hati untuk menikah.

 

Aku punya tiga orang kakak tapi tak ada satupun dari mereka yang bisa menjadi panutan buatku. Karena aku tahu keburukkan sikap-sikap mereka tapi aku keep saja di dalam hati, tak mau kuungkap ke oranglain. Bagaimanapun, mereka adalah saudara-saudaraku, yang tidak boleh aku ungkapkan aibnya.

Tapi dari pacarku inilah, aku seperti menemukan sosok yang dewasa, yang bijak, bisa menjadi sosok kakak, bisa juga menjadi sosok ayah. Jujur saja, semenjak kepergian bapakku untuk selama-lamanya, aku sangat rindu akan sosok yang bisa menjadi tempat berteduhku. Jiwaku seperti hilang separuh. Aku sebenarnya tak berdaya tapi aku berusaha agar bisa tersenyum dan berharap aku bisa tegar.

Setelah aku lulus SMA, aku melanjutkan pendidikanku ke sebuah universitas swasta di Jakarta Selatan, tepatnya di Fakultas Hukum. Pacaraku yang mengantarkanku pagi-pagi sekali ke kampus karena saat itu ada acara OSPEK ke Gunung Bunder, selama 3 hari. Aku semangat sekali. Aku senang dan sangat bersyukur, aku beruntung bisa melanjutkan pendidikanku sampai ke perguruan tinggi. 

Ibuku seorang single parent dengan profesi sebagai wiraswasta yaitu berjualan mebel. Usaha itu sudah berpuluh-puluh tahun beliau rintis bersama almarhum bapakku, yang notabene beliau adalah orang asli Jepara, tempat berasalnya mebel. Kadang usaha mebel ibuku ramai, tapi ada kalanya sepi. Begitulah orang usaha, ada pasang surutnya.

 

Saat aku kuliah sudah di semester 2, ibu berkata padaku bahwa beliau sudah tidak sanggup lagi membiayai kuliahku, karena keadaan ekonomi keluarga. Aku sebenarnya dapat memaklumi keadaan beliau dan sungguh tak mau membebani beliau. Tapi aku juga tidak bisa menyembunyikan kesedihanku karena harus putus kuliah. Memang saat itu agak susah aku untuk bisa move on, tapi pacarku selalu memberi support agar aku tak lama-lama larut dalam kesedihan. 

Pacarku bekerja wiraswasta, membuka usaha steam di rumahnya sendiri. Meskipun dia punya penghasilan sendiri, tapi sebagai pacar aku tak mau banyak merepotkan dia. Aku tak mau merepotkan dia harus membiayai kuliahku ketika ibuku sudah tak sanggup lagi membiayaiku. Biarlah kenyataan ini aku terima dengan ikhlas dan lapang dada.

Ketika Tuhan sudah menetapkan takdi-Nnya, tiba waktunya aku menikah dengan pacarku. Pernikahan kami diselenggarakan dengan sederhana. Aku tak mau banyak menuntut ibuku, tak ada resepsi pernikahanpun tak apa-apa bagiku, yang penting ada ijab qabul supaya kami sah sebagai sepasang suami istri.

 

Suatu hari aku ditawari oleh tetanggaku untuk mengajar di PAUD yang dia dirikan sendiri di rumahnya, yang tak jauh dari rumahku. Aku senang sekali dan sangat antusias menerima tawaran pekerjaan ini. Meskipun aku tidak berlatarpendidikan Sarjana Pendidikan, tapi rupanya aku ada bakat mengajar.

Aku senang sekali mengajari anak-anak. Ada kepuasan tersendiri untukku ketika melihat anak didikku sudah bisa membaca, menulis, berhitung dan berbahasa Inggris, meskipun bahasa Inggris masih basic untuk anak usia sekolah PAUD. Memang harus ekstra sabar dalam menghadapi anak-anak. Dengan berbagai macam karakter anak didikku, aku belajar juga bagaimana cara menghadapinya.

Dua tahun aku mengajar PAUD, tiba-tiba nenekku jatuh sakit. Memang nenek sudah uzur, usianya sudah 90 tahun. Nenek tiba-tiba tidak bisa berjalan. Padahal selama ini nenek masih gagah dan bisa berjalan, masih bisa aktivitas seperti jalan-jalan, cuci piring, meskipun aku suka cerewet melarang nenek bebenah rumah, aku tak mau nenek capek-capek.

 

Ibuku mengurus nenekku. Setelah 2 tahun beliau mengurus nenek, beliau tiba-tiba ngedrop. Aku sangat panik. Aku lalu segera membawa ibu ke IGD di sebuah rumah sakit negeri. Ibu kemudian ditangani dan diperiksa oleh dokter di sana. Setelah satu jam menunggu hasil, dokter memanggil saya dan bilang bahwa ibu saya mengidap gagal ginjal. Betapa hancurnya hati saya saat mendengar vonis dokter waktu itu. 

Setelah ibuku 10 hari dirawat inap di rumah sakit, akhirnya ibuku diizinkan dokter untuk pulang ke rumah tapi beliau harus rutin menjalani cuci darah seminggu dua kali. Aku lalu mencari rumah sakit swasta yang bekerjasama dengan BPJS yang lokasinya tak jauh dari rumahku. Ketika aku sudah menemukan rumah sakit yang aku tuju tersebut, untungnya masih ada tempat kosong untuk ibuku cuci darah. 

Aku merawat 2 orangtua yang sakit, yaitu nenekku dan ibuku. Aku tak mau mengeluh. Aku ikhlas mengurus mereka. Karena aku merasa ini sudah menjadi tugas dan kewajibanku sebagai anak dan sebagai cucu. Suamiku pun ikut mengurus mereka. Suamiku yang membopong nenekku ke kamar mandi dan aku yang memandikannya. Suamuku juga mau mengantar ibuku ke Rumah Sakit untuk kontrol sebulan sekali ke Poli Penyakit Dalam dan cuci darah seminggu dua kali.

Aku bersyukur punya laki-laki yang hebat dan tangguh, juga penyabar. Dia mau membantu aku dalam mengurus nenek dan ibuku. Aku punya kakak laki-laki tapi dia sama sekali tidak peduli dan tidak punya rasa kasihan dengan ibu dan nenek. Kakak-kakakku yang perempuan sebenarnya juga ikut membantu namun karena alasan yang tidak bisa aku mengerti, mereka seolah tidak mau mengurus nenek dan ibu dengan maksimal. Tetap saja aku dan suami yang full mengurus beliau. Biarlah, tak mengapa. Kami melakukannya dengan senang hati. Semata-mata mengharap ridho Tuhan. Semoga menjadi berkah untuk kami.

Agar aku bisa maksimal mengurus ibu dan nenekku, aku akhirnya memutuskan untuk resign dari pekerjaanku mengajar PAUD. Sebenarnya berat hati aku meninggalkan sekolah itu karena ada banyak kenangan aku bersama anak-anak didikku dan para orangtua murid yang selalu care denganku. Tapi aku kembali lagi memikirkan ibu dan nenekku. Mereka adalah prioritas dalam hidupku.

Memang hidup adalah pilihan. Dan aku memilih keluargaku. Keluarga yang tak bisa ditukar dengan apapun, termasuk dengan materi sebanyak apapun itu. Bahagia bersama dengan keluarga tercinta adalah kebahagiaan yang hakiki bagiku, tak bisa diganggu gugat. 

 

 

(vem/nda)