Pernikahan Bukan Undian, Tak Bisa Sembarangan Asal Pilih Pasangan

Fimela diperbarui 30 Jul 2018, 14:30 WIB

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.

***

Angka 30 adalah sebuah momok yang cukup mengkhawatirkan sekaligus penuh rasa was-was bagi kebanyakan wanita yang masih menyandang status lajang. Penyebabnya tak lain adalah karena mulai bermunculannya pertanyaan-pertanyaan terkait kapan nikah yang tak bosan menyerang meski direspon lembut atau pun keras. Hal ini terjadi karena usia kepala tiga dianggap sebagai usia yang layak untuk berumah tangga. Namun di sisi lain pertanyaan ini justru menimbulkan ketidaknyamanan bagi mereka yang ditanya. Tak jarang banyak yang bereaksi ekstra ekstrem menanggapi pertanyaan “kapan nikah".



Aku adalah satu dari sekian wanita berusia layak menikah yang kerap diserang pertanyaan “kapan nikah” oleh mereka yang biasanya sudah mempunyai pasangan halal. Awalnya pertanyaan itu masih bisa kutanggapi dengan sebuah senyuman termanis. Tetapi semakin lama semakin terasa ekstrem, dan menurutku cukup kejam pertanyaan tentang pernikahan yang diarahkan kepadaku. Apalagi jika ada orang lain yang juga mendengar saat pertanyaan itu keluar.

"Kamu kapan nikahnya? Ingat umur sudah berapa. Emang kamu mau jadi perawan tua?"
"Kamu kok nggak nikah-nikah? Apalagi yang ditunggu? Ingat umur."
"Kamu kapan mau nikah? Kasihan orangtua sudah semakin tua. Kapan lagi membahagiakan mereka?"

Itulah sebagian pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh orang-orang yang katanya peduli dengan hidupku. Masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang sukses mengusik dan memporak-porandakan kenyamanan hati dan pikiran. Bagaimana tidak? Semua pertanyaan itu hanya membuatku semakin sedih dan tertekan. Karena sampai kapanpun pertanyaan itu tidak akan pernah mampu kujawab, walau dengan bantuan kecanggihan teknologi saat ini sekalipun, yang katanya apapun bisa dicari lewat media internet.



Perkara jodoh adalah rahasia Allah. Dan aku sangat yakin sebagian besar manusia di muka bumi, terutama kalian yang pernah mengajukan pertanyaan kejam ini padaku, setuju akan hal itu. Lantas mengapa kalian begitu teganya menanyakan pertanyaan yang aku sendiri bingung dengan jawabannya? Apakah ini yang kalian pahami tentang jodoh? Bahwa oke, jodoh mutlak di tangan Tuhan. Tetapi urusan bertanya “kapan nikah” mutlak hak kalian, yang seolah aku memegang kunci jawabannya.

Jujur aku sangat tersakiti dengan pertanyaan “kapan nikah” itu. Tahukah kalian bahwa rangkaian kata itu telah memberikan dampak begitu besar dalam kehidupan normalku? Aku perlahan mulai menghindari kehidupan sosial. Lebih suka mengasingkan diri seolah tak peduli dan butuh dengan sekitar. Karena aku terlalu khawatir dan berpikiran bahwa nanti akan muncul pertanyaan “kapan nikah”, saat bertemu atau berkumpul. Tak hanya itu, rasa gelisah, stres, dan frustasi pun seolah menjadi teman, yang terus mengiringi setiap tarikan napas jika mendengar pertanyaan “kapan nikah”.



Kesedihan bertambah tatkala kalian mulai berani menyerang orangtuaku dengan pertanyaan “kapan nikah” terkait diriku. Tahukah kalian bahwa orangtuaku pun turut larut dalam duka dan kesedihan luar biasa karena pertanyaan itu. Orangtua mana yang tidak ingin melihat anaknya segera bersanding di pelaminan dan hidup bahagia dengan pasangan halalnya? Tetapi di sisi lain itu di luar kuasa mereka. Hal ini jugalah yang sempat membuatku enggan pulang saat liburan. Karena terlalu takut dihujani dengan pertanyaan “kapan nikah”.

Mengapa kalian seperti mengabaikan hakikat jodoh, yang jelas sebuah misteri? Sehingga dengan tanpa bersalah dan menganggap wajar untuk meluncurkan kata-kata “kapan nikah” padaku. Terlebih dengan anggapan seolah-olah aku ini tidak memikirkan, atau tidak berusaha agar bisa segera seperti kalian yang sudah punya pendamping. Apakah kalian pernah tahu apa saja yang sudah kualami untuk menyegerakannya? Apakah kalian tahu perjuangan seperti apa yang telah kulakukan untuk mewujudkannya? Apakah kalian pernah tahu berapa banyak doa hingga berurai air mata yang kupanjatkan pada-Nya, dalam setiap sujud untuk segera mempertemukanku dengan imam terbaik?



Menikah itu bukan sekadar punya pendamping dan menghasilkan generasi penerus. Tetapi menikah adalah media ibadah terlama, yang penuh tanggung jawab dan amanah agar mampu meraih rahmat-Nya sampai dunia akhirat. Menikah bukan hanya yang penting punya suami. Tetapi menikah itu butuh keputusan sangat hati-hati agar tidak hidup dengan orang yang salah. Agar bisa hidup dengan pasangan yang mampu menggandeng tangan ini menuju Jannah-Nya. Menikah itu juga bukan ajang berlomba. Siapa cepat maka dialah yang terbaik. Karena itulah aku juga tidak ingin sembarangan memilih pasangan.

Setiap orang, terutama wanita seusiaku ingin bisa segera menyempurnakan separuh sisa agama, agar bisa memiliki keturunan, menyempurnakan setiap ibadah dan amalan, dan meraih peluang-peluang kebaikan, yang semuanya itu bisa digapai lewat jalan pernikahan. Tetapi sekali lagi kutegaskan, bahwa jodoh hanya Tuhan yang Maha Tahu. Yang perlu kulakukan saat ini hanyalah tetap yakin akan janji-Nya, terus berdoa, berusaha, serta terus memantaskan diri hingga di saat waktu yang ditetapkan-Nya tiba, aku telah siap menyambut kehidupan pernikahan.

Jadi tolong berhentilah bertanya “kapan nikah”. Aku tahu kalian sayang dan teramat peduli dengan hidupku. Kalian menganggap aku sudah layak untuk membina hubungan rumah tangga. Tetapi lebih baik kepedulian itu kalian wujudkan dengan doa diam-diam, atau doa terbaik untukku. Bukankah doa seorang muslim secara diam-diam untuk saudaranya itu akan mudah dijabah oleh-Nya? Maka bantulah aku dengan doa terbaik kalian.




(vem/nda)