Enggan Bercerai karena Tak Mau Mengorbankan Perasaan Anak-Anak

Fimela diperbarui 09 Agu 2018, 10:15 WIB


Apakah ada sosok pahlawan yang begitu berarti dalam hidupmu? Atau mungkin kamu adalah pahlawan itu sendiri? Sosok pahlawan sering digambarkan sebagai seseorang yang rela melakukan pengorbanan besar. Seperti kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini. Seorang pahlawan bisa berasal dari siapa saja yang membuat pengorbanan besar dalam hidupnya.

***

Saya seorang wanita yang memilih menikah dalam usia muda, karena ada berbagai alasan saya untuk menikah muda. Salah satunya karena saya tidak ingin menyusahkan orangtua yang masih menanggung kakak saya dan kedua anaknya karena kondisi kakak saya yang sudah bercerai dari suami.

Saya berpikir dengan menikah saya dapat kehidupan lebih baik, dan mendapatkan sosok suami yang mencintai saya apa adanya. Saya menikah dengan harapan saya harus hidup bahagia dan memiliki anak-anak yang luar biasa.

Anak pertama saya anak yang cengeng, tidak dapat ditinggal sedikitpun. Saya harus menggendongnya ketika melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengakibatkan tulang punggung saya miring dan menderita skoliosis.

Jelang lima tahun kemudian saya melahirkan kembali anak kedua. Saya kesulitan untuk membagi waktu untuk anak pertama dan kedua, ditambah lagi tulang punggung tidak bisa menggendong terlalu lama karena sakit yang tak tertahankan. Tetapi, karena begitu mengasihi anak saya, saya tetap menggendong mereka sampai mereka mau dilepas. Seperti anak pertama saya ketika mengerjakan pekerjaan rumah, saya menggendong mereka untuk menyelesaikannya.

Cobaan tidak selesai situ saja, jelang dua tahun saya memiliki anak ketiga kembali, suami saya mulai berubah dengan saya memperkatakan binatang, bahkan pernah memukul saya apabila rumah tidak rapi. Saya tidak boleh berkata salah, dan selalu harus mengikuti kehendak dia.

Saya harus menjaga ketiga anak saya tanpa bantuan pembantu atau baby sitter mengurus mereka. Bahkan gaji yang saya terima sebagai pekerja di sebuah yayasan harus saya gunakan untuk membayar kebutuhan rumah tangga. Suami tidak mau mengerti.

Ketika saya bicara saya tidak bisa menanggung semua itu, suami terlebih lagi marah dan berkata binatang kepada saya. Begitu tenaga, tubuh,pikiran dan uang yang saya korban untuk mempertahankan rumah tangga saya. Bayangan saya ketika menikah mendambakan sebuah rumah tangga yang penuh kasih dan mencintai pupus sudah.

Seakan-akan saya harus menyerahkan semua itu dan berkorban yang lebih sampai tekadang untuk mengurus mereka, lupa makan, sulit tidur sampai terkena penyakit batu empedu karena makanan yang tidak teratur. Saya merasakan pengorbanan yang saya lakukan untuk anak-anak membesarkan mereka sampai tidak boleh terpisah dari kasih seorang bapak. Sehingga saya tidak memutuskan untuk bercerai. Karena saya tidak mau mengorbankan perasaan anak-anak saya.

Lebih baik saya yang berkorban baik tubuh, fisik, dan perasaan. Meskipun tertekan karena dimaki-maki kasar oleh suami bahkan kalau tidak dituruti keinginannya saya dipukul, ditendang, dan dikata-katai dengan perkataan kotor. Saya hanya mau korban perasaan saya supaya anak-anak saya tumbuh ada seorang bapak.

(vem/nda)